Tuesday, November 12, 2013

Tentang Kebangkitan Orang Mati

Apa artinya sebuah nama? Pertanyaan ini sering kita dengar. Mungkin kita sendiri pernah melontarkannya. Kedengarannya sepele. Tapi bagi suku tertentu sangat serius. Nama adalah soal kelanjutan hidup. Maka nama anak diberi sesuai dengan nama nenek moyang. Itu untuk mengingatkan bahwa dia tetap hidup. Sekarang entah pengaruh dari mana, nama sudah menjadi rancu. Seorang isteri tidak dipanggil nama aslinya seperti Barek. Ia dipanggil sesuai nama suami misalnya Ibu Igo, karena suaminya Igo. Tapi kalau anak sulungnya diberi nama Ola, maka Igo bangga sekali dipanggil ‘Bapa Ola’. Begitu juga Barek bukan lagi Ibu Igo. Ia lebih senang menyandang nama ‘Mama Igo’. Demi kelanjutan hidup orang bisa tidak nyaman dengan dua anak cukup. Atau dua anak lebih baik. Apa lagi kalau tidak ada anak. Bisa saja orang tidak komuni gara-gara mau cari anak di luar pasangan hidup yang resmi. Soal mempertahankan hidup ini merupakan masalah klasik. Luk 20: 27-40 menampilkan perdebatan yang seru. Orang Saduki mempersoalkan kebangkitan orang mati. Bagaimana mungkin? Sudah mati ya mati. Mau apa lagi? Tapi orang Yahudi umumnya percaya akan kebangkitan orang mati. Orang Saduki mengajukan kasus yang pelik. Ada tujuh orang bersaudara. Yang sulung kawin tapi mati tanpa anak. Yang kedua kawin dengan iparnya, supaya mendapat keturunan untuk kakaknya. Tapi kasihan, dia pun mati tanpa anak. Begitu seterusnya sampai dengan yang bungsu. Semuanya mati tanpa anak dari istri kakaknya itu. Nah, jika ada kebangkitan, dia itu isteri siapa. Ketujuhnya kan sudah mengawininya. Di sinilah pokok kekeliruan. Menurut Yesus perkawinan itu hanya selama kita hidup di dunia fana ini. Bukan soal hidup kekal. Dalam hidup yang akan datang tidak ada kawin. Semua seperti malaikat. Bukan sebagai suami isteri. Lalu soal kebangkitan? Allah tetap menjadi Allah nenek moyang kita. “Tuhan adalah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup” (Luk 20:37-38). Hidup hanya diubah bukan dilenyapkan. Dengan kebangkitan Allah tetap memelihara hidup kita sesudah kematian. Atau seperti kata Paulus, “Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberintaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1Kor 15:13). Yang paling sial rupanya orang Katolik. Sudah pikul salib sepanjang hidup mengikuti Yesus, hanya satu isteri sampai mati, lalu terjun dalam kehampaan. Siapa mau? 10112013

Harta Tidak Dibawa Mati

Masih ingat, bukan? Nazarudin dikejar sampai ke Kolumbia. Ia diadili gara-gara curang. Setelah diadili ia menjadi penghuni bui. Langkahnya itu disusul barisan koruptor lain sampai sekarang. Mereka menyalahgunakan kuasa dan wewenangnya untuk kepentingan sendiri dan orang-orangnya. Hampir semua orang menyatakan pantas. Ada yang lebih kejam lagi. Hukuman terlalu ringan. Semestinya mati atau seumur hidup. Biar rasa dan memberi efek jera. Tak ada orang yang bersimpati bukan? Tapi dalam Luk 16: 1-9 nuansanya lain sekali. Ada bendahara yang curang. Kekayaan tuannya diboroskan seenaknya. Ia memang tidak dijebloskan ke LP. Ia terancam dipecat. Dasar orang curang. Dalam situasi gawat darurat otaknya cepat bermain. Ada beberapa alternatip yang sempat melintas di otaknya. Melakukan pekerjaan fisik yang berat seperti mencangkul. Dia mengaku tidak dapat. Mengemis? Masa, orang biasa mengenalnya dalam full dress, tiba-tiba jadi pengemis. Malu, ah! Tapi aneh juga bendahara yang satu ini. Tidak punya simpanan sedikit pun untuk tanggap darurat. Coba kalau sekarang. Dia sudah punya tabungan triliunan di bank dalam dan luar negeri. Ada berbagai kartu kredit dan ATM. Tapi dia tidak hilang akal untuk menjamin masa depannya secara terhormat. Semua yang berutang kepada tuannya dikumpulkan. Mereka diharuskan menulis surat utang palsu. Semuanya diberikan diskon yang luar biasa. Sampai lima puluh prosen. Siapa tak senang? Mereka pasti keheranan. Yang lain memujinya sebagai orang yang murah hati. Bendahara yang curang ini sangat lihai. Kapan saja dipecat, ia siap. Pasti mereka yang mengecapi kebaikannya akan menerimanya. Permainan kongkalikong ini bukan tidak diketahui tuannya. Tapi ia tidak mengadukannya ke pengadilan. Ia malah memujinya. Tentu bukan karena kecurangannya tapi sebab kecerdikannya. Harta kekayaan bukan dipakai untuk memuaskan nafsu sendiri. Tidak pernah akan puas. Seperti minum air laut. Makin diminum makin haus bukan? Kita harus belajar dari dia. Harta kekayaan seharusnya dipakai untuk membangun persaudaraan dan persahabatan di antara kita. Seandainya semua yang sudah dan bakal berurusan dengan KPK menggunakan kekayaannya untuk kepentingan orang lain juga, betapa makmurnya bangsa kita. Kalau mati, harta tak dibawa serta bukan? 08112013

Monday, November 11, 2013

Sungguhan atau Gadungan?

Ini pastor sungguhan atau pastor gadungan? Tanya ketua KUB itu. Mengapa? Tanya seorang bapa. Ya, saya lihat dia selalu dikelilingi wanita. Dia tidak tahu wanita-wanita model apa itu. Oh, cemburu ya? Memang patut diakui, dia masih muda. Ganteng lagi. Itu namanya pastor gaul. Tapi dia juga bergaul dengan laki-laki ko. Benar, tapi laki-laki yang mana? Paling-paling tukang minum dan yang suka omong serempet-serempet. Dia senang itu. Pantas banyak umat tidak suka kepadanya. Macam begitu mengapa mau ditahbiskan tempo hari? Tanya ketua KUB itu dengan kesal. Situasi ini mirip dengan Luk 15: 1-10. Yesus didatangi orang-orang berdosa. Ia menerima dan bergaul rapat dengan mereka. Apakah Yesus sengaja menyakitkan mata hati mereka? Tentu saja tidak. Yesus punya tujuan yang jauh lebih luhur. Menyelamatkan orang berdosa yang hilang. Itu saja. Sayangnya tujuan seluhur itu tidak dibaca orang Farisi dan ahli Taurat. Mana mungkin mereka mau memahami tujuan Yesus. Mereka kan lebih suka mempersalahkan Yesus. Tidak heran jika kelakuan Yesus itu mendapat kritik dan tantangan dari orang Farisi dan ahli Taurat. Yesus tentu tidak tinggal diam. Ia memang tidak menyerang balik secara frontal. Tapi dengan menceriterakan dua perumpamaan tentang kehilangan. Itulah yang dilakonkan oleh gembala dan seorang wanita. Setelah yang hilang ditemukan kembali masing-masingnya senang luar biasa. Mereka berbagi kegembiraannya dengan berceritera kepada sahabat kenalan dan tetangga. Domba dan dirham yang hilang saja harus dicari sampai dapat. Apalagi manusia. Tetapi sikap orang Farisi dan ahli Taurat bertolak belakang. Mereka tidak hanya lalai mencari yang hilang. Tapi lebih kejam lagi, mereka menjauhkan diri dari orang berdosa yang hilang. Sering kita pun terjangkit penyakit Farisi dan ahli Taurat. Pernahkah kita prihatin atas umat yang menghilang dari KUB atau paroki? Tanya saja tidak, apalagi mau berusaha mencarinya? Kita sering mendengar, masih banyak umat yang harus diurus. Bekin apa repot dengan satu orang yang bandel itu. jauh bedanya dengan sikap dan perilaku Yesus, bukan? 07112013

Sunday, November 10, 2013

Berani Bangkit Setiap Kali Jatuh

Aksi bersih-bersih hampir selalu menuai pro kontra. Ingat pembersihan pasar Tanah Abang di Jakarta? Jokowi yang biasanya pro rakyat tertantang. Yang berjualan kan rakyat kecil. Jadi seharusnya tempat berjualannya tak dibongkar. Tapi bagaimana dengan kemacetan lalu lintas Jakarta, karena orang berjualan di badan jalan? Mereka ditertibkan untuk berjualan di tempat yang layak. Akhirnya diterima baik. Tak ada pihak yang dirugikan. Situasinya lain dari Yoh 2: 13-25. Yesus turut merayakan Paskah di Bait Allah. Dia kaget seperti tersengat kalajengking. Orang berjualan di tempat suci. Kata-Nya, ini rumah Bapa-Ku. Masa, kamu jadikan pasar? Ia segera beraksi. Semua pedagang diusir. Situasinya jadi sangat kacau. Lembu, kambing, domba berontak. Para pemilik gelisah. Merpati yang mau dijual meronta-ronta beterbangan. Meja para penukar uang dijungkir balikkan. Uang berhamburan. Para pemuka agama Yahudi tentu saja sangat tersinggung. Bait Suci kan urusan mereka. Mereka saja tidak bertindak sebrutal itu. Lalu Yesus, orang udik ini mendapat hak dari mana untuk berbuat demikian? Yesus menjawab tantangan itu. “Runtuhkanlah Bait ini, dan dalam tiga hari, Aku akan membangunnya” (Yoh 2:19) Tentu orang Yahudi terperangah. Tapi yang dimaksudkan Yesus ialah Bait tubuh-Nya. Itu terjadi di Yerusalem. Bagaimana di gereja kita? Katanya rumah Tuhan. Tapi sikap dan tingkah laku kita hampir tidak berbeda dengan di pasar, bukan? Orang bawa gula-gula untuk anak. Kulitnya dibuang di mana kalau bukan di lantai? Begitu juga tissu, bukan? Yang lain ngobrol dengan teman di samping seperti di pasar. Memang tidak bisa ditunda, ya? Menurut St Paulus “Kita adalah bait dari Allah yang hidup” (2Kor 6: 16). Maka kita harus saling menjaga. Jangan sampai kita menjadi keranjang sampah karena rupa-rupa kejahatan dalam hati, pikiran, kata-kata dan perbuatan kita sendiri. Jika kita jatuh dan jatuh lagi, beranikah kita bangkit lagi setiap kali? 09112013.

Pengikut Kristus Sejati

Katekis itu baru kembali dari pelayanan di KUB. Sudah jam sembilan malam. Ia kelelahan. Sambutan isteri tidak seperti biasa. Nampaknya tidak peduli. Soalnya dari tadi anak menangis tanpa henti. Segala usaha untuk membujuknya supaya diam tidak berhasil. Katekis tentu saja tidak tahu itu. Ia minta isterinya supaya menenangkan anak itu. Rupanya kejengkelan isteri sudah sampai di ubun-ubun. Terjadi ledakan emosi. Enak saja suruh tenangkan anak. Dikira dari tadi saya biarkan anak menangis. Sekarang coba bapa yang tenangkan anak ini. Malam-malam keenakan ke luar rumah. Selalu bilang tugas, tugas dan tugas. Bapa pernah pikirkah tidak soal anak isteri? Untung katekis itu tidak meladeni emosi yang sedang meledak itu. Situasi konkrit para murid seperti ini juga menjadi keprihatinan Yesus (Luk 14: 25-33). Yesus melihat orang yang sedang entusias mengikuti-Nya berbondong-bondong. Mereka rela melepaskan ambisi dan kebutuhan pribadi demi Injil. Tapi sampai kapan? Tidakkah mereka itu berbalik kembali untuk mencari hidup yang nyaman tatkala ada tantangan? Lebih enak hidup seperti orang yang tidak peduli akan keselamatan orang lain, bukan? Tapi justru orang yang seperti itu tidak dapat menjadi murid Kristus. Ia membutuhkan para murid yang melibatkan diri bukan cuma kalau senang sesaat. Murid itu pun harus bisa dipercaya rela menanggung resiko apa pun demi Dia. Yesus harus menjadi pilihan pertama dan utama dalam hidup sehingga keluarga seperti disepelekan. Maka perlu suatu perhitungan yang matang betul sebelum memutuskan untuk mengikuti Yesus. Mengangkat salib adalah tuntutan mutlak untuk mengikuti Yesus. Itu berarti sama saja dengan berani menderita (Luk 23:26). Persatuan dengan Kristus harus total. Bukan cuma di gereja atau waktu berdoa. Di luar harus jadi ajang kesaksian. Pengikut Kristus sejati atau pemburu kesenangan dan kenikmatan haram? 06112013

Saturday, November 9, 2013

Duduk di Sebelah Kanan Bapa

Pernah perhatikan intensi misa untuk arwah? Sadar atau tidak, banyak orang memohon agar anggota keluarganya diberi tempat di sisi kanan Allah. Saya sering berseloroh. Bukankah Yesus sudah duduk di sebelah kanan Allah? Itu yang selalu kita doakan dalam ‘Aku percaya’. Tapi kalau anggota keluarga kita juga mau ditempatkan di sisi kanan Allah Bapa, lalu Yesus digeser ke mana lagi? Jangan sampai seperti sebuah lagu,Yesus harus ke kanan, ke kanan, ke kanan dan ke kanan. Akhirnya Yesus makin jauh dari Bapa. Jika sudah masuk surga, sudah bahagia sekali bukan? Tidak harus di kanan Bapa. Dengar saja kata-kata salah seorang tamu dalam perjamuan yang dihadiri Yesus, “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah” (Luk 14: 15). Pernyataan itu mendorong Yesus untuk buka-bukaan (Luk 14: 15-24). Bangsa Yahudi adalah bangsa pilihan. Tentu saja merekalah yang pertama diundang untuk dijamu dalam Kerajaan Allah. Itu tidak bisa disangkal dan tak usah dipersoalkan. Tetapi pada saat datang undangan mereka berubah pikiran. Tentu saja tuan pesta harus merobah strategi. Ia mengundang orang luar. Tapi ternyata tempat masih banyak yang kosong. Maka undangan terus disebarluaskan kepada siapa saja. Maka masuklah orang-orang yang biasanya tak diundang yaitu orang miskin, orang cacat, orang buta dan orang lumpuh. Biarpun begitu ruang pesta belum penuh juga. Maka para pelayan disebarkan ke semua jalan dan lorong. Siapa saja yang ditemui, diundang untuk masuk. Orang yang menolak undangan tidak menikmati perjamuan dalam Kerajan Allah biar bangsa pilihan sekalipun. Perumpamaan ini harus menjadi pembelajaran bagi kita. Kita sering berbangga dengan agama kita. Apa yang kurang? Kebenaran ajaran iman tidak usah diragukan. Organisasi Gereja tersusun sangat rapih. Litugi apa lagi. Apakah dengan kebanggaan atas semuanya itu lalu orang Katolik pasti selamat? Atau menjadi imam dan biarawan-biarawati terjamin masuk surga? Sama sekali tidak. Hanya orang yang setia mengikuti dan melaksanakan ajaran Yesuslah yang selamat. Jangan sampai kita cuma berbangga menjadi Katolik tapi yang selamat justru orang luar, bukan? 05112013

Saturday, September 14, 2013

Mencari Domba yang Hilang

Pater Daniel Siga dan kembarnya Bapa Baltasar Kodi (lebih terkenal dipanggil Bal) sulit dibedakan. Bukan hanya wajah, tapi suara, gerak-gerik dan penampilannya persis sama. Pada suatu pagi Bapa Bal baru saja meninggalkan rumahnya. Tidak lama kemudian datanglah Pater Dan Siga. Karena sudah makin banyak rumah di sekitarnya ia lupa-lupa ingat rumah saudaranya itu. Maka ia bertanya kepada tetangga, di mana rumah Bapa Bal. Tetangga heran. Yang lain prihatin dan berkata, kasihan sekali. Baru saja ke luar rumah lalu gila? Masa, cari rumah sendiri. Pater Dan berusaha meyakinkan tetangga. Saya bukan Bapa Bal. Orang tambah kasihan dan berkata, aduh, sudah parah sekali ini. Tidak kenal lagi diri sendiri. Dalam hal ini, tentu saja tetangga keliru. Dikira Bapa Bal mencari rumah sendiri. Keadaannya lain dari pada perumpamaan gembala yang baik dalam Luk 15: 1-7. Bermula dari orang-orang berdosa. Mereka bergaul dengan Yesus. Orang Farisi dan Ahli Taurat berengut. Bagaimana mungkin, Yesus begitu akrab dengan orang berdosa. Kelihatan Ia menikmati pergaulan itu. Seharusnya Ia menjauhi mereka. Begitulah asal usul perumpamaan ini. Gembala yang baik meninggalkan domba-domba yang setia. Ia tidak berkata, peduli amat dengan yang satu itu. Lebih baik menjaga yang banyak dan masih setia ini. Tidak! Ia mencari terus yang tersesat itu sampai dapat. Betapa gembiranya gembala yang baik itu. ia berceritera tak habisnya kepada tetangga supaya mereka ikut berbahagia dengannya. Kita pun mendengar ceritera-Nya supaya bisa mencontohi-Nya. Tidak hanya senang dengan orang yang baik. Kita harus terus berusaha supaya yang hilang ditemukan kembali. Lebih baik lagi kalau kita mencegah agar jangan sampai ada yang hilang bukan? Siapa yang sedang hilang sehingga harus dicari? Mungkin orang yang serumah dengan kita. Anak-anak kita yang takut berterus terang kepada orangtua. Katanya mau kerja tugas atau setudi bersama. Tahu-tahu mau pacaran atau mau bergaul bebas. Mungkin juga suami atau isteri yang sedang hilang. Memang seranjang, tapi siapa tahu sedang rindu akan yang lain di luar sana. Lalu siapa yang harus cari dan menemukan kembali kalau bukan kita sendiri? 15092013

Thursday, September 5, 2013

Berbagi

Pengalaman mahasiswa hampir sama saja. Kiriman uang dari orangtua belum tiba. Sementara makanan sudah habis. Coba-coba pinjam uang dari teman atau dari kenalan. Syukur kalau dapat. Jika tidak maka terpaksa pinjam beras dari teman di kamar sebelah. Tapi kali ini sial, demikian cerita seorang mahasiswa kepada saya. Temannya juga sedang krisis. Beras tinggal satu gelas. Tidak cukup untuk dibagi dua. Hanya bisa masak bubur untuk temannya sendiri. Maka tadi malam dia terpaksa tidur tanpa makan. Situasi krisis pangan terasa juga dalam Mat 14: 13-21. Jauh di tempat terpencil. Hari sudah mulai malam. Orang banyak yang mengikuti Yesus sudah kelelahan dan lapar. Para murid mendekati Yesus. Suruhlah mereka urus diri masing-masing, cari makan di desa-desa sekitar. Jawaban Yesus tidak terduda-duga. “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan” (Mat 14: 16). Persoalannya, dari mana mendapat makanan di tempat terpencil menjelang malam untuk orang sebanyak ini? Yang ada cuma lima buah roti dan dua ekor ikan. Mana cukup untuk semuanya? Untuk para murid saja pun, barang kali tidak cukup. Begitulah sifat kita manusia pada umumnya. Sudah berkecukupan pun belum tentu rela berbagi, apa lagi tidak cukup untuk diri sendiri. Yesus meminta supaya ‘yang sedikit’ itu dibawa kepada-Nya. Sesudah itu dikembalikan kepada murid-murid-Nya. Tapi bukan untuk mereka sendiri. Mereka harus berbagi dengan orang yang menderita. Ternyata mereka semua berkelimpahan. Yang makan lima ribu pria. Belum terhitung wanita dan anak-anak. Luar biasa bukan? Apa yang kita kira ‘tidak cukup’ untuk kita, tapi kalau dibawakan kepada Tuhan, maka Tuhan mengembalikannya berlipat ganda. Bukan hanya untuk kita sendiri tapi harus berbagi dengan sesama. Tapi kalau kita cuma mengeluh “tidak cukup” mana mungkin ada perubahan? Belum coba, bukan? 05082013

Wednesday, September 4, 2013

Bertolak Lebih Ke Dalam!

Rupanya teman itu sudah tidak tahan lagi. Kritik dan saran saya terlalu banyak pada kineranya. Akhirnya ia berkata, e….di kelas itu Romo punya bidang. Tapi di lapangan pastoral ini saya punya bidang. Jangan ajar bebek berenang. Saya langsung knock out.

Keadaannya mirip dengan Luk 5: 1-11. Petrus dan kawan-kawan sudah turun ke darat. Sepanjang malam mereka melaut. Sialan! Tidak tangkap seekor ikan pun. Kecewa? Tentu saja. Ditambah lagi kecapaian. Tapi belum selesai bersihkan jala, Yesus menyuruh Petrus menolakkan perahunya ke laut lagi. Bukan menangkap ikan tapi Ia mau mengajar orang banyak dari atas perahu. Rupanya Yesus juga senang dengan situasi baru. Setelah selesai mengajar, Yesus berkata: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan” (Luk 5: 4). Yesus kan dari Nazaret. Orang gunung. Hari-hari hanya ukur jalan dari kota ke kota. Kalau mengajar orang banyak, memang Dia hebat. Tapi tangkap ikan? Tahu apa Dia? Semuanya ini rupanya hanya dalam hati. Tapi dari apa yang terungkap ke luar bisa ditebak. “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga” (Luk 5: 5). Hasilnya? Di luar dugaan. Luar biasa banyak. Petrus sendiri tidak bisa menarik jalanya. Perlu minta bantuan teman-teman. Petrus menyesal telah berprasangka buruk. Ia harus berterus terang: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa” (Luk 5: . Itulah Petrus. Spontan mengaku bersalah biarpun cuma di hati. Reaksi Yesus? Kecewa atau marah? Sama sekali tidak. Ia malah membebastugaskan Petrus dkk dari menjala ikan menjadi penjala manusia. Suatu kehormatan buat mereka. Petrus dkk serentak meniggalkan pekerjaan pokok dan keluarganya lalu mengikuti Dia. Menarik bukan? Petrus spontan mengaku bersalah. Yesus memberi kepercayaan dan kehormatan besar kepada orang yang baru saja berprasangka buruk terhadap-Nya. Lalu kita? 05092013

Tuesday, September 3, 2013

Ibadat yang Sejati

Tunggu air sudah sampai di batang leher, baru kamu cari Ketua KUB. Hari biasa kamu masabodoh saja. Waktu doa kelompok, katekese umat dan latihan koor, saya tidak pernah lihat kamu punya muka. Tapi kalau perlu surat rekomendasi untuk pembaptisan anak, kamu datang untuk paksa-paksa saya. Demikian kata ketua KUB kepada salah seorang anggota kelompoknya. Habis, saya lihat kamu yang rajin doa dan misajuga sama saja dengan kami yang tidak rajin ini. Jawab bapa itu, tetapi dengan suara kecil sehingga tidak terdengar Ketua KUB. Itu berarti doa dan kegiatan rohani lainnya tidak berdampak apa-apa dalam hidup harian. Ada jarak antara kegiatan rohani dan kegiatan sehari-hari. Lain halnya yang kita temukan dalam Luk 4: 38-44. Setelah melakukan kegiatan di rumah ibadat, Yesus langsung menuju rumah Simon. Jaraknya dekat sekali. Hanya beberapa langkah saja. Apa yang diwartakan di rumah ibadat langsung dilaksanakan di rumah Simon. Di rumah ibadat, tentu saja Yesus menyampaikan firman Allah yang menyelamatkan. Keselamatan itu langsung terjadi atas ibu mertua Simon yang sedang sakit. Ia disembuhkan oleh Yesus. Tidak hanya itu. Biarpun matahari sudah terbenam, Yesus tetap meyembuhkan para penderita yang dibawa kepada-Nya. Setan-setan diusirnya dari orang yang kerasukan. Keselamatan yang diwartakan dalam ibadat langsung dilaksanakan di masyarakat. Tidak ditunda sampai terlupakan atau terabaikan. Beda dengan para pemimpin Yahudi. Mereka mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang di rumah ibadat. Tapi di luar sana, mereka menelan rumah janda-janda (Luk 20: 47). Ibadat tak berdampak dalam peri laku di tengah masyarakat. Begitulah para ahli Taurat dan orang Farisi yang dikritik Yesus. Bagaimana kita? 04092013

STOP PRESS!

Pembaca sekalian,
beberapa renungan saya yang tidak sempat diposting ke sini bisa dibaca langsung dari facebook saya https://www.facebook.com/rmande.kebelen
Terimakasih!

Apa kita Mau mengikuti Dia?

Saudara sepupu saya rada-rada aneh. Sesudah tamat SMP ia tidak mau melanjutkan sekolah. Ia berdalih mau menolong mamanya kerja di kebun. Bapanya meninggal ketika kami di kelas lima Sekolah Rakyat (SR). Tetapi sesudah delapan tahun menjadi petani ia mengikuti kursus persamaan guru. Waktu itu memang sangat kurang tenaga guru untuk mengajar di SR. Setelah selesai kursus ia ditempatkan di salah satu SR. Letaknya agak jauh dari kampung kami. Yang menjadi kepala sekolah waktu itu adalah teman kelasnya di SR. Sepupu saya tidak mau menjadi guru bantu di sekolah itu. Maunya menjadi kepala sekolah. Alasannya, temannya itu dulu biasa nyontek pekerjaannya. Masa, ia menjadi guru bantu pada orang yang lebih bodoh. Lalu ia mengadu nasib ke Sabah. Kerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit. Di tempat baru ini pun ia gagal. Ia tidak mau menjadi buruh tapi mau menjadi mandor. Kakak saya mengatakan kepadanya, ke mana saja engkau pergi, engkau akan gagal. Kalau mau menjadi besar, engkau harus merangkak dengan susah payah dari bawah. Masa, engkau mau langsung duduk di atas. Perjalanan hidup sepupu saya bertolak belakang dengan apa yang tersirat dalam Luk 9: 28b-36. Sementara berdoa di atas gunung, roman muka Yesus berubah memancarkan kemuliaan. Pakaian-Nya pun menjadi putih berkilauan. Ia sedang terlibat dalam pembicaraan serius dengan dua tokoh agung masa lampau, Musa dan Elia. Topik yang dibahas pun tidak main-main, tentang kepergian-Nya ke Yerusalem. Tujuan kepergian-Nya sudah lama sekali direncanakan Allah dan tersurat dalam Taurat Musa dan kitab nabi-nabi. Ia pasti mengalami penolakan oleh para imam, tua-tua dan seluruh bangsa-Nya sendiri. Ia akan ditinggalkan para pengikut-Nya, dianiaya sampai mati di salib. Tapi itu bukanlah akhir melainkan jalan untuk memasuki kemuliaan dalam kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Dengan jalan ini Ia akan membebaskan kita dari kekuasaan iblis dan diangkat untuk melihat kemuliaan-Nya. Allah sendiri menyatakan kepada para murid, Petrus dkk bahwa Yesus yang melaksanakan rencana-Nya ini adalah Anak-Nya. Dengarkanlah Dia. Kita memang sudah sering mendengar tentang jalan sengsara yang ditempuh-Nya untuk masuk dalam kemuliaan. Tapi apakah kita mau mengikuti-Nya? Kebanyakan kita lebih suka memilih jalan pintas seperti sepupu saya. Selalu gagal mencapai kebahagiaan sejati, bukan? Lalu apa? 06082013

Tentang Harta Kekayaan

Saya bersyukur bisa bertemu dengan Fransesco Iguji di biara Fransiskan di Lamsai, Bangkok. Itu terjadi pada tgl 5 Mei yang lalu. Dia berkebangsaan Jepang, lahir dan besar di AS. Seorang
awam yang tidak hanya mengagumi St Fransiskus tapi juga berusaha untuk meneladani hidupnya. Orangnya sangat sederhana dan lugu. Dari ceriteranya, saya mengetahui, bahwa dia sudah menjadi bagian dari ordo Fransiskan. Ia tertarik akan usaha P. Gregorius OFM dan Br. Atanasius OFM untuk rehabilitasi korban narkoba di biara itu. Ia banyak memberi sumbangan ide, tenaga, finansial dan material. Ia selalu bertanya, apa yang masih perlu ia buat. Jelas terlihat bahwa ia sangat menikmati hidup yang demikian. Dari Bangkok ia akan ke Mianmar dan Kamboja untuk tujuan yang sama. Ia sudah sampai pada tahap memikirkan dan mengusahakan kebahagiaan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Jauh bedanya dengan orang yang kelimpahan harta dalam Luk 12:13-21. Berawal dari soal jawab seseorang dengan Yesus tentang pembagian warisan. Yesus tolak menjadi penengah. Penegakan hukum memang penting. Tapi itu adalah urusan para ahli Taurat atau guru dalam masyarakat Israel. Yesus berusaha mengantar orang itu dan juga kita untuk menemukan akar sengketa yang terdalam yakni ketamakan dengan perumpamaan-Nya. Orang yang rakus tak pernah berkecukupan. Semakin banyak harta kekayaan semakin terasa kekurangan. Seperti meneguk air laut, semakin diminum semakin haus. Sementara kepuasan tidak pernah tercapai, bukan? Maka sangat keliru jika kita menyangka bahwa makin banyak harta yang dikumpulkan, makin terjamin keamanan, masa depan, kebahagiaan dan kenyamanan hidup. Mau contoh apa lagi. Para koruptor tidak terjamin dengan banyaknya uang dan harta kekayaan bukan? Mata kita tertutup oleh ketamakan sehingga tidak tahu apa kehendak Tuhan dengan harta kekayaan. Selama kita hanya memikirkan diri sendiri, tidak mungkin kita mengikuti kehendak-Nya yakni menolong orang lain, seperti Fransesco Iguji. Ia sungguh berbahagia dengan berbagi apa saja yang ia punya. Franseco Iguji bisa, mengapa kita tidak? 04082013

2 Agustus

Herodes adalah raja. Ia punya kuasa dan nama besar. Saudaranya seayah, Filipus, bukan raja dan tidak punya nama apa-apa. Tapi ia punya isteri yang cantik, Herodias. Terjadilah perselingkuhan antara kekuasaan dan kecantikan. Herodes menceraikan isterinya dan mengawini isteri Filipus, meskipun saudaranya itu masih hidup. Herodias tanpa beban meninggalkan Filipus dan senang menjadi isteri raja. Baik Herodes maupun Herodias menikmati suasana baru dalam hidup berkeluarga. Tapi perkawinan yang tidak wajar ini ditentang oleh Yohanes. Ia tidak pandang bulu. Malah karena raja adalah tokoh publik yang harus memberi contoh, maka Yohanes menegurnya di depan publik juga. “Tidak halal engkau mengambil Herodias!” (Mat 14:4).Tentu saja Herodes dan Herodias terusik. Siapa saja yang tengah mabuk asmara tidak terima baik, bukan? Herodes mau membunuh Yohanes tapi takut akan reaksi massa. Herodias nekad betul, sampai akhirnya berhasil. Yohanes Pembaptis mati dipenggal, atas perintah Herodes, karena permintaan Herodias yang nekad membalas dendam (Mat 14:1-12). Yohanes sudah lama mati, lebih dari 2000 tahun yang lalu. Tapi suaranya: “Tidak halal engkau mengambil Herodias” tetap bergema higga sekarang, menerobos sampai di tempat gelap yang paling rahasia. Semoga didengarkan oleh mereka yang masih berencana atau yang pernah berselingkuh, agar tidak melaksanakannya, bukan? 03082013

Renungan 1 Agustus

Sebagai frater Tahun Orientasi Pastoral (TOP), pada tahun 1969, saya menjadi bapa asrama untuk Sekolah Teknik dan Sekolah Pertukangan di Larantuka. Pada suatu pagi, baru saja selesai mengajar, saya diberitahu bahwa Pa Dandres mau bertemu. Wah, saya salah apa ini? Itulah yang pertama muncul dalam pikiran saya. Ternyata Pa Dandres minta bantuan. Kalau bisa anaknya diterima juga di asrama. Dari penjelasannya saya mengetahui bahwa inilah jalan terbaik. Anaknya yang juga siswa ST terlalu nakal di rumah. Baru saja ia menghajar adiknya sampai terjatuh dari tempat tidur. Mungkin gegar otak sebab sampai muntah-muntah. Pa Dandres mau menindaknya, tapi mamanya selalu bela. Dari pada ribut di rumah lebih baik anak ini masuk asrama saja. Saya prihatin dengan Pa Dandres. Tokoh yang sangat dihormati di seluruh Kabupaten Flores Timur tapi di rumah sendiri rasanya isteri dan anak tidak respek. Situasi serupa terbersit dalam Mat 13: 53-58. Yesus mudik bersama para murid-Nya. Tapi bukan dalam rangka lebaran. Di kampung asal-Nya ini Ia mengadakan beberapa mujizat. Pada hari Sabat Ia memberikan pelajaran kepada orang sekampung-Nya. Mula-mula mereka kagum atas mujizat dan pengajaran-Nya. Muncul pertanyaan di antara hadirin. “Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa mengadakan mujizat-mujizat itu?” (Mat 13: 54) Pertanyaan merambat hingga ke status dan asal usul Yesus. Sebenarnya biasa-biasa saja. Ia kan tukang kayu dari lingkungan mereka sendiri. Jadi hebat apanya Dia itu? Kenyataan ini membuat mereka enggan menerima pengajaran-Nya dan mujizat-mujizat-Nya. Yesus tidak heran akan kekecewaan dan penolakan mereka. “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya” (Mat 13: 57). Bagaimanakah reaksi para murid? Memang tidak dinyatakan Matius. Tapi bisa dipastikan mereka marah. Sama dengan reaksi Yakobus dan Yohanes ketika orang Samaria menolak Yesus memasuki kampungnya. Keduanya mau minta api turun dari langit untuk membinasakan kampung itu (bdk Luk 9:51-56). Bukankah ini menjadi pelajaran berharga bagi para murid? Tuhan saja ditolak. Apalagi para murid-Nya. Tapi apakah hanya orang Nazaret dan Samaria menolak Yesus? Saya yakin kita, para pengikut-Nya pun tidak ketinggalan menolak Dia dalam hidup kita. Kita kan lebih suka mengikuti keinginan kita walaupun bertentangan dengan ajaran dan kehendak-Nya. Jika tidak, maka tidak ada lagi pelanggaran yang terjadi, bukan? 02082013

Sunday, June 30, 2013

Bangga menyandang nama Katolik di E-KTP?

Bapa itu duduk saja di depan pintu toko swalayan. Ia hanya menengadah melihat setiap orang yang masuk ke luar toko. Ternyata ia penyandang cacad. Tidak ada kaki seperti kita yang lain. Hanya tersembul sedikit saia. Itu pun sangat kecil seperti ujung kaki bayi. Ketika saya ke luar dari toko, ia menatap saya. Uang kembalian saya serahkan kepadanya. Ia tersenyum dan ucapkan terima kasih. Dalam perjalan saya bergulat dengan pikiran saya sendiri. Orang itu hidup hanya dari pengharapan. Mudah-mudahan ada yang berbelas kasihan. Itu bukan hanya sekali dua, tapi seumur hidup. Andai kata saya seperti dia, bagaimana ya? 

Keadaannya mirip Yesus dalam Mat 8:19-20. Seorang ahli Taurat mau mengikuti-Nya ke mana saja Ia pergi. Ahli Taurat adalah orang terpandang dan sudah mapan. Mau ikut Yesus? Mau cari apa lagi? Gila, kalau mau cari susah. Yesus berterus terang kepadanya: “Serigala mempunyai liang dan burung pun mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Mat 8:20). Miskin sekali bukan? Sejak meninggalkan Nazaret, Yesus menjadi pengembara. Ia berada di gunung, berlayar di danau, berada di pantai, masuk ke sinagoga dan rumah orang lalu berjalan lagi dari tempat ke tempat untuk mewartakan Kerajaan Allah. Memang benar Ia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala. Tidak jelas, apakah ahli Taurat itu nekad mengikuti Yesus atau tidak. Kalau dia mencari posisi yang lebih baik dan harta kekayaan, pasti salah alamat. Tapi kalau mencari Kerajaan Allah, maka yang lain-lain itu akan ditambahkan kepadanya (Mat 6:33). Kenyataannya dari dulu sampai sekarang orang tetap berbondong-bondong mengikuti Yesus. Ada yang mundur di tengah jalan sebab kecewa. Yang lain biar jatuh bangun tetap mengikuti-Nya. Ada pula yang sedang ragu-ragu. Yang lain lagi seperti Petrus dkk: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yoh 6:68). Tidak sedikit, yang karena Dia mengalami banyak kesulitan sebagai minoritas. Yang lain bahkan dianiaya sampai mati karena tetap berpegang pada-Nya. Lalu kita? Bangga sebab menyandang nama Katolik di E-KTP? 01072013

Saturday, June 29, 2013

Cinta yang Spesial, untuk Siapa?

Orang omong kasak-kusuk. Lebih baik jujur saja! Jangan sembunyi terus di balik jubah putih! Kita sudah muak! Kita malu juga! Orang bukan Katolik pun sudah tahu! Demikian bicara iseng antar umat tentang pastor yang ketahuan punya simpanan. Sangat laris, terutama di antara para ibu dalam arisan atau doa kelompok. Kasak kusuk itu berdampak juga. Pastor itu akhirnya menanggalkan jubah. Kini sudah jauh dari paroki. Hidup di daerah baru. Di balik pembicaraan itu tersirat rasa prihatin, cinta dan hormat terhadap panggilan suci. 

Bukan hanya umat. Tuhan sendiri pun menuntut yang sama. “Siapa saja yang mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada Aku, ia tidak layak bagi-Ku, dan siapa saja yang mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih daripada AKu, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:37). Lebih mengasihi orang tua atau anak kandung sendiri saja, sudah tidak layak bagi-Nya. Apalagi wanita simpanan, bukan? Hubungan dengan Yesus harus mendapat prioritas utama. Dituntut ketetapan hati dan kebulatan tekad untuk mengikuti Yesus, di saat terjadi konflik kepentingan. Mengikuti Yesus bukan tanpa resiko dan penderitaan. Sebaliknya, ukuran kita menjadi pengikut setia-Nya justru terletak dalam cinta dan kesediaan memanggul salib. Bukan pada jabatan atau status apa pun. Yang itu mudah disalahgunakan untuk kesenangan sendiri, bukan? Hal ini tidak hanya berlaku untuk kaum berjubah, tapi juga yang berumah tangga. Kaum berjubah harus mencintai semua. Tidak boleh menaruh cinta khusus pada seorang saja. Sebaliknya, yang berumah tangga harus punya cinta spesial hanya pada seorang seumur hidup. Tidak boleh lagi di luar dari itu. Dua-duanya memang tidak gampang. Itulah salib yang harus dipikul para pengikut Yesus supaya selamat. “Siapa saja yang tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku (Mat 10:38). Masih mau coba? 30062013

Si Batu Karang: Petrus

Hiruk pikuk kampanye sudah selesai. Pemenang sudah jelas. Tugas ke depan ialah bagaimana mengatur barisan pimpinan. Pasti ada wajah baru. Yang berseberangan dalam kampanye, tidak “dipakai” lagi, sebab tidak loyal. Itu terjadi di mana-mana. Alasan yang biasanya dilontarkan tentu bukan itu. Bukan juga sebaliknya, ialah balas jasa. Yang biasa terdengar ialah pernyataan basa-basi. Demi efektifitas pemerintahan. Tujuannya ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi semua orang tahu. Ada unsur balas dendam. Lawan politik biasanya diberi tempat “terhormat” dalam kumpulan staf ahli. 

Kenyataan ini berbeda sekali dengan Mat 16:13-19. Petrus mengakui Yesus bukan sebagai salah seorang nabi besar, seperti kata orang. Tapi “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup” (Mat 16: 16). Spontan saja Yesus menyampaikan proficiat kepada Petrus: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus” (16:17). Alasannya bukan terletak pada jawabannya yang tepat. Tapi Bapalah yang menyatakan itu kepadanya. Lalu menyusullah pengakuan Yesus terhadap Simon. “Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus” (batu karang). Tidak hanya sebuah pengakuan kosong. Tapi disusul dengan sebuah janjii: “dan di atas batu karang ini AKu akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18). Tidak hanya itu. Yesus menjanjikan juga penyerahan kunci Kerajaan, dengan kuasa untuk mengikat dan melepaskan, yang berlaku juga bagi Allah. 

Kepercayaan luarbiasa besar, bukan? Tapi apa yang terjadi belakangan? Tidak akan terhapus dari catatan Kitab Suci. Si batu karang ternyata goyang juga. Tiga kali Petrus menyangkal mengenal Yesus yang begitu percaya kepadanya. Tragisnya dijatuhkan pertama kali oleh seorang hamba wanita, di saat Yesus begitu menderita. Beginikah Petrus yang diandalkan itu? Apa jadinya dengan jemaat yang didirikan di atasnya? Yesus harus merevisinya. Itu menurut kita. Ternyata tidak. Yesus memang tahu kelemahan itu. Ia tidak tinggal diam. “Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu’ (Luk 22:32). Terbukti ‘kan? Selanjutnya Petrus tampil gagah perkasa dalam kotbah pada hari Pentekosta. Tiga ribuan orang bertobat dan minta dibaptis (Kis 2:14-42). Selanjutnya ia mati disalib demi Tuhannya, dengan kepala ke bawah. Tuhan percaya bukan hanya kepada Petrus. Tapi juga kepada kita masing-masing dengan keunikannya. Tidak terpikir untuk menariknya kembali, ketika kita jatuh. Kesempatan untuk bangkit kembali tetap diberikan-Nya. Lalu bagaimana dengan kita? 29062013

Thursday, June 27, 2013

Beranikah Kita Mendekati dan Menjamah DIA?

Saya melayani sebuah stasi di pedalaman. Pernah saya omong-omong dengan ketua stasi tentang keadaan umat. Ia berceritera apa adanya. Ia menyesal. Ibu yang dulu jadi koster, sudah setahun ini tidak lagi ke gereja. Itu terjadi sejak suaminya meninggal. Pada hal dia rajin sekali dan tertib. Dia juga yang latih putra-putri altar. Kedua anaknya masih ke gereja. Sesudah perayaan Ekaristi saya mengunjunginya. Dia terkejut sebab tidak mengira sama sekali. Jelas terlihat dia belum mandi juga. Sementara omong-omong, anak nonanya berbicara dalam bahasa daerah. Saya tidak mengerti. Ternyata anaknya menegur dia. Masa, omong dengan pastor dalam keadaan seperti itu. Rasanya tidak layak. 

Yang dialami Yesus dalam Mat 8:1-4 jauh lebih hebat. Seorang kusta menemui-Nya. Pada hal yang mengidap kusta adalah najis. Harus dihindari oleh setiap umat. Apalagi memasuki wilayah kudus seperti Bait Allah. Mereka dikucilkan dari pergaulan orang Israel. Tetapi orang kusta yang satu ini sangat berani . Ia tidak hanya memasuki wilayah kudus. Tapi ia langsung mendekati Yang “kudus Anak Allah” (Luk 1:35). Tidak hanya itu. ia mengajukan sebuah permohonan yang sederhana. “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku” (Mat 8: 2). Tidak bertele-tele. Reaksi Yesus? Seketika itu juga, “Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: Aku mau, jadilah engkau tahir” (Mat 8:3). Luar biasa bukan? Yesus tidak sok suci seperti semua orang Israel yang menghindari orang kusta. Ia tidak hanya rela didekati, tapi Ia mengulurkan tangan-Nya dan menjamah si najis itu. Sesungguhnya kita juga adalah penderita kusta rohani. Kita adalah orang-orang berdosa. Tak ada seorang pun yang suci murni. ada yang dosanya diketahui umum. ada juga yang tertutup rapih. tapi Tuhan tahu semuanya. Beranikah kita seperti si kusta dalam Injil ini untuk mendekati Yesus dan memohon yang sama? Ataukah kita justru menghidari Sakramen Pengakuan dengan berbagai alasan? 28062013

Berpenampilan Ganda

Coba perhatikan! Kalau perayaan akbar, Natal atau Paskah, yang paling sibuk adalah seksi liturgi. Doa-doa diketik kembali dan diperbanyak. Biaya berapa saja tidak soal. Nanti umat beli dan uang masuk lagi. Lalu koor? Tidak usah tanya lagi. Latihan koor digenjot. Tidak ada yang mengeluh. Seragam disiapkan. Itu kan soal penampilan. Pada hari H memang luar biasa. Lagu-lagu yang dinyanyikan sungguh-sungguh menghantar kita masuk dalam suasana perayaan suci. Begitu bersemangat sehingga mau tidak mau mengundang aplaus. Orang yang sudah lama tidak ke gereja pun pasti muncul juga. Paling kurang bisa komuni setahun sekali. Tapi apa kata Tuhan tentang semuanya itu? 

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat 7:21a). Mengapa? Kita kan berpenampilan ganda. Di dalam gereja alimnya bukan main. Mulut kita penuh dengan nama Tuhan dalam doa yang khusuk dan nyanyian yang merdu. Kita mohon “Tuhan kasihanilah kami”. Tapi di luar gereja? Sedikit pun kita tidak kasih hati kepada pembantu rumah tangga atau orang kecil lainnya. Jangankan pujian, terima kasih saja tidak. Apalagi tips hari raya? Kita bermadah memuliakan Allah dalam lagu yang gegap gempita. Tapi sesudah itu, kita kembali ke kubangan lumpur dosa yang itu-itu juga: mabuk-mabukan, judi, korupsi atau selingkuh. Kita makan sehidangan dengan Dia dalam komuni kudus. Di luar gereja? Kita sulit berbagi dengan orang yang berkekurangan. Mungkin kita malah berlaku tidak adil dengan menggelapkan hak-haknya. Apalagi sedang hangat-hangatnya BLSM sekarang ini. Singkatnya, kita tidak melakukan kehendak Bapa di surga. Semua doa dan lagu pujian dalam perayaan, sama sekali tidak dapat menjadi alasan bagi kita untuk claim: “Tuhan, Tuhan, bukankah kami selalu berdoa, terima sakramen-sakramen, ikut katekese dan aktip terlibat dalam kegiatan di KUB dan di paroki? Hampir pasti kita akan mendengar Dia berkata: “Aku tidak pernah mengenal kamu, enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat durjana” (Mat 7:23). Lalu, mau demo Tuhan? Cobalah, kalau berani! 27062913

Tuesday, June 25, 2013

Mengabdi Kepada Dua Tuan?

Sesudah pembinaan di instansi itu beberapa orang PNS menemui saya. Yang Romo omong tadi benar. Tapi kami juga harus menjaga piring nasi kami, Romo. Salah-salah kami bia dipecat, jika tidak loyal. Benar, kata saya. Kita harus loyal. Selama kita loyal pada kebenaran, kita tidak akan dipersalahkan. Demikian saya tandaskan lagi. Sebaliknya jika kita turut bekerja sama untuk menggoalkan suatu kecurangan yang merugikan kepentingan umum, kita tidak akan selamat. Secara ekonomis kita mungkin beruntung. Tapi sesungguhnya kita akan terus-menerus diusik dan digugat hati nurani kita. Kita tetap merasa bersalah dan tidak tentram. Masa, sebagian besar uang proyek dipakai untuk pernikahan anak Kepala Dinas. Proyek sendiri mendapat jatah tidak sampai separuh dana. Selebihnya menjadi uang tutup mulut para pegawai. Lalu kamu membuat kwitansi fiktip, sebagai alat bukti penyaluran uang proyek. Bagaimana mungkin kamu dapat menjadi saksi iman di instansi ini kalau kamu menutup mulut? Romo, omong tentang iman itu nanti di gereja saja. 

Benarlah apa yang dikatakan dalam Mat 6:24: “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat sekaligus mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon”. Yesus memberikan peringatan dini akan bahaya kebutaan nurani yang dapat menyesatkan kita. Pada hal hati kita adalah tempat nilai-nilai luhur, bukan? Tetapi mata hati kita dapat dibutakan oleh mulut manis si lidah buaya, harta dan uang. Bila diombang-ambing oleh bujuk rayuan dan tergiur oleh mumpung ada kesempatan, maka kita goyah dan jatuh. Kita harus memilih antara taat kepada Allah yang mencintai kita atau mendewakan uang dan harta. Uang dan harta menjanjikan kebahagiaan dan keamanan di masa depan, tapi merampok kekayaan kita sekarang ini, bukan? Tidak percaya? Demi mengejar uang kita tak dapat hidup jujur dan bebas. Kita merusak perkembangan pribadi dan kehidupan keluarga. Kita tak berkutik di depan kejahatan dan dusta. Mana mungkin kita mau mengenal sesama yang menderita, sementara kita menjilat penguasa? Lalu Tuhan yang sabar dan setia mencari kita yang sedang tersesat mau diapakan, ya? 22062013

Menyangkal diri, Memikul Salib dan Mengikuti Aku

“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Itulah salah satu warisan kebijaksanaan leluhur kita. Peninggalan kuno, tapi tetap luhur. Tidak akan luntur. Maksudnya jelas sekali. Tak ada jalan tol menuju kebahagiaan sejati. Harus dicapai dengan jerih payah. Perlu perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit. 

Hal yang sama juga disampaikan Yesus kepada kita dalam Luk 9:18-26. Mula-mula Ia bertanya kepada para murid, apa kata orang banyak. Siapakah Dia? Semua orang sepakat. Yesus itu Yohanes Pembaptis, atau Elia, pokoknya jelmaan salah seorang nabi besar dari zaman dahulu. Itu kata orang. Lalu apa kata para murid? Seperti biasa, Petrus angkat bicara, mewakili rekan-rekannya, “Mesias dari Allah” (Luk 9:20). Dalam tradisi kepercayaan orang Yahudi, Mesias adalah orang yang diurapi, yakni raja dan imam. Ia menjadi juruselamat bangsanya. Yesus melarang keras para murid-Nya. Tidak boleh menyampaikannya kepada siapa pun. Lalu Ia sendiri menyatakan jati diri-Nya. “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga” (Luk 9:22). Suatu pernyataan yang sama sekali tidak bijaksana dalam rangka menjaring banyak pengikut, bukan? 

Siapa mau mengikuti pemimpin yang konyol begini? Tapi itulah jati diri-Nya. Ia tidak bisa menyangkal diri-Nya sendiri. Ia bukan penjual obat yang berbual supaya cepat laku. Belum cukup. Ia berkata kepada semua orang: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, harus menyangkal dirinya, mengikut salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9: 23). Mengikut Dia? Untuk apa kalau hanya menanggung beban penderitaan? Kecenderungan kita ialah mencari kebahagiaan. Kalau ada jalan pintas, mengapa tidak? Bukan memikul beban hidup setiap hari. Tapi apa kata-Nya tentang kebahagiaan yang kita kejar? “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?” (Luk 9:25) Bukankah inilah kebenaran yang kita saksikan setiap hari? Para koruptor, yang ngebut di jalan tol kebahagiaan akhirnya terjerumus di jurang kehancuran. Semua harta kekayaan disita, rahasia pribadi seperti kawan selingkuhan, yang kecipratan uang haram, dibongkar. Benarkan firman dalam Luk 9:25? Lalu kita? 23062013

Apakah Kita Percaya?

Masa penantian kami seperti tak berujung. Mohon doakan kami dalam perayaan Ekaristi berulang kali, Romo. Sudah diperiksa banyak ahli kandungan dan berobat ke banyak dokter. Sudah pakai juga ramuan tradisional. Pergi ke orang pintar dari satu tempat ke tempat yang lain. Pancing dengan angkat anak. Semua usaha tidak berhasil. Akhirnya kami pasrah saja. Rupanya ini menjadi salib keluarga kami, Romo. Begitulah ceritera suami isteri yang tak dikarunia anak dalam pernikahannya itu. Tapi masih jelas terasa ada kerinduan yang besar untuk mendapatkan anak dari rahim sendiri. 

Pengalaman ini mirip dengan Zakaria dan Elisabet, bukan? Berbagai usaha dan daya upaya tentu sudah ditempu. Tak berhasil juga. Keduanya sudah lanjut usia. Sudah tidak ada harapan lagi. Tetapi justru pada saat itu datang malaekat Tuhan. Ia berbicara dengan sangat pasti. Zakaria dan isterinya dikaruniai seorang anak laki-laki. Tapi Zakaria tidak percaya. “Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal itu akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya” (Luk 1:18). Akibatnya ia menjadi bisu sampai anak itu lahir. Untuk memastikan nama anaknya pun dia harus menulisnya pada sebuah batu tulis (bdk Luk 1:63). Kebesaran Tuhan memang tak dapat ditangkap seluruhnya oleh daya nalar kita. Ada banyak peristiwa serupa terjadi di sekitar kita. Tetapi kita tak dapat mengerti, bukan? Tidak cocok dengan analisa ilmiah, biarpun dibantu dengan IT sekalipun. Tapi tak bisa disangkal. Sudah terjadi dan semua orang tahu itu. Kenyataan ini seharusnya membuka ruang untuk iman kepercayaan kita akan Allah. Persoalannya, apakah kita percaya? 24062013

Ada Racun di Ekor!

Cave cane in cauda! Demikian kata salah satu peribahasa Latin. Hati-hati, ada racun di ekor. Suatu peringatan yang bagus dalam pergaulan. Mulut manis, murah senyum, pamer kemegahan, mungkin pencitraan yang ada maunya. Hal ini ada di mana-mana: politik, medis, bahkan menyusup sampai ke dalam hidup beriman. 

Ingat apa yang dikatakan Yesus dalam Mat 7:15-20. Antara lain Yesus berkata: “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas” (Mat 7:15). Bahaya terselubung, bukan? Maka Yesus menambahkan: “Dari buahnyalah kalian akan mengenal mereka” (Mat 7:16). Kita tahu buah-buah iman yakni perilaku dan perbuatan baik seperti: cinta kasih, jujur, suka damai, setia kawan, murah hati dan suka membantu tanpa pamrih. Di sinilah terletak kekuatan hidup beriman. Bukan pada gedung gereja yang megah dan ornamen yang mewah. Apalagi kalau dibangun dengan menghitung-hitung andil dan jasa. Itu hanyalah pameran kemegahan tanpa gizi iman. Demikian juga dalam hal berdoa. Bukan mendekatkan diri pada Tuhan, tapi utuk menuai keuntungan. Lihat saja doa penyembuhan. Pendoa berlagak penuh mistik. Doa musti di tengah malam. Seakan-akan hanya pada waktu itulah Tuhan ditemukan. Ujung-unjungnya adalah uang, bukan? Dengan naiknya BBM, tarifnya pun mungkin ikut didongrak. Siapa tahu? 26062013

Mulutmu harimaumu

Mulutmu adalah harimaumu. Ada yang mengatakan buaya. Harimau atau buaya sama saja. Maksudnya jelas. Suatu peringatan dini, agar berhati-hati dengan tutur kata kita. Bisa-bisa menjadi kontra produktip. Malah jadi bumerang. Ingat kampanye di tahun 2009, bukan? Semua yang berkampanye beramai-ramai mengambil hati pemilih. Ada yang berteriak, “Katakan tidak pada korupsi”! Apa jadinya? Korupsi jualah yang menjebloskannya ke dalam penjara. Benarkan, mulutmu adalah harimaumu? 

Dalam Mat 7: 6, Yesus pun memperingatkan para pengikut-Nya: “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu”. Para pengikut, khususnya yang berada di tengah musuh umat Tuhan, jangan mengobral kata-kata mutiara keselamatan. Kita perlu belajar dari pengalaman Rasul Paulus di Areopagus (Kis 17:29-34). Gaya bicaranya sangat memikat pendengar. Ia berbicara tentang apa yang mereka sembah, tanpa mengenalnya. Dialah Allah, pencipta langit dan bumi. Ia tidak berdiam dalam kuil dan dilayani manusia. Pendengar sangat entusias. Tapi ketika ia menampilkan kebenaran bahwa Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, apa reaksi orang Areopagus? Ada yang mengejeknya. Yang lain meninggalkannya. “Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu” (Kis 17:32). Biarlah sedikit benih kesaksian yang ditaburkan. Ia akan bertumbuh perlahan-lahan. Pasti menjadi pohon yang besar dan rindang. Seperti biji sesawi (Mat 13:31-32), bukan? Tapi jangan karena takut, lalu membenamkan benih itu di hati sendiri (bdk Mat 25:18). Kita pun harus menjadi saksi (bdk Kis 1:8), bukan? 25062013

Friday, June 21, 2013

TUHAN tidak buta

Tadi menjelang malam, saya sedang menyiapkan renungan untuk besok. Pintu kamar saya diketok. Saya teriak: masuk! Pintu tidak dibuka. O…pasti tamu. Bukan frater. Kalau frater tentu sudah buka pintu. Saya bangun dan buka pintu. Ternyata mantan siswa saya di PGA dengan isterinya. Sekarang ia berkarya sebagai guru agama di pedalaman. Jauh dari Kupang. Ia membawa berita musibah. Kost anaknya terbakar. Anaknya dkk luput hanya dengan pakaian di badan. Ia datang untuk meminta bantuan. Saya membantu sejauh kemampuan saya. Segera saya hubungi kenalan di kantor Walikota. Syukur, ada jalan ke luar. Perlu laporan dari Pak Lurah maka bantuan bisa disalurkan. Dia ucapkan terima kasih dan masih sempat berkomentar. Betul e Romo kata Tuhan: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu, carilah, maka kamu akan mendapat, ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7). Saya katakan, orang yang tidak peduli akan Tuhan pun, tetap dikasihi Tuhan. Apalagi orang yang setia mengabdi kepadanya. Tuhan tidak buta. Ia tidak pernah terlambat untuk menyalurkan bantuan. Ia bersabda: “Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya” (Mat 6:8). Selanjutnya Ia mengajarkan doa yang indah dan sarat makna: Bapa kami. Semua yang kita butuhkan sudah tercakup di dalamnya. Sayangnya, kita biasa mendaraskannya terburu-buru, karena sudah dihafal. Mulut kita menyapa, Bapa kami…tapi hati dan pikiran kita jauh dari pada-Nya. Benarlah nubuat nabi Yesaya: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku” (Yes 29:13). Doa kita kehilangan makna. Itu selagi kita dalam keadaan baik. Tapi ketika mengalami musibah, barulah kita berdoa dengan kusuk, tutup mata, dan memaksakan keinginan kita kepada Bapa. Bukan “jadilah kehendak-Mu” (Mat 6:10) tetapi terjadi menurut apa yang kita harapkan dan butuhkan sekarang. Kita memaksa Bapa mengabulkan apa yang kita minta. Beginikah sepantasnya sikap anak kesayangan Bapa? 20062013

Semakin diminum, Semakin Haus

Belasan tahun sudah lewat. Waktu itu ia sedang di puncak kejayaan. Jadi kepala dinas di lingkungan Pemda Propinsi. Usianya masih terhitung muda. Di sore itu, ketika saya berkunjung, ia sedang memberi petunjuk kepada tukang. Mereka sedang memperluas rumah pribadinya. Pada hal rumah itu sudah lumayan luas. Katanya agar nyaman bagi anak-anak yang membawa teman-temannya ke rumah. Dari rekan-rekan kerjanya saya tahu bahwa ia juga sudah membangun empat buah rumah untuk keempat puteranya. Beberapa minggu lalu saya mengunjunginya lagi. Rumah yang luas itu sekarang seperti tak bertuan. Sunyi sekali. Ternyata bapa itu sudah stroke. Jalannya sudah susah. Harus dipapah. Saya terkejut melihat keadaannya. Semua anaknya kuliah di Jawa. Sekarang sudah dapat kerja. Tiga di antaranya sudah berkeluarga. Anak yang keempat kerja di perkebunan sawit di Kalimantan. Tidak ada berita sejak perpindahannya ke Kalimantan. 

Membaca dan menyimak firman Tuhan dalam Mat 6: 19-20. “Janganlah kamu mengumpul harta di bumi: di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar dan mencurinya” saya teringat akan bapa itu. Apa gunanya punya rumah mewah yang luas tapi terasing dalam kesepian? Lalu bagaimana dengan rumah untuk anak-anak itu? Siapa yang tinggal? Mubasir. Hanya membuang-buang uang saja. Uang dan harta kekayaan dianugerahkan Tuhan untuk mendukung hidup yang layak. Tapi dapat juga disalah-gunakan. Bukankah itulah yang tengah dipertontonkan para koruptor dan penimbun kekayaan? Sama seperti minum air laut. Makin diminum makin haus. Selagi kehausan, kita akan mati rasa setia kawan terhadap sesama yang menderita. Lalu di manakah kepedulian sosial kita? Jika demikian maka sulitlah bagi kita untuk mengumpulkan harta di surga, bukan? 21062013

Meluangkan Waktu Terbaik untuk Berdoa

Masih ingat Abdurakhman Wahid, bukan? Ia lebih akrab disapa Gus Dur. Presiden keempat Indonesia. Umat beragama mengenang dan menghormatinya lebih sebagai bapa dan pejuang pluralisme. Dalam konflik dan kekerasan agama, ia selalu tampil dan pasang badan untuk membela kaum minoritas. Bicaranya ceplas-ceplos dan bernada humor. Ia pernah berucap, Tuhannya orang Nasrani sangat dekat. Hanya dengan berbisik saja Tuhan sudah mendengar. Tapi Tuhannya orang Islam sangat jauh. Perlu bantuan toa supaya Tuhan bisa dengar. sebuah guyonan berisi sentilan dan sindiran halus. 

Hampir sama dengan peringatan Yesus kepada para pengikut-Nya. “Apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat 6:5-6). Apakah terpengaruh nas ini maka imam dan biarawan-biarawati kelihatannya tidak berdoa lagi? Seorang kakek dari tahun tigapuluhan pernah bernostalgia. Katanya, Romo, mengapa kamu para imam, bruder, suster sekarang tidak seperti yang dulu-dulu? Kalau dulu, sore-sore mereka berjalan sekitar pastoran sambil berdoa rosario atau brevir. Sekarang, sibuk terus. Kamu berdoakah tidak? Saya katakan, ah bapa, berdoa itu tidak perlu diketahui orang. Dia tidak hilang akal. Ya, dilihat saja tidak, apa lagi tidak dilihat. Mungkin kakek ini benar. Tentu bukan semuanya begitu. Tapi tidak tertutup kemungkinan, kesibukan menyita seluruh perhatian dan waktu kita. Yang tersisa ialah kelelahan. Bagaimana mungkin kita bisa berdoa ketika sudah lelah? Betul, nilai doa tapi dalam sikap batin yang berbasiskan iman dan cinta akan Allah. Bukan dalam banyaknya kata-kata yang diucapkan,. Tapi mampukah kita berkonsentrasi dalam doa kepada Bapa selagi kita sudah kelelahan? Sebaiknya kita meluangkan waktu terbaik ketika kita masih segar untuk berdoa kepada Bapa. Sebab pantaskah kita berikan sisa waktu dan perhatian kepada Tuhan? 19062013

Bukan Orang Kita

Menjelang Pilkada beredar kampanye gelap lewat sms. Pilih dia sebab dia ‘orang kita’. Maksudnya orang sesuku atau seagama. Sms ini berasal dari orang yang tidak hanya kurang pendidikan tapi juga dari orang yang berpendidikan tinggi. Heran, pilih bukan karena orangnya bersih, programnya bagus dan pro rakyat. Tapi bisa dipahami. Isu suku atau agama sangat efektip untuk menyulut emosi massa, demi kemenangan. Selama berada di NTT, kita memilah-milah ‘orang kita’ berdasarkan suku atau agama. Tapi di luar NTT, ‘orang kita’ adalah orang Flobamora. Tidak peduli suku atau agama apa. Bukankah lagu Flobamora yang dinyanyikan di luar NTT sangat menyentuh emosi siapa saja yang berasal dari Flores, Sumba, Timor dan Alor, Sabu dan Rote? Tapi isu kampanye ‘orang kita’, memecah belah dan memporak porandakan persatuan itu. 

Bukan hanya di NTT. Di mana saja terjadi hal yang serupa. Lihat saja dalam Mat 5:43. Yesus bersabda: “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu”. Bagi orang Yahudi, sesama manusia adalah orang yang berdarah daging dan beragama Yahudi. Di luar itu, bukan lagi sesama manusia, bahkan menjadi ancaman. Maka tidak patut dikasihi seperti sesama Yahudi (bdk Ul 7:2). Rada sama dengan ‘orang kita, bukan? Tetapi apa kata Yesus? “Tetapi AKu berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat 5:44-45). Bapa tidak tebang pilih, bukan? Allah mencintai semua kita yang berbeda suku, agama, mayoritas atau minoritas. Kebaikan dan kemurahan-Nya berlimpah ruah untuk siapa saja. Maka seharusnya kita meneladani kasih-Nya ini. Tapi kenyataannya? Anak sendiri saja, masih ada ‘anak papa’ atau ‘anak mama’. Pelayanan kita pun tidak luput dari pilih kasih. Kita perlu membereskan hati kita. Jika tidak maka perbedaan menjadi ancaman yang tak berkesudahan antara anak-anak Allah. Pada hal kita harus berarak di jalan menuju kesempurnaan Bapa, bukan? 18062013

Sunday, June 16, 2013

Aksi Tanpa Kekerasan

Kami sedang duduk-duduk di pendopo. Suasana santai dan gembira. Hari ulang tahun katekis. Ada hidangan makan minum ringan. Tidak lama anaknya pulang dari sekolah sambil menangis. Dari seragamnya, dia SD. Dari usianya, mungkin di kelas dua atau tiga. Bapanya bangun dari tempat duduk. Mengapa menangis, Veky? Dedy pukul saya, katanya melapor. Dedy itu laki-laki atau perempuan? Laki-laki. Ah, Veky juga laki-laki to? Mengapa takut? Dia pukul pakai apa? Tangan. Veky juga ada tangan. Mengapa tidak balas? Sama-sama laki-laki, sama-sama punya tangan. Lain kali, tidak usaha takut. Begitulah kata suami ibu katekis itu. Mungkin mau menanam semangat juang dalam diri anak. Tapi nadanya provokatip dan berbenih kekerasan, bukan? 

Apa kata Yesus tentang ajaran yang sama? “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu, janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berikan juga kepadanya pipi kirimu” (Mat 5:38-39). Jauh bedanya dengan ajaran suami katekis kepada anaknya Veky, bukan? Yesus mengajarkan para murid-Nya aksi tanpa kekerasan, non violence. Suatu ajaran yang bertentangan dengan budaya gigi ganti gigi. Bukankah naluri ini tersimpan rapih dalam hati kita juga? Ia baru muncul spontan tak terkendali pada saat yang tepat. Lihat saja aksi tawuran anak muda di jalanan. Hal yang sangat merisaukan dan memprihatinkan. Bukankah mereka adalah calon pemimpin bangsa kita? Pemimpin yang naik takhta dengan kekerasan hari ini, besok akan menuai kekerasan untuk mencopotnya. Aksi kekerasan timbal balik, gigi ganti gigi, tak mungkin menciptakan keadilan dan perdamaian. Sebaliknya pemimpin yang menggalang aksi perlawanan tanpa kekerasan akan dikenang dan dihormati oleh siapa pun sepanjang masa. Sebut saja Mahatma Gandi, Martin Luther, Jr dan Nelson Mandela yang telah diinspirasi dan dimotivasi firman: “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berikan juga kepadanya pipi kirimu” (Mat 5:39). Ternyata bisa, bukan? Mengapa anak cucu kita tidak disiapkan untuk mewarisi non violence, ajaran dan aksi tanpa kekerasan? 17062013

Saturday, June 15, 2013

Sadari Keberdosaan Kita!

Ia tahu saya pulang kampung. Sore itu dia datang sambil menggendong seorang anak kecil. Dalam hati, saya berkata, pasti ini anaknya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia meletakkan anak itu di pangkuan saya. Lalu ia duduk di lantai. Ia menangis dan memeluk kaki saya. Dia sadar telah mengecewakan saya. Sambil menangis ia berkata, kalau bapa marah terhadap saya, sudahlah itu nasib saya. Tapi bapa jangan marah anak tak berdosa ini. inilah cucumu, bapa. Saya ini anak durhaka. Tidak dengarkan bapa. Tanpa sadar air mata menetes di pipiku. Dia ini adalah ponakan saya. Belum lama diwisuda. Tahu-tahu kembali berhubungan dengan pacar lama, kawan sekolah di SMP. Pekerjaannya tak menentu. Bertani, tidak. Bertukang pun tidak. Lalu bagaimana dengan rumah tangganya? Saya menginginkan kebahagiaan keluarganya. Tapi mungkin hidup bersama dengan pilihannya inilah yang membahagiakannya. Saya berusaha menghiburnya. Semoga dia berbahagia bersama anak dan suaminya. Dia bukan berhenti menangis, tapi tangisnya malah makin menjadi-jadi. Saya biarkan dia menangis selama beberapa saat sampai akhirnya berhenti. 

Sadar akan kedurhakaan dan dosa itu menjadi adegan mengharukan dalam Luk 7:36-50. Seorang wanita terkenal berdosa kelas berat mendatangi Yesus. Ia sadar sekali akan dosanya. Ia pun tahu Tuhan sangat baik. “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8). Ia pasti mengampuni dosanya yang begitu banyak. Bukankah Ia bersabda: “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju” (Yes 1:18). Sementara dia sendiri? Kesadaran akan kebaikan dan pengampunan Tuhan telah mendorongnya untuk berbuat apa saja yang terbaik. Tidak peduli apa kata orang. Ia menangis di depan banyak orang. Air matanya membasahi kaki Yesus. Tanpa malu ia menyeka kaki Yesus dengan rambutnya. Ia juga tidak hitung untung rugi. Ia menyirami kaki Yesus dengan minyak yang paling harum dan paling mahal. Lalu ia menciumnya berulang-ulang. Ia sadar akan malangnya keadaan berdosa dan besarnya cinta serta kebaikan Tuhan. la terdorong untuk bangkit kembali. Ia menempuh hidup baru dan berbuat kasih tanpa hitung untung rugi. Kalau dia bisa, mengapa kita tidak? 16062013

Friday, June 14, 2013

Jika Ya, Katakan Ya!

Kapal baru saja sandar di pelabuhan. Calon penumpang, pengantar, penjemput dan buruh pelabuhan sudah berdesakan di gerbang masuk pelabuhan. Sudah tidak sabar lagi. Maklum, sudah lama menunggu. Empat orang polisi berjaga di muka gerbang. Di tengah orang yang berdesakan itu, seorang bapa mendekati saya. Rambutnya sudah ubanan. Gayanya seperti sudah lama berkenalan. Oh, ini orang saya, katanya. Tapi orang-orang yang mengenalnya, segera bereaksi. Ada yang mengatakan, hati-hati Romo, itu penipu. Jangan percaya. Yang lain berteriak, jaga, lidah buaya itu. Yang lain lagi marah. He, kalau mau tipu, tipu saja orang lain. Itu Romo. Kau kira itu sembarang orang barangkali! Pada halnya ia belum sempat mengatakan apa maunya. Begitulah nasib orang yang terkenal sebagai penipu. Ke mana-mana orang tak percaya. 

Dalam Mat 5:33-37, Yesus memperingatkan para pengikut-Nya, jangan pernah bersumpah. “Jika ya, hendaknya kamu katakan ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat 5:37). Kata yang diucapkan haruslah sesuai dengan kenyataan. Itu berarti cocok dengan niat di hati. Tidak tipu, bukan? Sebab itu jangan obral senyum untuk menyembunyikan niat yang jahat. Tidak perlu bersilat lidah atau mencari-cari celah hukum untuk membela kebohongan. Tuhan tahu semuanya. Lalu bagaimana dengan kita? Kita berusaha meyakinkan orang tentang kebenaran dan kesungguhan kita. Untuk lebih meyakinkan lagi, kita berani mengangkat sumpah. Kita memanggil Tuhan menjadi saksi waktu pelantikan menjadi pejabat publik, atau sebelum menjadi saksi di pengadilan. Kita pun bersumpah setia di depan altar sebagai imam, biarawan-biarawati atau suami isteri. Suatu tindakan yang sangat berani, bukan? Selanjutnya, Tuhan masih tetap menjadi saksi sepanjang hidup, entah kita setia atau tidak pada janji dan sumpah kita. Tuhan tentu memaafkan kita bila kita jatuh. Tapi masyarakat luas? Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Makanya, benahi hati supaya selalu ke luar yang murni dan tulus. Kuatkan kehendak agar menolak kebohongan dalam perkataan dan perbuatan kita. Tiap kata dan perbuatan harus dipertanggung jawabkan, bukan? 15062013

Thursday, June 13, 2013

KuasaNya melebihi Hukum Taurat

Omongannya kedengaran hebat. Ia senang mengutip pendapat para ahli. Apa kata tokoh-tokoh terkenal, khususnya di lingkaran kekuasaan, mengalir lancar dari mulutnya. Terkesan sekali dibuat-buat untuk menambah wibawanya. Tapi sesungguhnya kasihan! Jati dirinya hilang di balik kebesaran orang yang dikutipnya. Pendapatnya sendiri? Hampir tidak ada, selain kompilasi pendapat orang. 

Sangat jauh bedanya dengan apa yang kita dengar dalam Mat 5: 27-32. Yesus tidak hanya mengutip apa yang dikatakan hukum Taurat. Telah difirmankan atau kamu telah mendengar…….. tetapi Aku berkata kepadamu …….. Kentara sekali kewibawaan Yesus. Tidak seperti para ahli Taurat. Mereka bersandar pada kewibawaan Taurat secara harafiah. Semua orang tahu. Apa yang dikatakan Taurat harus ditaati. Jika tidak, harus menghadapi hukuman berat. Bisa-bisa dirajam dengan batu sampai mati. Ingat saja wanita yang kedapatan berzina. Yesus memang bukan ahli Taurat. Tapi Ia juga bukan buta Taurat. Ia menghadapkan Taurat dengan kuasa-Nya sendiri. “Kamu telah mendengar…tetapi Aku berkata kepadamu… Dengan berwibawa sekali Ia menunjukkan siapa Dia di hadapan Taurat. Ia memiliki kuasa yang melebihi Taurat. Ia mempertentangkan arti harafiah hukum Taurat dengan maksud Allah yang sesungguhnya, yang harus melibatkan hati manusia. “Kamu telah mendengar bahwa difirmankan: Jangan berzina. Tetapi AKu berkata kepadamu: setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina terhadap dia di dalam hati” (Mat 5:27). 

Hukum Taurat sendiri sebenarnya sudah keras sekali. Sangsi pelanggarannya tidak ringan. Bayangkan saja: Mata yang menyesatkan dicungkil. Begitu juga tangan yang menyesatkan dipenggal. Tapi melaksanakan hukum Taurat sesuai dengan apa yang tertulis, belum cukup sama sekali. Bisa juga bertentangan dengan kehendak Allah. Masa, Allah senang melihat ciptaan-Nya sendiri diperlakukan seperti itu! Dampaknya pun tidak akan menghasilkan hidup yang benar sesuai dengan kehendak Allah. Di belakang semua larangan hukum Taurat, Yesus melihat maksud Allah yang sesungguhnya. Kalau tidak mau terlibat dalam kejahatan apa pun, maka hati harus dibereskan terlebih dahulu. Semua kejahatan berasal dari hati, bukan? Dengan hati yang kotor, penuh dendam, dan dusta, maka perzinaan, pembunuhan, korupsi dan kejahatan apa saja tak dapat dihindarkan. Persaudaraan sejati, biarpun antara saudara-saudari sekandung atau suami isteri pun tak mungkin tercipta. Tidak percaya? 14062013

Percuma, Ibadat Tanpa Kasih Persaudaraan!

Keduanya sangat akrab. Selalu terlihat bersama ke gereja dan ke kampus. Sering bersenda gurau dan suka koment tingkah laku orang lain. Tetapi seminggu terakhir ini lain sekali. Masing-masing berjalan sendiri. Kadang-kadang ditemani orang lain ke gereja dan ke kampus. Ternyata sudah tidak rukun lagi. Alasannya sangat sepele. Yang satu kedatangan pacar, sehingga tidak bisa bersama ke mall. Pada hal sebelumnya memang sudah sepakat. Akibatnya? Ya, itu tadi. Marah dan tidak bertegur sapa lagi karena tidak setia janji. Kasihan ya? 

Persoalan sepele bisa menghancurkan persahabatan yang sudah lama terjalin. Tentu masing-masing menunggu. Siapa yang lebih dulu meminta maaf. Sementara itu pasti tak terlintas sedetik pun, apa yang dikatakan Tuhan dalam Mat 5:23-26. Kalau teringat, maka hati pasti tak tentram bila ke gereja. Mengapa? Tuhan berfirman: “Jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan altar dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat 5: 23-24). 

Jelas sekali, bukan? Doa dan persembahan kepada Tuhan tidak boleh dipisahkan dari kasih persaudaraan. Percuma, ibadat tanpa kasih persaudaraan. Sebab itu kasih persaudaraan harus didahulukan. Bagaimana mungkin kita memohon ampun kepada Tuhan dan menghormati-Nya apabila kita ingat ada orang sakit hati karena kata-kata dan ulah kita? Perdamaian dengan sesama tidak boleh ditunda sampai orang lain berdamai dengan kita, sebab kitalah yang benar. Sebagai pengikut Kristus, kita harus mengambil prakarsa untuk melakukan rekonsiliasi, sebelum keadaan bertambah parah. Dengan merendahkan hati, kita tidak akan menjadi hina di mata Tuhan dan sesama. Sebaliknya hati kita akan berbunga-bunga mendengarkan firman: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9). Kita akan mengalami hubungan damai dengan Allah, yakni hubungan kasih antara anak dengan Bapa dan dengan saudara/I se-Bapa. Kalau begitu, mengapa biarkan dendam merusak hati sendiri dan hubungan antar kita dalam keluarga dan dalam pergaulan dengan sesama? 13062013

Tuesday, June 11, 2013

Siapa Tak Ingin Makin Sempurna?

Ada aneka pengalaman di tempat pengakuan. Ada yang menyebut dosa seadanya. Saya melawan hukum keempat banyak kali, hukum kelima tidak pernah, hukum keenam tiga kali dan seterusnya. Mengaku dosa seperti ini tidak hanya anak-anak, tapi juga orang dewasa. Mereka mengaku dosa secara dangkal, bergaya farisi dan ahli Taurat, yakni melawan apa yang tertulis dalam kesepuluh perintah Tuhan. Ada juga yang membenarkan diri dan mengaku dosa suami atau isteri. Katanya, mau menang sendiri. Tidak mau mendengarkan sedikit pun. Akibatnya tak ada kedamaian dalam keluarga. Tak ada bedanya dengan farisi yang menghitung-hitung kebajikannya di hadapan Allah sambil menuding pemungut cukai di belakangnya.Tetapi ada juga sampai menangis tersedu-sedu seperti Petrus di halaman imam agung Hanas. Mereka melihat Tuhan begitu baik terhadap dirinya. Pada hal mereka sendiri begitu hina tapi berani menyangkal-Nya ala Petrus bahkan mengkhianati-Nya seperti Yudas. 

Rupanya inilah yang mau dikatakan Yesus dalam Mat 5: 17-19. Hidup kita jangan hanya mendatar saja. Tapi harus lebih mendalam dan lebih bermakna. Ia berbicara tentang pelaksanaan hukum Taurat. Hukum Taurat tidak akan dibatalkan sampai kapan pun. Tidak boleh dihilangkan walau sekecil apa pun. Lewat hukum itulah Allah menyatakan belas kasih-Nya. Itulah yang menjadi jiwa hukum. Tanpa melihat belas kasih Allah, maka hukum menjadi alat penyiksaan yang kejam. Orang yang ingin hidup sebagai anak Allah akan berusaha menjadi lebih sempurna dari pada orang Farisi. Mereka bertekun melaksanakan hukum, hanya sebagai kewajiban lahiriah. Dengan menunjukkan jiwa atau roh hukum itu, Yesus mau memberikan hukum yang sempurna. Tetapi banyak yang salah menafsirkan kata-kata Yesus. Menurut mereka, lebih baik agama jangan menuntut macam-macam dan lebih banyak lagi memberikan kemudahan. Itulah sebabnya Yesus mengatakan, orang yang tidak mau melaksanakan seluruh hukum tidak akan masuk surga. Begitu juga dengan orang yang mencari pembenaran atas kemalasannya lalu mengatakan bahwa hukum kurang penting. Tapi kepada mereka yang siap menaati hukum, Yesus menunjukkan jiwa hukum sebenarnya. Dengan demikian melaksanakan hukum, bukan sama dengan memikul beban yang sangat berat, melainkan mengikuti kehendak Bapa yang berbelas kasih. Bagi mereka seperti inilah Injil memang merupakan jalan yang tak mudah, tapi tetap menjadi panggilan untuk lebih sempurna. Siapa tak mau makin sempurna? 12061013

Monday, June 10, 2013

Mengandalkan TUHAN, Jaminan Keselamatan

Mama sedang sibuk mengemas kopor. Anak-anak lain asyik menonton sinetron. Bapa dan anak sulung yang besok ke kota sendirian di pendopo depan. Kelihatannya serius sekali. Berulang kali bapa menasihati anak itu supaya hemat. Bapa hanya kerja serabutan. Apa saja yang halal bapa rela kerja demi masa depan kamu. Kamu harus lebih baik dari pada bapa dan mama. Adik-adikmu banyak. Jadi sekali lagi hemat. Di kota itu semuanya serba uang. Ke luar rumah, uang. Masuk rumah pun uang. Angin saja dibeli, nak. Anak itu tersentak. Bapa ini ada-ada saja. Masa, orang beli angin. Ya anak, engkau belum mengenal kehidupan kota sesungguhnya. Kalau pompa ban mobil atau sepeda motor, orang harus bayar. Tidak ada yang gratis. Tapi untuk urusan kuliah, jangan segan-segan minta bapa kirim uang. Engkau harus sukses, supaya dapat menolong adik-adikmu yang banyak ini. 

Kehidupan kota yang serba uang, berbanding terbalik dengan pesan Yesus kepada murid-murid-Nya dalam Mat 10: 7-13. Uang jangan menjadi taruhan untuk berbuat baik. “Kamu telah memperoleh dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mrk 10: 8). Banyak pengalaman telah mereka timba selama bersama Yesus. Ia berkeliling ke semua kota dan desa. Ia mengajar dalam rumah ibadat, memberitakan Injil, menyembuhkan segala penyakit (Mrk 9: 35), dan memberi makan ribuan orang (Mat 14: 13-21). Semuanya dilakukan Yesus bukan karena uang atau hanya terdorong oleh belas kasih kemanusiaan semata. Berkat pewartaan dan karya-Nya, orang harus melihat dan percaya bahwa Kerajaan Allah sedang datang di tengah dunia (bdk Luk 11:20). Para murid tidak hanya menyadi saksi semua yang dibuat Yesus. Mereka pun dilibatkan dalam karya-Nya dan dilengkapi dengan kuasa yang sama. Tapi pertama-tama mereka sendiri harus percaya akan hadirnya Allah yang diwartakannya. Hari demi hari mereka harus makin percaya akan penyelenggaraan ilahi. Maka tidak perlu cemas akan hidupnya sendiri. “Semuanya itu dicari orang yang tidak mengenal Allah” (Luk 12:30). Mereka harus mengandalkan Tuhan yang menjadi jaminan pasti keselamatan. Uang sama sekali bukan jaminan keselamatan, sebab dapat menghancurkan nama baik dan karir, bukan? 11062013

Saturday, June 8, 2013

Benarkah TUHAN peduli akan Nasib Kita?

Pernah menghantar jenasah ke pemakaman, bukan? Kalau di desa tak ada halangan. Rombongan berjalan kaki menyusul para pengusung keranda sambil berdoa dan bernyanyi. Di kota tentu lain. Sering jalan menjadi macet. Arus lalu lintas yang padat berlawanan arah. Perlu Polantas atau para pengendara sepeda motor membuka jalan bagi arakan jenasah. Sementara itu sirene mobil jenasah terus meraung. Semua yang berlawanan arah biasanya berhenti sejenak untuk memberi jalan. Tak ada yang bergerak maju. 

Keadaan ini mirip dengan Mrk 7: 7-11. Dua rombongan berlawanan arah. Yesus dan rombongan-Nya menuju kota Nain. Dekat gerbang kota mereka bertemu dengan rombongan pengusung jenasah, bersama seorang janda yang putra tunggalnya mati. Mereka berarak ke luar kota. Tragis sekali nasib janda ini. Suaminya sudah meninggal. Sekarang menyusul putera satu-satunya. Siapa lagi menjadi tumpuan harapan dan menjamin hidupnya? Memang kita kadang-kadang tak peduli dengan orang yang bernasib malang. Tapi berhadapan langsung dengan orang seperti janda ini, pasti lain. Kalau kita saja begitu, apa lagi Yesus. Tergerak hati-Nya oleh belas kasihan, Ia berkata kepada janda itu: “Jangan menangis” (Mrk 7: 13). Ia tidak hanya menyampaikan kata-kata penghiburan. Ia segera bertindak. Tanpa bertanya entah janda itu percaya, sebagaimana biasanya, Ia menyentuh usungan itu. Para pengusung berhenti. Lalu Ia berkata: “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah” (Mrk 7: 14). Seketika itu juga anak muda itu hidup kembali. Lalu Yesus menyerahkannya kepada ibunya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan janda itu. Pasti ia merasa berutang budi terhadap Yesus. Suatu tantangan bagi kita yang mengaku pengikut-Nya. Dalam penderitaan dan kemalangan, bukankah kita merasa ditinggalkan Tuhan? Benarkah Tuhan tak peduli akan nasib kita? Lihatlah janda yang satu ini! Pengalamannya tentang Tuhan lain sekali, bukan? Lalu tak dapatkah kita membangkitkan kembali harapan dan semangat beriman sesama kita yang patah, karena dilanda penderitaan dan kemalangan yang datang silih berganti? 09062013

Memberi dari Kekurangan

Ia baru saja pulang dari kota. Ceriteranya seperti tak habis-habisnya. Ia mengagumi, seperti kebanyakan orang desa, gedung-gedung yang tinggi, mall dan banyaknya mobil yang berlalu lalang di jalan. Sering juga dilebih-lebihkan. Ia heran juga. Tetangganya yang baru setahun lebih diboyong ke kota sudah jadi orang kaya. Ia tidak berjalan kaki lagi. Ke mana-mana diantar dengan mobil. Mereka punya dua mobil di garasi. Rumahnya pun mewah. Pagarnya saja bagus sekali. Tetapi temannya berkata, ia sudah lain sekali, bukan? Dulu di sini kita selalu berbagi biar cuma sedikit. Sekarang ia sudah jadi isteri orang kaya, tapi pelitnya bukan main. Tegur kita pun susah sekali, terlebih kalau di antara teman-temannya. 

Tentu bukan semua orang kaya begitu. Ada juga yang murah hati. Lihat saja dalam Mrk 12: 41-44. Banyak orang kaya memberi derma sejumlah besar uang. Mungkin beberapa lembar uang bergambar Sukarno-Hatta dalam Rupiah kita. Masa, orang kaya atau pegawai tinggi beri derma cuma uang recehan, lima ribu atau sepuluh ribu Rupiah? Harga diri, dong. Tentu sangat bernilai untuk suatu pembangunan. Demikian pendapat umum. Janda miskin memberi uang recehan untuk derma. Tidak seberapa, bukan? Tapi pagi itu Yesus buat kejutan. Bukan untuk sebuah sensasi. Ia berkata serius kepada para murid-Nya: “Sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yakni seluruh nafkahnya” (Mrk 12: 43-44). Tuhan menilai pengorbanannya itu. Bukan gampang mengorbankan seluruh nafkah. Lalu bagaimana kita? Berapa yang pantas kita beri? Jika yang miskin memberi seribu Rupiah dari sisah belanja sehari, apakah lebih bernilai dari pada orang kaya memberi lima puluh ribu atau seratus ribu Rupiah? Tentu tidak, sebab sama-sama bukan suatu pengorbanan. Yesus tidak melihat berapa yang diberikan. Tapi memberi dari berapa. Janda miskin telah memberi dari seluruh nafkahnya sehari kepada Tuhan. Mirip dengan Yesus yang mengorbankan seluruh diri-Nya bagi kita, bukan? 08062013.

Mengasihi Allah dengan Segenap Hati

Sudah tiga tahun saya tinggalkan stasi itu. Alih tugas pelayanan di stasi lain. Tetapi saya masih ingat ketua stasi merangkap koster. Orangnya sangat berwibawa. Ia disegani umat. Pengumuman-pengumumannya selalu diperhatikan umat. Saya tetap ingat juga ketua seksi liturgi. Sesudah perayaan ekaristi ia selalu tampil di mimbar untuk mengadakan pembinaan liturgi. Ada-ada saja yang disorotinya. Koor yang tidak melibatkan umat bernyanyi, tugas pembersihan kapela, menghias altar dan umat yang berpakaian kurang sopan. Dua minggu lalu saya berkunjung lagi ke stasi itu. Saya sangat kaget. Ketua stasi mengatakan bahwa sudah setahun ini ketua seksi liturgi itu tidak pernah terlibat lagi dalam kegiatan di stasi. Soalnya musibah beruntun. Anak tunggalnya meninggal. Tiga bulan kemudian isterinya juga meninggal. Ia stress dan sangat kecewa terhadap Tuhan. Pelayanannya selama ini percuma saja. Tidak dapat penghargaan apa-apa dari Tuhan. Sebaliknya dihantam bertubi-tubi. Mengapa Tuhan begitu kejam terhadapnya? “Bagaimana mungkin saya mengasihi Tuhan yang kejam?” katanya. 

Persoalan ini yang membuat ketua seksi liturgi yang saya kenal itu berbalik arah hidup. Pada hal apa jawab Yesus kepada ahli Taurat dalam Mrk 12: 29-30? ”Hukum yang terutama ialah: Dengarlah hai orang Israel. Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu”. Pengalaman mantan ketua seksi liturgi itu bertolak belakang dengan apa yang dikatakan dalam hukum yang paling utama. Betapapun demikian, hukum yang terutama itu tidak akan dibatalkan. Yesus tidak hanya merumuskan hukum itu supaya kita jalankan. Ia sendiri lebih dulu telah melaksanakannya. Seluruh karya-Nya berasal dari Bapa dan harus kembali kepada Bapa. Apa pun yang dikerjakan Yesus bertujuan untuk memuliakan Allah. Ia mengasihi Bapa sampai mengurbankan nyawa-Nya sendiri. Bagaimana kita para pengikut-Nya? Kita dituntut untuk mengasihi Allah dengan segenap hati. Tetapi ternyata kita sulit melupakan diri atau lebih mengasihi orang yang kita cinta. Kita cinta Tuhan setengah hati. Tidak heran bila karena kecewa, kita akan membenci Allah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya, bukan? 06062013

Monday, June 3, 2013

Tentang Urusan Agama dan Politik

Sebut pajak, ingat Gayus Tambunan dkk. Dijerat UU Anti Korupsi, duduk di meja pesakitan, lalu menghuni bui. Pajak memang sumber pembangunan untuk kemakmuran bersama. Lahan basah, tapi rawan masalah. Masa, uang rakyat dimanipulasi untuk kepentingan pribadi atau partai politik tertentu. Jika praktek ini tidak dilawan dan dicegah, siapa mau bayar pajak? Yang rugi kita semua, bukan? 

Persoalan pajak bukan urusan rohani. Itu soal politik. Tapi pernah diajukan kepada Yesus (Mrk 12:11-17). Sebenarnya Yesus tidak berminat pada persoalan politik. Tentu saja politik penting untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi bukan satu-satunya jadi alat pembebas masalah kemanusiaan. Allah membebaskan tiap-tiap orang dan bangsa. Dengan itu terbukalah kemungkinan untuk masing-masing mengembangkan diri sesuai dengan budayanya. Tapi Yesus hidup di zaman bangsanya dijajah Roma. Dalam cengkraman penjajah, mana mungkin berkembang sesuai rencana Allah? Timbul faksi-faksi dalam masyarakat. Bagi orang Farisi, membayar pajak kepada bangsa kafir, sama saja dengan menyangkal kedaulatan Allah. Maka tidak boleh bayar. Kelompok oposisi tentu saja mendapat keuntungan ekstra dari wajib pajak. Maka bayar pajak adalah keharusan. Jika tidak, maka berhadapan langsung dengan kekuatan yang menindas bangsa. 

Maka Yesus dijebak dengan pertanyaan: “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak? Haruskah kami bayar atau tidak?” (Mrk 12:14) Yesus melihat jerat yang dipasang. Ia mengelak, dengan menjawab: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mrk 12:14). Urusan agama dan politik harus dipisahkan. Agama tidak boleh dimanipulir untuk kepentingan politik. Agama juga tidak boleh mencampur aduk musuh politik dengan musuh agama, bukan? Ini sesungguhnya menjadi rambu-rambu bagi kita untuk beragama tanpa politik dan berpolitik tanpa mengusung isu agama. Kenyataannya? Takut kalah, isu agama sering ditiup untuk menarik pemilih dalam pilkada dan pemilu. Itu tandanya panik dan kehabisan akal. Kita tidak akan mengusung pemimpin yang kurang akal, bukan? 04062013

Sunday, June 2, 2013

Tuhan Sabar dan percaya pada Kita

Tiba-tiba nama Sekolah Tinggi yang satu ini melejit. Mendadak terkenal di seluruh tanah air. Bukan karena hasil penemuan ilmiah baru. Bukan juga karena prestasinya yang gemilang di bidang iptek. Pembinaannya yang semi militer itu ramai dibicarakan. Eksesnya sangat menggemparkan. Demi penegakan disiplin, mahasiwa yunior babak belur dihajar mahasiswa senior. Sampai-sampai korban berjatuhan. Katanya dalam rangka pembinaan mental. Orang merasa khawatir. PT ini akan menghasilkan pemimpin bertangan besi. Apa faedahnya? Dampaknya berbuntut panjang. Protes datang dari banyak pihak. Keluarga menuntut keadilan. Penegak hukum segera bertindak. Komnas HAM bereaksi cepat. Banyak suara menuntut perguruan itu ditutup saja. 

Dalam Mrk 12:1-12 korban juga berjatuhan. Hamba-hamba dikirim tuan kebun anggur. Mereka harus menerima bagiannya dari para penggarap. Tapi mereka mengalami nasib tragis. Banyak yang dipukul sampai babak belur. Lain dibunuh. Tak ada reaksi masyarakat luas. Lalu apa reaksi tuan kebun? Sangat lamban. Sepertinya ia tidak peduli. Tambah banyak lagi hamba dikirim. Mereka pun mengalami nasib yang sama. Tapi tidak ada tuntutan hukum atau perlindungan terhadap para hamba. Tidak ada juga tindakan pembalasan terhadap para penggarap. Terakhir ia mengutus anak tunggalnya sendiri. Dikiranya akan mereka segani. Tahu-tahu tidak. Dialah alih waris. Maka dia harus dihilangkan. Akhirnya ia datang sendiri membinasakan para penggarap itu. Sangat terlambat, bukan? Terkesan kuat ada pembiaran sampai korban berjatuhan asal hasil diserahkan. Tapi dengan itu para penggarap berbuat seakan pemilik kebun anggur, bukan? Mungkin juga tak ada hasil. Lalu mau serahkan apa? 

Ini memang sebuah perumpamaan. Tapi arahnya jelas bukan? Tuhan begitu sabar dan percaya terhadap kita. Ia mengaruniakan bakat, tenaga, keluarga dan lapangan kerja kepada masing-masing kita. Kita diberikan kebebasan untuk mengembangkannya. Pada waktunya kita harus mempertanggung jawabkannya. Dapatkah kita memberikan hasil kepada-Nya pada saat yang tepat? Ataukah kita tak peduli dan akan bertindak semau kita seperti para penggarap kebun anggur itu? 03062013

Saturday, June 1, 2013

Berbagi dengan Sesama

Rupa-rupa pengalaman diceriterakan dalam katekese umat Hari Pangan Nasional. Semuanya menarik, antara lain ceritera seorang bapa. Kebetulan kami bertemu di terminal. Demikian ia memulai ceritanya. Dia teman kelas saya 40-an tahun yang lalu. Saya mengundangnya ke rumah. Kami asyik berceritera tentang masa kecil di kampung. Tidak sadar sudah jam 20. Anak saya yang baru berumur empat tahun berkata: bapa, mama panggil. Saya ke dapur. Omong-omong dengan isteri. Tidak ada persiapan untuk tamu. Hentikan sudah ceritera itu, supaya tamu kembali, kata isteri. Saya katakan, saya ajak untuk makan bersama. Isteri saya tidak setuju. Menu makan tidak cocok untuk dihidangkan bagi tamu. Juga takaran yang dimasaknya cukup untuk makan sekeluarga. Saya yakinkan isteri. Kita tidak akan jatuh miskin sebab sepiring nasi untuk tamu. Tuhan punya mata tetap terbuka. Berkatnya akan tetap melimpah buat kita. 

Saya melihat keadaan yang sama dalam Luk 9:11b-17. Lima ribu orang di tempat terpencil. Itu laki-laki saja. Belum terhitung perempuan dan anak-anak. Hari sudah malam. Tak ada penginapan. Makanan? Cuma lima roti dan dua ikan? Mana cukup untuk orang sebanyak itu? Keadaan mendesak ini perlu segera disampaikan kepada Yesus: “Suruhlah orang banyak itu pergi ke desa-desa dan kampung-kampung sekitar ini untuk mencari penginapan dan makanan, karena di sini kita berada di tempat yang terpencil” (Luk 9:12). Reaksi-Nya? Ia tidak hanya menolak usul itu tetapi juga menyuruh para murid memberi mereka makan. “Kamu harus memberi mereka makan” (Luk 9:13). Para rasul dilibatkan. Mereka membagi orang banyak itu dalam kelompok-kelompok kecil. Limapuluh orang sekelompok seperti di zaman Musa di padang gurun (Kel 18:21, 25). Yesus mengambil makanan yang sangat sedikit itu. Ia menatap kepada Bapa di surga. Ia mengucap berkat. Lalu roti itu dipecah-pecahkan-Nya. Ia memberikannya kepada para murid-Nya supaya disajikan kepada orang banyak. Tidak ada yang berkekurangan dan kelaparan. Semuanya makan sampai kenyang bahkan masih tersisa dua belas bakul. 

Menakjubkan, bukan? Tapi tidak cukup kita berhenti di situ. Kita harus terbuka untuk melihat ke depan. Kita tidak akan berkekurangan hanya karena berbagi dengan sesama yang berkekurangan. Mata Tuhan tetap mengamati kita. Tidak percaya? Cobalah! 02062013

Friday, May 31, 2013

Keagungan Maria terletak dalam Kerendahan Hatinya

Ia baru saja diwisuda. Rasa bahagia dan bangga sedang bercampur aduk. Keluarga juga berbahagia. Segala jerih payah selama ini tidak percuma. Teman-teman yang ikut pesta semalam masih ada bersamanya. Tawa dan senda gurau mewarnai kebersamaan mereka. Dalam suasana demikian mama minta tolong. Angkat gallon yang penuh berisi air untuk dipasang di dispenser. Dia belum bergeser juga dari tempat duduknya. Mama mengulangi permintaannya. Teman-teman juga ikut mendesak. Tapi apa katanya? Ah, mama ini masih suruh-suruh juga. Orang baru diwisuda ko. Sepertinya saya ini masih anak kecil. 

Nuansa ini tak terasa dalam Luk 1:39-56. Baru terjadi dialog yang alot. Maria menyadari dirinya sebagai hamba. Ia menerima tawaran Allah. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38) Siap untuk melaksanakan apa yang dikehendaki Allah. Inilah pernyataan kerendahan Maria di hadapan Allah. Ini pun ungkapan iman dan penyerahan diri yang total kepada kehendak Allah. Bukan basa-basi. Tapi sesungguhnya Allah lebih dahulu merendahkan diri. Ia mengutus utusan khusus mendatangi Maria. Allah bisa saja main kuasa dan beri komando. Tapi tidak demikian, bukan? 

Maria pun melakukan hal yang serupa. Sebagai bunda Allah, Maria pun bisa menunggu di tempat. Elisabet kan harus datang menemuinya. Tapi tidak. Maria mengunjungi Elisabet jauh di pedalaman. Dalam perjumpaan itu barulah terungkap kebesaran Maria. Elisabet merasa diri tak pantas dikunjungi Maria, bunda Allah. “Siapakah aku ini, sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk 1:43) Kerendahan hati Maria dikagumi Elisabet. Keagungan Maria justru terletak dalam kerendahan hatinya. Tuhan pun sangat memperhatikan kerendahan Maria. ”Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah.” (Luk 1:52) Tidak hanya orang kecil, yang lemah dan tersingkirkan tapi termasuk yang rendah hati. Hanya yang rendah hati dapat melayani dengan ikhlas. Lalu bagaimanakah kita terhadap Allah dan sesama? 31052013

Tentang Kuasa dan Pengaruh

Soal kuasa selalu menarik. Jadi rebutan banyak orang. Ada juga yang tidak mampu bersaing menjadi penguasa. Lebih mudah menjadi penguasa gadungan. Cukup dengan membawa-bawa nama penguasa yang sesungguhnya. Yang penting apa yang diinginkannya dapat tercapai. Tentu meresahkan banyak orang. 

Keadaannya berbeda dengan Mrk 11:27-33. Yesus tidak hanya mengajar. Ia pun melakukan mujizat. Massa semakin tertarik pada-Nya. Berbondong-bondong orang mengikuti-Nya. Kenyataan ini mencemaskan pejabat resmi, para imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua. Pengaruh mereka akan berkurang. Jika dibiarkan, mereka akan ditinggalkan massa. Maka tindakan perlu diambil. Mereka langsung mendatangi Yesus di halaman Bait Allah. Mereka adalah benteng pertahanan iman yang murni dan benar. Maka mereka merasa berkepentingan untuk mengetahui entah Yesus itu nabi sejati atau gadungan. Mereka mempersoalkan asal-usul kewenangan dan kuasa Yesus untuk melakukan semuanya termasuk mengajar. 

“Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah memberikan kuasa itu kepada-Mu?” (Mrk 11:28) Tapi Yesus tak perlu meminta ijin siapa pun untuk mengajar di Bait Allah. Soalnya, benarkah mereka peduli akan kebenaran iman? Apakah mereka siap untuk mengetahui bahwa Yesus datang dari Allah? Nampaknya mereka hanya berpikir untuk mempertahankan kebenaran yang sudah ada. Sebelumnya pun mereka sudah berniat menangkap Yesus dengan tuduhan subversip. Maka persoalan sesungguhnya bukan mempertahankan kebenaran iman. Tapi soal iri hati dan ketakutan akan hilangnya pengaruh terhadap massa umat. Apakah kita murni dari semangat iri hati atau tak takut akan kehilangan kuasa dan pengaruh demi kebenaran? 01062013

Wednesday, May 29, 2013

Berkat Iman, Kita Disembuhkan

Kesehatan itu mahal. Semua orang tahu itu. Biaya berapa pun orang tidak peduli. Yang penting sehat. Mereka yang kaya, akan mencari kesehatan sampai di luar negeri. Pilih RS terbaik dan beli obat termahal. Dokter pun tentu saja spesialis yang terahli. Segala usaha dan daya upaya dipakai asal sehat. Yang tidak berduit, akan mencari pengobatan alternatip. Munkin akan cari dukun sana-sini. Jarak yang jauh? Tidak soal. Panas terik atau hujan lebat bukan jadi halangan. Semuanya sedapat mungkin diatasi. 

Hal serupa kita temukan dalam Mrk 10:46-52. Bartimeus, pengemis buta, duduk di pinggir jalan. Rombongan yang mengiringi Yesus lewat. Ia mendengar ramai orang bicara. Ternyata yang lewat adalah Yesus orang Nazaret itu. Bukankah ini kesempatan emas? Seharusnya dia mencari Yesus. Tapi justru Yesus sendiri datang. Maka dalam iman ia pun berteriak minta tolong: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Mrk 10:47) Tetapi orang banyak menghalanginya. Bahkan banyak juga yang menegurnya supaya diam. Bagaimana kalau kita sendiri yang sakit? Kita tidak menghiraukan halangan dan teguran itu, bukan? Maka tidak heran kalau Bartimeus semakin nyaring berteriak: “Anak Daud, kasihanilah aku” (Mrk 10:48). Yesus pun tersentak dan berhenti. Giliran Yeus menanggapi iman Bartimeus. “Panggilah dia” (Mrk 10:49). Berkat imannya akan Yesus, ia disembuhkan. Ia dapat melihat Yesus yang sesungguhnya sedang menuju Yerusalem. Di sanalah tempat terjadinya tragedi penderitaan, wafat disalibkan dan bangkit. Ia tidak lari ketakutan. Sebaliknya, ia mewujudkan imannya akan Yesus. Ia bergabung dalam perjalanan salib menuju kebangkitan. Sungguh berani bukan? Bagaimanakah kita? 30052013

Monday, May 27, 2013

Apa yang Kita Peroleh dengan Mengikuti DIA?

Kami ini hanya tunggu upah yang besar di surga, Romo. Kata seorang pegawai swasta kepada saya baru-baru ini. 

Mengapa? Tanya saya. Di dunia ini tidak ada upah? Atau gaji terlalu kecil? 

Ya Romo. Bayangkan saja! Sudah hampir dua puluhan tahun jadi pegawai tetap. Gaji cuma satu juta dua ratus ribu. Lalu dibilang sudah sesuai dengan UMR. Itu cocok untuk pegawai kontrakan. Tapi ini pegawai tetap ko omong UMR. Saya tidak mengerti. Katanya sambil mengetuk-ngetuk dahinya. 

Omong kepada bosmu. Kata saya.

Eh percuma Romo. Sudah omong berulang kali. Hasilnya hanya tambah kecewa saja. Lebih baik hibur diri, nanti upah besar di surga. 

Betul itu. Kata saya. 

Betul apa? Ia balik bertanya. Anak-anak tidak perlu makan? O jadi sekarang anak-anak tidak makan? Memang makan. Tapi kita harus putar otak setengah mati, katanya. 

Itu gunanya Tuhan beri otak, supaya dipakai. Kalau tidak, otak jadi karat. Kata saya lagi. 

Eh sudah saja. Omong dengan Romo ini tidak akan habis.
***

Barangkali pegawai itu mengutip ayat di atas dalam nada sinis. Akan tetapi tidak akan mengurangi kebenaran kata-kata Yesus dalam Mrk 10:28-31. Pada mulanya Petrus menanggapi pernyataan Yesus tentang sulitnya orang kaya masuk Kerajaan Allah. “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau” (Mrk 10:28). Mungkin Petrus takut bayangan. Yesus menyatakan dengan sangat pasti. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu pada masa ini juga akan menerima seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai banyak penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup kekal” (Mrk 10:29-30). 

Yesus bukan hanya asal omong. Demi Dia, para murid perdana dianiaya dan lari ke luar Yerusalem. Rumah, dan ladang ditinggalkan. Apakah mereka terlantar karena meninggalkan semuanya itu? Bisa dijajaki dalam Kisah Para Rasul. Terbentuk banyak komunitas baru. Makin banyak anggota keluarga baru. Barisan para misionaris tak henti-hentinya menyusul. Mereka juga punya pengalaman yang serupa. Tidak hanya itu. Kebahagiaan dan banyak kebutuhan lain sudah terpenuhi. Tidak tunggu sampai di dunia seberang. Pengorbanan demi Tuhan tak mungkin sia-sia. Rupanya kita perlu merubah motivasi dalam segala bidang kegiatan. Bukan demi diri sendiri dan anak isteri tapi demi Dia. Yang berat menjadi ringan, yang sulit menjadi mudah. Tidak percaya? Bisa dicoba sendiri, bukan? 28052013

Saturday, May 25, 2013

Bersumber dari BAPA

Kalau bukan saya, mana ada jalan aspal masuk desa ini. Kata bapa itu sesumbar waktu kampanye. Dan air bersih? Siapa lagi yang bisa berjuang, kalau bukan yang ini. Katanya sambil membusungkan dan menepuk-nepuk dadanya. Tujuannya apa, kalau bukan untuk menonjolkan diri dan memojokkan rival politiknya. Yang satu itu? Hanya omong doang. Berjuang untuk kepentingan sendiri, ngotot bukan main. Tapi untuk kepentingan masyarakat, nol besar. Pada hal semua orang juga tahu. Baru dalam masa kepemimpinan rival politiknya itulah, ada jalan aspal masuk desa. Masyarakat pun bisa minum air bersih. Tapi rupanya beginilah adat politik tanpa moral. Menghilangkan jejak peran orang lain supaya sendiri yang menonjol. 

Hal seperti itu tidak pernah kita temukan dalam seluruh karya dan ajaran Yesus. Lihat saja antara lain dalam Yoh 16:12-15. Menurut Yesus, apa saja yang dilakukan dan difirmankan-Nya kepada para murid, diterima-Nya dari Bapa. Semuanya adalah milik Bapa. Yang menjadi milik Bapa adalah milik-Nya juga. Maka apa yang diterima Roh Kudus dari Yesus, itulah yang dikatakan-Nya, untuk memimpin para murid memaknai hal-hal yang akan datang. Semuanya berasal dari Bapa. Ia tidak akan berbicara dari diri-Nya sendiri. Sangat transparan dan harmonis! Bapa, Putera dan Roh Kudus adalah satu. Tritunggal yang Mahakudus. Tidak ada yang direkayasa atau ditutup-tutupi dalam hubungan yang sangat intens. Alangkah indahnya kalau semangat transparansi yang sama, memenuhi karya dan perkataan kita juga dalam hidup berkeluarga, beragama dan bermasyarakat. Hidup kita pun akan menjadi harmonis. Ayo, cobalah! Bukankah kita harus menjadi sempurna seperti Bapa kita di surga? (bdk Mat 5:48) Tentu tidak persis sama. Tapi tidak ada salahnya kalau kita berusaha ke arah sana, bukan? 26052013

Friday, May 24, 2013

Biarkan Anak-anak datang padaKu

Zzzzzzzziut lepas. He, Deni jangan pegang itu. Nanti pecah. Pergi main di depan. Perintah ibu kepada Deni, anaknya. Deni berlari ke pendopo depan. Dasar anak kecil. Tidak bisa tenang. Dia tidak peduli. Bapa sedang berbicara dengan tamu. Tanpa basa-basi dia bertanya. Ini om siapa, bapa? Sebelum bapa menjawab, dia bertanya lagi. Om datang buat apa? He, pergi main di belakang. Bapa omong dengan tamu. Begitulah nasib anak kecil. Diusir dari belakang ke depan dan dari depan ke belakang rumah. Lalu dia harus ke mana? 

Tidak hanya di rumah. Di tempat ibadat pun demikian, bukan? Orangtua membawa anaknya ke gereja. Lalu anak lepas kontrol. Lari kiri kanan sambil teriak. Sangat mengganggu ketenangan suasana ibadat. Timbul bermacam reaksi. Ada yang cuma melirik ke arah orangtuanya. Ada yang mendeham. Sampai-sampai imam yang pimpin perayaan pun tidak tahan. Langsung saja tegur dari altar atau mimbar. Singkatnya ada sikap menolak. 

Begitu juga di masa Yesus, bukan? Lihat saja reaksi para murid dalam Mrk 10:13-16. Orang tua membawa anak-anaknya kepada Yesus. Tetapi murid-murid marah kepada mereka, Tidak ada bedanya dengan kita yang mau menjaga ketenangan di sekitar altar, bukan? Tapi bagaimana reaksi Yesus? Memuji mereka sebab menjaga ketenangan di sekitar-Nya? Yesus balik memarahi para murid: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku. Jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Mrk 10:14). 

Tidak hanya itu. Yesus masih memberi peringatan keras. “Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya” (Mrk 10:15). Pada hal, semua kita mau ke sana, bukan? Lalu bagaimana? Lihat saja apa yang dibuat Yesus. Ia memeluk anak-anak itu. Rupanya inilah kekurangan besar kita zaman ini. Kita tidak merangkul anak-anak. Ada anak yang sudah ditolak sebelum lahir, lalu digugurkan. Banyak juga yang kurang mendapat perhatian. Di rumah orangtua sibuk. Diharapkan agar para guru mendidik anaknya di sekolah. Pada hal para guru takut dituduh orangtua melanggar HAM. Tidak heran para guru masabodoh. Mereka hanya memfokuskan perhatian pada mutu ilmu pengetahuan. Lalu bagaimana di lingkungan paroki? Katekese anak dan pembinaan lain pun belum menjadi perhatian penuh banyak paroki, bukan? Pada hal anak-anak adalah harapan orangtua, asset masa depan Gereja, nusa dan bangsa, bukan? Kalau begitu, apa yang harus kita buat? 25052013