Masih adakah hukum di negeri ini? Seorang
anggota kopasus dikeroyok empat orang NTT sampai mati. Tentu ada
sebabnya, bukan? Informasi memang simpang siur. Tiap orang bebas
berpendapat. Yang paling jelas dan pasti, tentu informasi dan keputusan
dari meja hijau. Tapi belum ada proses hukum. Belum diketahui pasti apa
sebabnya. Belum ada keputusan tetap, bersalah tidaknya pelaku
pembunuhan. Tapi perburuan oleh kopasus
sudah menembusi tembok tebal dan penjagaan ketat lapas. Atas nama
solidaritas korps, keempat pelaku dihabiskan secara brutal di lapas.
Hukum Negara seperti tak berdaya diujung senjata. Yang berlaku ialah
hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang benar dan menang. Kopasus ko
dilawan?
Sepintas lalu kelihatan sama dengan apa yang terjadi dalam Yoh 3:16-21. Coba dengar pernyataan Yesus: “Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum. Tetapi barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah” (Yoh 3:18). Belum ada proses hukum, tapi sudah ada hukuman. Sewenang-wenang, bukan? Nampaknya, memang demikian. Tapi sesungguhnya tidak. Penghukuman itu tidak berasal dari instansi mana pun di luar diri orang yang tidak percaya. Penghukuman itu muncul dalam hati orang yang bersangkutan. Bisa begitu? Penghukuman itu merupakan pilihan bebas pelaku. Tidak mau ada hubungan dengan Tuhan, yang adalah terang dunia (bdk Yoh 8:12; 9:5).
Tidak usah ditanya, mengapa. Kita manusia memang cenderung lebih suka akan kegelapan daripada terang. Kita tidak mau kejahatan kita diketahui orang. Kalau kelihatan dan ketahuan umum kan malu. Syukur, bahwa masih ada budaya malu. Kebanyakan orang beradab lebih suka mati daripada hidup menanggung malu. O…itu dulu. Sekarang, rasa malu sudah hilang, bukan? Biar ketahuan, misalnya korupsi dipoles dengan senyum yang manis. Lalu kita? 10042013
Sepintas lalu kelihatan sama dengan apa yang terjadi dalam Yoh 3:16-21. Coba dengar pernyataan Yesus: “Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum. Tetapi barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah” (Yoh 3:18). Belum ada proses hukum, tapi sudah ada hukuman. Sewenang-wenang, bukan? Nampaknya, memang demikian. Tapi sesungguhnya tidak. Penghukuman itu tidak berasal dari instansi mana pun di luar diri orang yang tidak percaya. Penghukuman itu muncul dalam hati orang yang bersangkutan. Bisa begitu? Penghukuman itu merupakan pilihan bebas pelaku. Tidak mau ada hubungan dengan Tuhan, yang adalah terang dunia (bdk Yoh 8:12; 9:5).
Tidak usah ditanya, mengapa. Kita manusia memang cenderung lebih suka akan kegelapan daripada terang. Kita tidak mau kejahatan kita diketahui orang. Kalau kelihatan dan ketahuan umum kan malu. Syukur, bahwa masih ada budaya malu. Kebanyakan orang beradab lebih suka mati daripada hidup menanggung malu. O…itu dulu. Sekarang, rasa malu sudah hilang, bukan? Biar ketahuan, misalnya korupsi dipoles dengan senyum yang manis. Lalu kita? 10042013
No comments:
Post a Comment