Monday, March 25, 2013

Siapa [lagi] yang menyangkal Tuhan?


Tentu masih ingat ceritera Malingkundan, anak tunggal dari Minangkabau. Dasar jiwa avontuur. Ia meninggalkan mama yang sudah janda di kampung halaman. Ia mau mengadu nasib ke negeri orang. Mujur sekali suratan tangannya. Ia menjadi kaya raya di negeri orang. Tapi bukan hasil jarahan atau korupsi. Beristeri cantik lagi. Meski begitu, rasa rindu mau pulang kampung terus menggoda. Siapa mengira, inilah awal kehancurannya? Ia datang ke kampong halaman dengan kapal pribadi. Gempar seluruh kampung. Siapa percaya, bahwa kapal mewah itu milik Malingkundan. Masa, milik anak miskin yang dahulu itu! Memang, lain dahulu, lain sekarang. Nasib telah mengubahnya. Teman-teman sepermainan di masa kecil ragu-ragu. Apa betul dia ini Malingkundan? Tetapi mamanya tidak ragu sedikit pun. Ia mengulurkan kedua tangannya, untuk merangkul anaknya. Malingkundan malu pada isterinya. Ia bersumpah, tidak mengenal perempuan miskin yang kurus itu. Dengan sangat kasar ia mengusir mamanya sendiri. Sambil menggandeng isterinya, ia kembali ke kapal dan berlayar pulang. Tetapi malang tak dapat ditolak. Badai dan gelombang mengamuk. Kapal pecah. Malingkundan bersama isteri dan semua harta kekayaannya ditelan laut. Begitulah nasib anak durhaka,yang menyangkal mamanya sendiri. Tragis sekali, bukan?

Lain Malingkundan, lain Simon Petrus dalam cerietra Yoh 13: 36-38. Ia sesumbar. Yang lain boleh lari. Tetapi Simon Petrus ini, (mungkin sambil membusungkan dada) tidak akan lari sejengkal pun. Nyawa pun ia rela serahkan demi Tuhan. Tetapi Tuhan berkata, “Nyawamu? Sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal Aku tiga kali” (Yoh 13: 38). Ternyata benar. Di hadapan seorang hamba perempuan, Petrus tidak berani mengaku mengenal Yesus. Tiga kali beruntun Petrus menyangkal mengenal Yesus. Mengapa? Situasinya sedang gawat. Yesus sementara diadili. Salah-salah dia ditangkap dan diadili juga. Siapa mau? Kita tidak lebih baik daripada Petrus, Paus pertama itu. Mau bukti? Bila sendirian di tengah orang banyak yang tidak dikenal, kita takut atau malu membuat tanda salib, bukan? Gara-gara pacar, kita tak segan-segan menanggalkan agama. Apalagi dengan iming-iming pangkat dan jaminan kemewahan lain. Tetapi apa kata Tuhan tentang penyangkalan kita ini? “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya”? (Mrk 8:36)

Sunday, March 24, 2013

Hari Senin dalam Pekan Suci


Ketika mendengar, bahwa dalam rombongan kami ke Tanah Suci, ada tiga pasang opa oma, ada yang nyeletuk: “Sudah tua begitu, bekin apa membuang-buang uang ke luar negeri. Mau cari apa? Lebih baik biaya perjalanan itu disimpan di bank atau di koperasi. Tiap bulan bisa dapat bunganya.” Jelas sekali ada perbedaan penilaian. Ketiga pasang opa oma itu lebih mengutamakan kepuasan rohani. Tidak mungkin hilang lagi dari batinnya. Yang keberatan, lebih mementingkan kebutuhan jasmani di usia senja.

Perbedaan pandangan sepeti ini kita temukan juga dalam Yoh 12:1-11. Maria menyiram kaki Yesus dengan minyak narwastu yang mahal harganya. Menurut Yudas Iskariot, itu hanya menghambur-hambur uang. Lebih baik minyak itu dijual. Uangnya bisa diberikan kepada orang miskin. Rupanya, ada udang di balik batu. Sebab menurut Yohanes, Yudas mengatakan demikian bukan karena prihatin terhadap orang miskin. Yudas kan bendahara. Menggelapkan uang dari brankas untuk kepentingan sendiri, itu soal biasa. Lalu bagaimana sikap Yesus? Ia tidak menolak tindakan Maria. Menurut-Nya, tindakan Maria merupakan suatu antisipasi penghormatan terhadap jenazah-Nya. Tetapi Ia juga tidak mencegah Yudas untuk beramal kepada orang miskin. Maka Yesus mengatakan: “Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku. Karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu, tetapi Aku tidak selalu ada pada kamu” (Yoh 8:7-8). Benar to, Yesus tidak selalu berada bersama kita? Bukan karena kadang-kadang Dia menjauhi kita. Tetapi sering kita tidak menyadari kehadiran-Nya. Atau biarpun kita sadar, tetapi kita acuh tak acuh. Tuhan itu urusan di gereja. Bukan di sini. Tidak heran, jika kita lebih suka menuruti hawa nafsu, dari pada hati nurani kita. Bukan lagi soal boleh atau tidak melakukan, tetapi memuaskan hawa nafsu atau tidak. Akibatnya…menyesal kemudian, tak ada gunanya. Lalu bagaimana dengan orang miskin yang selalu bersama kita? Sudah tidak dibantu, dihujat lagi: pemalas, mau cari enak saja… macam-macamlah. Tetapi ingatlah akan firman Tuhan! “Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (Mat 25: 45). Ini bukan main ancam untuk menakut-nakutkan kita. Pasti akan terpenuhi. Karena firman Tuhan: “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” (Luk 21: 33). Kalau begitu, bagaimana? 25032013

Saturday, March 23, 2013

Minggu Palma: Diberkatilah ...


Sangat malang nasib bapa yang satu ini. Semasa jaya, ada banyak sahabat. Ramai sekali di rumahnya, apalagi hari libur. Orang-orang dari kampung asalnya pun, selalu mencari dia, kalau ke kota. Semuanya mengaku kenal baik. Masih ada hubungan keluarga. Tetapi setelah kalah habis-habisan dalam pilkada, tidak ada lagi yang mau kenal. Rumah dan mobil sudah dijual. Untung kebun dengan pondok di luar kota itu tidak turut dijual. Kalau tidak, mau tinggal di mana? Tidak ada teman yang berkunjung. Orang sekampung pun tidak. Benar sekali pepatah, ada gula ada semut. Tak ada gula…?

Nasib bapa ini masih jauh lebih baik ketimbang nasib Yesus dalam bacaan Injil pada hari Minggu Palma. Pada upacara pemberkatan palma (Luk 19:28-40), masih lumayan. Suasananya sangat meriah dan riang gembira. Yesus mengendarai keledai memasuki kota Yerusalem. Orang yang telah menyaksikan mujizat-mujizat yang dikerjakan-Nya tergila-gila menyambut-Nya. Mereka menghamparkan pakaiannya di jalan, mulai dari bukit Zaitun sampai kota Yerusalem. Tak henti-hentinya mereka berseru: “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan. Damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang Mahatinggi!” Luk 19:38) Tetapi dalam Injil pada perayaan Ekaristi (Luk 22:14-23:56), dari mulut yang sama keluarlah teriakan: “Salibkan, salibkanlah Dia!” Sikap manusia begitu cepat berubah seperti arah angin, bukan? Tidak hanya orang Yahudi. Kita pun berbuat yang sama. Tidak percaya? Lihat saja bagaimana kita memuji Yesus sang Raja, dengan doa-doa dan nyanyian yang gegap gempita dalam ibadat di gereja. Pantaskah? O, sudah pantas dan selayaknya. Di surga saja Dia dipuja dan disembah malaekat dan para kudus. Apa lagi di dunia. Tetapi kalau Dia datang sebagai orang malang dan bersengsara, orang miskin dan tersingkir, apakah kita juga menerima Dia dengan kehangatan yang sama? Biasanya tidak, bukan? Kita menutup tidak hanya pintu rumah kita. Pintu hati pun sering kita tutup rapat-rapat. Rupa-rupa alasan: belum gajian, bulan tua, air dan listrik belum dibayar, baru bayar uang sekolah anak, dan seribu satu alasan lain. Kalau itu saja masih baik. Akan lebih menyakitkan, kalau dikatakan kita tidak kenal. Pada hal dahulu kawan kelas, bahkan kawan sebangku lagi. Tetapi kalau itu adalah orang besar, maka berhamburan gratifikasi berbau sogok tanpa diminta, bukan? Itu termasuk korupsi atau apa, ya? 24032013

Friday, March 22, 2013

Jangan Membunuh!


Masih ingat Munir, bukan? Kalau sudah lupa, itu namanya, habis manis sepah dibuang. Tokoh paling getol memperjuangkan dan membela HAM bangsa kita. Itu menurut masyarakat luas. Tapi bagaimana di mata penguasa yang sering suka menabrak HAM? Ia adalah batu sandungan. Harus disingkirkan dan selekas mungkin dihabiskan. Maka skenario disusun. Strategi diatur serapih mungkin. Intel dipasang. Ke mana saja dia bergerak harus diibuntuti. Tragis sekali bukan? Dia diracuni dalam penerbangan ke negeri Belanda. Munir telah mati sia-sia. Penguasa lega dan puas.

Beda dengan penguasa dalam Yoh 11: 45-56. Perbuatan-perbuatan baik Yesus telah menarik banyak pengikut. Apalagi peristiwa pembangkitan Lazarus. Punya daya tarik tersendiri. Penguasa merasa takut. Jangan-jangan mereka seperti harimau ompong. Tidak cuma mereka. Mungkin berlaku juga pada penguasa Roma. Akibatnya sangat fatal. Yerusalem akan dihancurkan. Seluruh bangsa akan binasa. Maka Yesus harus mati. Imam besar Kayafas angkat bicara: “Kamu tidak tahu apa-apa! Kamu tidak insyaf, bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita, daripada seluruh bangsa kita ini binasa” (Yoh 11:50).

Yesus mati tidak sia-sia. Betapa bedanya kematian Yesus dengan kematian Munir. Yesus mati untuk menyelamatkan bangsa-Nya bahkan untuk semua bangsa. Kematian Munir hanya demi kepuasan penguasa bangsa kita. Tetapi rupanya bukan hanya Munir yang mati sia-sia. Masih banyak sekali anak bangsa ini yang mati hanya demi kepuasan satu dua orang. Hitung saja berapa banyak bayi tak berdosa yang digugurkan atau dibunuh dalam sehari. Itu hanya untuk memenuhi tuntutan lelaki tak bertanggung jawab. Kalau tidak, maka ia akan meninggalkan wanita yang mengandung. Atau juga untuk menutup malu keluarga. Tetapi janganlah kita lupa! Hak hidup setiap orang, termasuk bayi tak bersalah, berasal dari Allah. Tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun dan penguasa mana pun. Allah adalah jaminannya. Simaklah firman-Nya: “Mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menututnya dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia. Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Kej 9:5-6). Menakutkan? Makanya, jangan coba-coba! Allah tidak dapat acuh tak acuh terhadap perintah-Nya sendiri: “JANGAN MEMBUNUH”! 23032013

Thursday, March 21, 2013

Bersama Tuhan Kita Pasti Bisa


Kita lihat saja, apa yang akan terjadi. Sudah tersebar ke mana-mana. Katanya, bapa yang baru dari ibukota itu akan membuka sekolah unggulan. Mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggeris. Banyak pengajar dibawa dari ibukota. Tentu ada juga tenaga lokal. Tapi bukan asal ada. Harus bermutu. Sebab itu akan diselekesi. Siswa yang diterima, hanya yang rata-rata nilai ijasahnya paling rendah 8 koma… Yang cuma 8, akan diseleksi lagi atau dilihat juga nilai raport. Semua siswa-siswinya diasramakan. Akan dibangun juga kompleks perumahan para pengajar dan pegawai. Dengan demikian ia ingin membantu masyarakat NTT. Reklamenya hebat, bukan? Belum terbukti. Sama seperti penjual jamu di pinggir jalan. Siapa yang mengaku jamunya bukan nomor satu? Jujur saja. Mau membantu, atau mengeruk masyarakat NTT?

Jauh bedanya dengan Yesus dalam Yoh 10:31-40. Bapa telah mengutus-Nya ke dunia. Banyak pekerjaan telah dilakukan-Nya. ”Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan” (Mat 5:11). Semuanya adalah pekerjaan Bapa, yang dilaksanakan-Nya. Kalau orang Yahudi tidak percaya bahwa Ia Anak Allah, percayalah kepada semua pekerjaan itu. Maka mereka tahu bahwa Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa. Dengan menerima sakramen baptis, kita pun menjadi anak-anak Allah. Apakah kita berani berkata seperti Yesus, kalau orang tidak percaya bahwa kita anak Allah: “Percayalah kepada pekerjaan-pekerjaan kami”? Malu, ah! Siapa bisa membangkitkan orang mati? Tetapi kita bisa mengerjakan hal-hal biasa secara luarbiasa. Dewasa ini lagi trend praktek menggandeng wil atau pil ke tempat gelap nun jauh di luar rumah. Itu bukan rahasia lagi. Tapi bila kita mengharamkannya demi keluhuran sakramen perkawinan, itu luarbiasa. Tidak perlu bicara soal korupsi besar-besaran. Lihat saja soal mark up harga belanja keperluan kantor di toko. Sudah tidak asing lagi. Tetapi bila kita berani menolaknya, itu luar biasa. Kalau yang kecil saja, kita sudah tersandung lalu jatuh, apalagi yang besar, bukan? Tapi bersama Tuhan, yang tahu apa yang paling rahasia, pasti bisa! 22032013

Wednesday, March 20, 2013

Beragama yang Kekanak-kanakan

Saya teringat akan tempo dulu. Saya baru kelas I Seminari Menengah San Dominggo, Hokeng. Itu di tahun 1956. Sering terjadi perkelahian antara teman. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya tidak ada soal. Hanya menyebut nama bapa. Misalnya, he Bernadu e… Yang bapanya Bernadu langsung ribut. Dikira sudah menghina bapanya. Apalagi kalau disertai salah satu kebiasaan buruk, misalnya pemabuk. O…bisa-bisa adu jotos. Hal ini berlangsung sampai kelas II. Di kelas III mulai berkurang. Di kelas IV-VII, malah jadi lelucon. Rasanya, kekanak-kanakan. Tetapi berbahaya, jika kekanak-kanakan merambat ke ranah agama. 

Lihat saja apa yang terjadi dalam Yoh 8:51-59. Yesus mengatakan: “Barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya” (Yoh 8:51). Orang Yahudi mempersoalkannya. Abraham dan para nabi saja telah mati. Siapakah Dia ini? Pembicaraan Yesus tentang hubungan-Nya dengan Bapa-Nya. Bapa-Nya adalah Allah mereka. Yesus mengenal Dia. Tapi mereka tidak mengenal-Nya. Abraham telah melihat hari-Nya dan ia bersukacita. Bagi mereka, itu pelecehan. Apalagi Yesus mengatakan, sebelum Abraham ada, Ia telah ada. Penghinaan yang luarbiasa terhadap bapa mereka Abraham. Maka hukuman-Nya tidak lain. Rajam dengan batu sampai mati. Tetapi kematian Yesus bukan ditentukan oleh orang Yahudi, bukan? Maka “Yesus menghilang dan meninggalkan Bait Allah” (Y0h 8;50). Begitulah fanatisme agama dan iman yang kekanak-kanakan. Apakah kita lebih dewasa dalam beriman daripada orang Yahudi? 

Saya kira kebanyakan kita pun sama. Ingat saja peristiwa “pelecehan” hostia kudus, belasan atau duapuluhan tahun lalu. Orangnya memang bukan beragama Katolik. Ia turut menyambut komuni kudus. Akibatnya, dihajar habis-habisan oleh massa umat atas nama penodaan agama. Banyak korban babak belur. Di katedral Ende dan katedral Atambua bahkan sampai mati. Menyesalkah mereka yang telah beramai-ramai menghajar korban atas nama agama? Sama sekali tidak. Mereka bahkan berbangga menjadi pahlawan pembela Kristus. Betulkah Kristus mau dibela? Coba kita dengarkan apa kata-Nya kepada Petrus di Taman Getzemani: “Sarungkanlah pedangmu itu. Bukankah Aku harus minum cawan, yang diberikan Bapa kepada-Ku”? (Yoh 18:11). Pada hal Petrus mau membela-Nya, bukan? Dan apa kata-Nya kepada wanita Sion yang meratapi-Nya?: “Janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu”! (Luk 23:28). Apakah kita yang menyambut-Nya dalam komuni kudus, tanpa persiapan pernah ‘menangisi’ diri kita? Bagaimana dengan kita yang berdiri ngobrol di luar gereja, lalu ikut menyambut komuni kudus? Apakah kita tangisi nasib anak-anak kita, yang menyaksikan teladan kita? 21032013

Tuesday, March 19, 2013

HR St Yusuf Suami SP Maria

Pagi itu heboh sekali. Orang berdatangan ke tempat ditemukan bayi dibuang. Rupanya laporan sudah sampai ke pihak polisi. Dua orang polisi kelihatan sibuk. Tanya sana-sini akhirnya ketahuan. Itu bayi seorang mahasiswi. Dia stress berat. Laki-laki tidak mau bertanggung jawab. Ia sudah melarikan diri. Omongannya berbelit-belit. Mula-mula bilang itu akibat perempuan menyerahkan diri. Kemudian katanya dia sudah bayar. Laki-laki bukan hanya dia sendiri. Dia cuma satu kali. Ibu-ibu yang mendengar itu sangat marah. Singkatnya, ia tidak mau bertanggung jawab. Sekarang jadi buronan polisi. Dan perempuan itu? Hanya menangis ketika digiring ke kantor polisi. 


Beda sekali dengan laki-laki yang satu ini. Itu dalam Mat 1:16,18-24. Yusuf sudah bertunangan dengan Maria. Sama-sama sekampung. Mereka belum suami isteri. Tapi Maria sudah mengandung. Menurut Maria, ia mengandung dari Roh Kudus. Hmm…dari Roh Kudus? Siapa percaya? Sama saja kalau seorang gadis sekarang mengaku mengandung dari Roh Kudus. Pasti menjadi bahan tertawaan, bukan? Bagaimana reaksi Yusuf? Ia tidak panik dan melarikan diri. Ia mempertimbangkannya matang-matang. “Ia tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum. Ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam” (Mat 1:19). Sementara itu malaekat Tuhan berkata dalam mimpi: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat 1:20-21). Seperti Maria, ia pun mendapat pemberitahuan dari sumber yang sama yakni malaekat Tuhan. Ia juga percaya. Yusuf menerima Maria menjadi isterinya. Dengan putusan ini, Yusuf turut serta melaksanakan mega proyek Allah. Ia mengangkat harkat dan martabat Maria di mata masyarakat. Maria bukan wanita pezinah, yang mengandung tanpa suami. Ia luput dari hukuman rajam dengan batu sampai mati. Bukan hanya itu. Yesus bukan anak haram di hadapan publik. Yesus inilah menjadi juruselamat semua manusia. Yusuf telah menunjuk teladan bagaimana iman telah menyelamatkan keutuhan keluarga. Berat? Tentu saja! Perlu pengorbanan yang besa. Tapi hasilnya luarbiasa, bukan? Yuk, mari kita mohon kekuatan iman demi keutuhan keluarga kita, terlebih keluarga yang terancam kehancuran! 19032013

Menjadi Katolik bukan Barang Murahan


Saya tidak mengira, bahwa dialah pejabat yang saya cari. Penampilannya sangat sederhana. Saya datang ketika ia sedang menyapu halaman di depan rumah. Saya kira dia pekerja atau sopir yang diminta membantu. Saya bertanya entah bapa yang saya cari itu ada. ‘’O…ada”. Dengan ramah ia mengajak saya masuk. Lalu persilakan saya duduk sambil minta saya bersabar sebentar. Tidak lama ia kembali. Pakaiannya sudah diganti. Kemudian baru saya tahu. O…dialah orangnya. Memang sudah saya dengar tentang bapa ini. Penampilannya sederhana. Di luar jam dinas, orang tidak percaya bahwa dia seorang pejabat. Orangnya baik sekali, suka membantu dan disegani banyak orang. Tetapi anak-anaknya? Tidak satu pun yang jadi. Kasihan! Sekolah sudah tidak betul, pemabuk lagi. Rupanya hanya mengandalkan kebaikan orangtua. Kadang-kadang membusungkan dada di muka teman-teman. “Tidak tahu, ini anak pejabat”. Mungkin sedang mabuk.

Bukankah orang Yahudi juga seperti ini? Kentara sekali dalam Yoh 8:31-42. Mereka berbangga karena keturunan Abraham. Berarti mereka mewarisi janji keselamatan dari Allah. Tetapi tindakan dan perilakunya? Kita dengarkan kritik Yesus: “Sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham” (Yoh 8:39). Menjadi anak Abraham, tidak cukup hanya kerena turunan. Harus dinyatakan dalam sikap dan tindakan seperti Abraham. Itulah duduk soalnya. Mereka mengerjakan apa yang tidak dikerjakan oleh Abraham, yakni berusaha membunuh atau melenyapkan Yesus. Bukankah kita juga mirip-mirip orang Yahudi? Kita berbangga menjadi Katolik dan membangga-banggakan agama kita. Tentu tidak ada salahnya. Agama Katolik sudah pasti tercatat di KTP kita. Tetapi percuma, kalau ke gereja cuma pada perayaan Natal dan Paskah. Rajin ke gereja pun belum menjadi jaminan, bukan? Apa gunanya rajin ke gereja, kalau hidup dan tingkah laku kita, sama saja atau bahkan jauh lebih jelek, daripada orang yang tidak ke gereja atau beragama lain? Memang, menjadi Katolik, bukan barang murahan. Perlu perjuangan untuk hidup sesuai dengan ajaran iman kepercayaan kita, bukan? 20032013

Sunday, March 17, 2013

Pergilah, dan Jangan Berbuat Dosa Lagi!


Saya pernah menolak surat panggilan polisi untuk seorang frater. Ia diminta menghadap di kantor polisi untuk menjadi saksi atas suatu perkara. Surat itu salah alamat. Saya pun tidak mau repot berurusan dengan polisi. Berbelit-belit, bukan? Maka saya minta supaya polisi menghubungi pihak keuskupan. Entah frater itu ada di paroki mana, silakan tanya kepada sekretaris Uskup.

Lain halnya dengan Yesus dalam Yoh 8:1-11. Wanita yang tertangkap basah berzinah dibawa ahli Taurat dan kaum Farisi kepada-Nya. Menurut hukum Taurat, nasib perempuan ini sudah jelas. Patut dirajam dengan batu sampai mati. Bagaimana pendapat-Nya. Jelas-jelas salah alamat. Yesus bukan hakim makamah agama. Tidak ada urusan-Nya dengan soal itu. Bait Allah pun bukan tempat pengadilan. Tetapi tempat ibadat dan belajar mengajar soal agama. Sebenarnya Yesus bisa saja menolak bahkan mengusir mereka. Tetapi dengan cara-Nya sendiri Ia meladeni mereka. Ia berhenti mengajar. Ia menulis dengan jari-Nya di tanah. Seperti tidak peduli dengan perempuan malang itu dan mereka yang menyeretnya ke hadapan-Nya. Ia terus-menerus didesak untuk memberikan pendapat. Ia bangkit berdiri. Tidak ada jawaban dari pihak-Nya. Jawaban dikembalikan kepada mereka. “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yoh 7:7). Suatu jurus yang jitu. Masing-masing diberi kesempatan untuk meninjau kembali masa lampaunya. Lalu satu persatu, mulai dari yang tertua meninggalkan perempuan itu. Tidak ada satu batu pun dilemparkan kepada perempuan malang itu. Kesimpulannya? Jelas sekali. Semuanya pernah berdosa. Mungkin jauh lebih keji.

Lalu bagaimana dengan perempuan itu? sudah luput dan boleh berzinah terus? Apa kata Yesus? “Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?” Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “ Aku pun tidak menghukum engkau”. Tuhan sungguh konsisten mengasihi orang berdosa, bukan? Tetapi Ia tidak pernah mentolerir dosa. “ Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi, mulai dari sekarang” (Yoh 7:11). Kata-kata yang sama ditujukan kepada kita, bukan? 18032013

Saturday, March 16, 2013

Minggu Prapaskah V

Sudah dengar? Pepatah tentang musuh bebuyutan. Biasanya orang katakan, seperti anjing dengan kucing. Dalam permusuhan, tentu ada yang lebih kuat dan yang lain lebih lemah. Saya pernah bawakan ini dalam katekese umat. Ada yang bilang anjing lebih kuat dan lebih galak. Yang lain bilang kucing. Masing-masing orang menjawab berdasarkan pengalaman. Saya pilih kucing. Lihat saja tai anjing di jalan. Menjijikkan. Orang yang lewat menutup hidung dan membuang ludah. Tapi siapa sudah lihat tai kucing? Sebelum buang kotoran, kucing korek lubang. Sesudahnya, cepat-cepat ia menutup lubang itu. Tidak ada yang tahu. Tak ada bau yang merebak, bukan? 

Begitu juga dengan dosa orang kecil. Dalam sekejap semua orang sudah tahu dan merasa jijik. Tetapi kebejatan orang besar…ditutup dengan sangat rapih. Pada hal jauh lebih besar dan lebih menjijikkan. Hanya kekuatan sekaliber KPK-lah bisa membongkarnya. Sama saja dengan peristiwa dalam Yoh 8:1-11. Bayangkan! Pagi-pagi ahli Taurat dan orang Farisi menyeret seorang wanita. Ia tertangkap basah berbuat zinah. Ia dibawa kepada Yesus yang tengah mengajar orang banyak. Di muka orang banyak itulah dosanya dibeberkan. Andaikan orang itu adalah diri kita, atau ibu atau saudari kita, bagaimana rasanya, ya? Menurut hukum Taurat, wanita seperti ini harus mati dirajam dengan batu (bdk Ul 22:23-24). Bagaimana pendapat Yesus? Pertanyaan jebakan. Jika Yesus setuju, bagaimana dengan hukum cinta kasih? Katanya hukum terbesar. Jika bilang tidak boleh, maka Yesus melawan hukum Taurat. Maju kena, mundur kena. Yesus tidak habis akal. Ia tulis di tanah. Mereka terus mendesak. Yesus bangkit dan menjawab. Siapa yang merasa diri tidak berdosa, hendaklah dia melemparkan batu pertama. Lalu Yesus kembali menulis di tanah. Kini giliran ahli Taurat dan orang Farisi tersudut. Yesus koq dilawan? Satu demi satu mulai dari yang tertua, meninggalkan perempuan itu. Mereka sadar akan dosanya sendiri. Mereka mengurungkan niat untuk mengeksekusi perempuan itu. Tinggal Yesus dan perempuan itu sendiri. “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau”? jawabnya: “Tidak ada, Tuhan”. Lalu kata Yesus: “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”. 

Luar biasa melegakan. Tuhan menolak dosa dan kejahatan. Tetapi Ia tidak menghukum orang berdosa dengan kematian. Ia memberinya kesempatan untuk bertobat. Belas kasih-Nya menggugah orang berdosa agar meninggalkan dosanya. Perlakuan tidak adil dan tidak manusawi kerap dialami perempuan. Tidak hanya dalam Injil tapi juga di rumah. Laki-laki kerap kali lebih keras terhadap perempuan daripada Tuhan sendiri. Mengapa, ya? 17032013

Sabtu, Prapaskah IV

Dulu begitu sayang. Maklumlah, anak bungsu. Apalagi dilahirkan setelah bapa meninggal. Semua kemauannya dipenuhi. Yang terbaik dan terenak selalu diberikan kepada si bungsu. Saudara-saudari menjadi cemburu dan iri hati. Tapi mama selalu ada trik membela diri. Sekarang benci bukan main. Sudah berulang kali dilarang mama. Mama marah sebab lelaki, pacarnya itu tidak berbudi. Tidak tahu hormat orangtua. Belum ada kerja tetap. Pemalas lagi. Mau makan apa sesudah nikah? Tapi anak kesayangan ini tidak peduli. Ia nekad dengan pacarnya itu. Sudah lari ikut lelaki itu sebab sudah hamil dua bulan. Dengan bersumpah, mama tidak mau mengenal dia lagi. Bekin malu keluarga saja. Apa yang belum dibuat untuk dia? Ternyata semuanya sia-sia. Tidak ada maaf lagi baginya. Mama menganggapnya sudah hilang. Saudara-saudarinya sekarang balik menuduh mama. Inilah balasan yang diberikan anak kesayangan mama. Tapi kata mama, dia bukan anaknya lagi. 

Suasana ini pun terasa dalam Yoh 7:40-53. Bagi pemimpin Yahudi, Yesus bukan Mesias. Pembangkang dan penghasut rakyat. Tidak patuh pada Sabat dan menyamakan diri dengan Allah. Ia patut dilenyapkan.Tetapi para penjaga yang diutus malah mengagumi-Nya. “Belum pernah seorang manusia berkata seperti orang itu” (Yoh 7:46). Mereka pun dituduh tersesat, sebab tak seorang pemimpin pun percaya kepada-Nya. Ia hanya laku bagi massa rakyat yang tak tahu hukum Taurat. Sampai-sampai Nikodemus pun dilabrak karena dianggap membela Yesus: “Apakah engkau juga orang Galilea? Selidikilah Kitab Suci dan engkau akan tahu, bahwa tidak ada nabi yang dating dari Galilea” (Yoh 7:52), daerah asal Yesus. Ini hanya karena Nikodemus berkata: “Apakah hukum Taurat kita menghukum seseorang sebelum ia didengar dan sebelum orang mengetahui apa telah dibuatnya”? (Yoh 7:51) Begitu bencinya kepada Yesus, bukan? Yesus bukan belum omong apa-apa. Tapi kita hanya mau mendengarkan apa yang kita suka, bukan? Yang kita tidak suka, biar sangat berguna, masuk telinga kanan, langsung keluar kiri. Yesus juga sudah berbuat banyak sekali demi keselamatan semua orang. Tetapi banyak yang tidak peduli, bukan? Lalu kita? 16032013

Thursday, March 14, 2013

Siapakah Yesus itu?

Takut air Katolik. Kita sudah terbiasa minum air begini dari nenek moyang. Belum ada yang mati. Maka jangan terima pipa itu. Lebih baik minum air begini daripada minum air Katolik. Demikian reaksi mayoritas masyarakat di Kalabahi di tahun 1970-an. Pastor paroki berulang kali mengadakan pendekatan. Tidak ada hasil. Karena itu kapal Ratu Rosari harus membongkar jangkar dan bertolak ke Moru. Orang Moru terima pipa itu, tanpa harus menjadi Katolik, karena minum air bersih. Buruh di pelabuhan Kalabahi menyesal. Pastor paroki kecewa. Delsos Keuskupan Larantuka (waktu itu) dan Misereor di Jerman heran. Koq ada air Katolik? Ya, hanya karena prakarsa dari Pastor paroki, kerja sama Delsos dan Misereor untuk pengadaan air bersih, maka airnya dicap air Katolik. Sebab itu ditolak. Titik. 

Suasana serupa terasa dalam Injil Yohanes 5:1-2,10,25-30. Orang Yahudi tahu baik sekali latar belakang Yesus. Kapan Ia belajar dari seorang rabi? Ia kan tiap hari di jalan. Masakan Ia mempunyai pengetahuan sehebat itu (bdk Yoh 5:15)? Tentang asal-usul-Nya? Ia anak tukang kayu (Mat 13 55), orang Nazaret. Hanya sebatas itu orang Yahudi mengenal Yesus. Maka pada waktu mengajar di Bait Allah, Yesus berseru: “Memang Aku kamu kenal dan kamu tahu dari mana asal-Ku” (Yoh 7:28). Asal-usul manusiawi-Nya menyelubungi asal-usul ilahi-Nya. Maka kesimpulannya jelas. Mustahil Dia itu Mesias. “Mesias tidak datang dari Galilea! Karena Kitab Suci mengatakan bahwa Mesias berasal dari keturunan Daud dan dari kampung Betlehem, tempat Daud dahulu tinggal” (Yoh 7:41-42). Tetapi Yesus menandaskan: “Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, tetapi Aku diutus oleh Dia yang benar, yang tidak kamu kenal. Aku kenal Dia sebab Aku datang dari Dia dan Dialah yang mengutus Aku” (Yoh 7:28b-29). Orang tidak mau melihat kebenaran pewartaan, tapi siapa yang mewartakannya. Tidak heran, orang Israel berusaha bukan hanya menutup mulut-Nya yang lancang itu. Mereka mau membunuh-Nya. Dan mereka sudah berhasil. Tetapi Ia bangkit kembali. Pengaruh-Nya lebih dahsyat lagi ketimbang sebelumnya. Tidak hanya di Israel, tetapi merebak ke seluruh dunia, sampai sekarang dan seterusnya, bukan? Lalu kita? Malu atau takut memberi kesaksian tentang Dia, hanya karena Dia anak tukang kayu, dari desa? 15032013

Wednesday, March 13, 2013

Apa yang Kamu Cari?

Sudah agak lama saya perhatikan bapa yang satu itu. Mondar-mandir di tempat yang sama. Sebentar-sebentar ia berhenti sejenak dan lihat kiri kanan. Lalu mondar-mandir lagi. Saya ingin tahu. Ada apa? 
 
Ketika saya sudah ada di dekatnya, ia tidak tahu. “Selamat siang, bapa”. “O…selamat siang, Romo”, jawabnya agak kaget. “Bagaimana, bapa”? “Saya sedang cari kacamata saya, Romo. Tidak tahu saya taruh di mana? Tapi saya hanya di sini saja. Jadi pasti ada di sekitar sini”, katanya. “Kacamata? Itu, ada di dahi bapa”. Kata saya, sambil menunjuk ke dahinya. Ia meraba dahinya. “Aduh, sudah lama saya cari. Tahu-tahu, ada di dahi saya sendiri”. 
 
Orang mencari apa yang ada padanya. Injil Yoh 5:31-47 menyoroti kenyataan serupa. Orang Yahudi berusaha membunuh Yesus sebab Ia menyatakan diri sebagai Putera Allah (Yoh 5:18). Yesus semakin nekad saja. Ia mengingatkan kesaksian Yohanes Pembaptis tentang diri-Nya. Demikian juga Kitab Suci. Tetapi bagi Yesus, bukan kesaksian itulah yang terpenting, melainkan kesaksian Bapa-Nya sendiri. Ia sama dengan Bapa dalam segala-galanya. Karya yang diserahkan Bapa dan dilaksanakan-Nya menjadi saksi. Bapa mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri. Demikian juga Anak. Tentang penghakiman? Bapa telah menyerahkan seluruhnya kepada-Nya. Ia adalah Allah sama dengan Bapa. Jadi sesungguhnya Ialah Allah yang hadir di tengah umat-Nya. Tapi siapa percaya? Allah mereka adalah Allah yang mahaesa. Masa, Yesus samakan diri dengan Allah. Itu hujatan. Ia harus mati. Begitulah orang Yahudi. 
 
Lalu kita? Yesus yg sama, dengan berbagai cara menyatakan diri hadir di tengah kita. “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Dalam perayaan Ekaristi Ia hadir dan memberikan diri-Nya kepada kita. Ia bersabda kepada kita, ketika KS dibacakan. Bahkan dalam keadaan yang sangat lemah dan papa Ia datang kepada kita. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Tetapi berapa yang peduli? Yang dicari justru mujizat di sana, patung berair mata di gereja itu, pendoa dan dukun penyembuh atau hal-hal sensasional lainnya. Tuhan penyelamat yang begitu dekat kurang laku, bukan? Apakah iman kita tergantung pada mujizat dan hal-hal sensasional itu? 14032013

Persatuan yang membawa manfaat

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itu kata peribahasa Melayu. Perumpamaan ini melukiskan kedekatan dan kemiripan anak dengan orangtuanya. 
 
Orang usil berkata, kecuali pohonnya tumbuh di pinggir jurang. Buahnya pasti terpelanting jauh di bawah dasar jurang. Ya, tidak semua anak menyerupai orangtuanya, bukan? Ada orangtua yang baik sekali. Tapi anak-anaknya tidak ada yang jadi manusia. Pasti kita kenal satu dua keluarga di sekitar kita sebagai contoh.
 
 Tiga hari yang lalu, kita mendengar Yesus berceritera tentang anak yang hilang (Yoh 15:11-32). Anak bungsu pelisir ke luar negeri. Ia menikmati hidup dengan para pelacur. Anak sulung lebih tragis lagi. Hilang di dalam rumah sendiri. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia sesungguhnya seorang anak. Mentalnya saja, mental seorang pekerja yang menunggu upah dan hadiah. Tidak heran, kalau ia tidak turut menikmati kebahagiaan pesta dalam keluarga besar ayahnya. Ia tetap tinggal di luar. Pada hal bapanya luar biasa baik. 
 
Dalam Yoh 5:17-30, Yesus bicara blak-blakan. Bukan lagi dengan perumpamaan. Bukan pula tentang buah yang jatuh di sekitar pohonnya. Tetapi tentang persatuan-Nya yang erat mesra dengan Bapa. Apa yang dikerjakan Bapa, dikerjakan Anak dan sebaliknya. Yang menghormati Anak, menghormati Bapa. Singkatnya, Bapa dan Anak adalah satu. Yesus juga inginkan persatuan seperti itu dengan kita. Sama seperti pokok anggur dengan ranting-rantingnya (bdk Yoh 15:1-7). 
 
Dalam Ekaristi, Ia memberikan diri-Nya sendiri. Ia berdoa kepada Bapa agar persatuan itu dianugerahkan kepada semua kita (bdk Yoh 17:20-21). Persatuan yang membawa manfaat luarbiasa bagi kita. Hidup-Nya, daya juang dan daya tahan-Nya sendiri mengalir di dalam diri kita. Apa itu mungkin? Mengapa tidak? Rasul Paulus sudah mengalaminya. Ia bersaksi: “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:20). Lalu mengapa kita bertualang dalam kenikmatan yang membawa nista? Atau meringkuk dan mengeluh sendirian di bawah tindihan derita dan sengsara? Dasar, orang tak tahu untung. 13032013

Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya

Maaf, kali ini saya sharingkan pengalaman yang sangat pribadi. Saya masih ingat baik sekali. Tgl 29 Pebruari thn 2000, Kapal Wilis membawa kami ke Sabu. Tetapi tidak bisa sandar di pelabuhan Seba. Laut Sawu mengamuk. Ombak tinggi sekali, mungkin sekitar 4-5 meter. Penumpang pada mulanya takut untuk naik ke darat. Dua buah perahu yang menjemput penumpang, dilambungkan seperti gabus di pinggir kapal Wilis. Mau tidak mau, penumpang harus turun dari kapal. Mula-mula perempuan dan anak-anak. Kemudian menyusullah laki-laki. Teman-teman serombongan untuk sosialisasi APP sudah turun ke perahu. Suster yang sebenarnya anggota rombongan kami, sudah memutuskan untuk tidak turun. Saya adalah orang terakhir yang turun dari kapal. 
 
Sambil berdiri di pinggir kapal, saya membuat perhitungan dalam hati: "Saya tidak gesit. Tidak tahu berenang lagi. Untuk lompat dari kapal ke perahu, bisa-bisa nanti seperti batu yang langung ke dasar laut. Ah, tapi saya kan bukan datang pesiar. Saya mau mewartakan Firman Tuhan. Kalau dahulu Tuhan menyelamatkan Petrus dari penjara yang terkunci (Kis 5:17-25) dan Paulus yang dijaga ketat (Kis 23:11) demi karya pewartaan, maka saya percaya, Tuhan juga meluputkan saya". Anak buah perahu berteriak: “Lompat”! Tanpa ragu-ragu saya lompat. Aneh sekali. Saya merasa bukan saya yang melompat. Terasa seperti ada yang mengangkat saya dan menempatkan saya di antara dua orang, tanpa meneyentuh mereka sedikit pun. Orang-orang itu tentu tidak tahu. Tetapi saya tahu, Tuhanlah yang telah menyelamatkan saya. Mengapa? Bukan saya begitu gesit untuk melompat. Tetapi karena saya percaya. Mendengar perkataan Yesus, “Jika kamu tidak melihat tanda dan mujizat, kamu tidak percaya” (Yoh 4:48), maka saya makin menyadari, bukan mujizat membuat saya percaya. Tapi saya percaya maka terjadilah mujizat. Saya pun makin diteguhkan oleh kata-kata Yesus kepada rasul Tomas: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yoh 20:29) 11032013

Aturan itu untuk Manusia

Saya tersentak. Benarkah apa yang saya dengar ini? Pengumuman dari mimbar gereja. “Penerimaan komuni pertama harus ditunda. Beberapa orangtua belum melunaskan yuran paroki. Begitu juga dengan baptisan minggu depan. Semuanya ditunda sampai yuran paroki dilunaskan”. Mulut saya ternganga. Saya geleng-geleng. Tapi saya imam tamu, biarpun anak paroki. Saya tidak bisa membatalkan pengumuman itu. 
 
Di sakristi, sebelum membuka pakaian misa, saya bertanya kepada ketua DPP. “Apa hubungan antar yuran paroki dengan penerimaan sakramen-sakramen itu”? Jawabannya sangat sederhana. “Ini keputusan pastor paroki dengan DPP, Romo”. “Ya, tapi apa dasarnya? Bukankah ini namanya simoni, memperjualbelikan sakramen”? desak saya. Ia tetap ngotot: “Sudah merupakan peraturan, Romo”. Aduh…kasihan sekali.
 
Peraturan manusia bisa menutup pintu keselamatan. Injil Yoh 5:1-16 sangat kental menyiratkan nuansa ini. Orang-orang Yahudi yang saleh mempertahankan peraturan hari Sabat. Orang sakit sudah menderita selama 38 tahun. Duduk saja di pinggir kolam menantikan kesembuhan. Tidak ada yang melirik. Apalagi tergerak untuk menolong. Yesus tidak tega melihat kenyataan ini. Si sakit disembuhkan-Nya. Orang saleh mempersoalkannya. Melanggar peraturan hari Sabat. Karena itu Yesus pernah menandaskan: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk 2:27). Itu kata “Anak manusia, yang juga adalah Tuhan atas hari Sabat" (Mrk 2:28). Karena itu peraturan Gereja, keputusan DPP dan peraturan apa saja, seharusnya tidak boleh mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan, karena manipulasi dan interpretasi yang keliru, demi kepentingan tertentu, bukan? 12032013

Saturday, March 9, 2013

Mental Orang Upahan

Lukas 15:1-3.11-32
 
Saya kira banyak di antara kita setuju dengan reaksi anak sulung terhadap ayahnya dalam Injil Lukas 15:1-3.11-32. Seharusnya ayah mengusir anak durhaka ini. Dia tidak punya hak apa-apa lagi atas harta ayahnya. Bukankah dia sudah mendapat bagiannya? Dia sudah lari ke luar negeri dan tidak kerja apa-apa lagi untuk ayah. Dia telah berfoya-foya dan menajiskan dirinya dengan para pelacur. Bukankah itu bikin malu keluarga? Ayah bukan tidak tahu itu… Tapi sekarang? Ia malah diterima dengan pesta pora dan tarian. Anak sapi tambun dipotong untuk terima anak keparat itu. Di mana keadilan? Anak sulung boleh banting tulang setiap hari, tidak peduli hujan atau panas terik di ladang. Ia tidak pernah melawan perintah ayahnya. Tapi sampai sekarang ia tidak pernah diberi seekor anak kambing pun, untuk bisa rekreasi dengan teman-temannya. Pantas, dia merajuk dan tidak mau masuk ikut pesta. Tetapi…benarkah sikap anak sulung yang merajuk ini? Apakah dia sungguh-sungguh hidup sebagai anak di rumah ayahnya? Bukankah apa yang dimiliki ayah adalah miliknya juga? 
 
Sungguh kasihan. Selama ini dia hidup di rumah tapi sesungguhnya sebagai orang luar, yakni pekerja yang setia. Kalau sebagai pekerja, maka ia berharap terima gaji setiap bulan. Dan pada hari raya harus mendapat THR, bukan? Siapa di antara kita yang selama ini memperlakukan anak-anaknya seperti pekerja? Kalau kita saja tidak, apalagi Bapa di surga? Memang banyak di antara kita, yang bermental pekerja dalam hidup beriiman, seperti anak sulung yang malang ini. Sudah setia ke gereja, aktip dalam segala kegiatan di KUB, bayar yuran ini dan itu, maka pantas menerima upah atas kesalehan itu. Karena itu kita sangat kecewa, bahkan stress kalau tidak menerima apa yang kita minta dalam doa-doa kita. Kita marah melihat orang yang tidak ke gereja malah bernasib lebih baik daripada kita. Orang berdosa seharusnya disingkirkan, dimarah dan ditolak. Ya…itu menurut kita, sang pekerja setia. Tetapi sikap Yesus terhadap para pemungut cukai dan orang-orang berdosa, bukan seperti yang kita dan orang Farisi kehendaki, bukan? 10032013

Thursday, March 7, 2013

Black Prayer

Luk 18:9-14

Teman-teman pasti tahu baik sekali, apa itu black campaign. Setiap kali ada kampanye pemilu/pilkada pasti wanti-wanti tentang black campaign disampaikan kepada semua partai peserta pemilu/pilkada. Ada etika berkampanye. Raihlah kemenangan dengan santun. Tetapi apa yang terjadi? Juru kampanye rupanya kehabisan bahan dan akal. Lawan politik ditelanjangi habis-habisan. Tidak tersisa sedikit pun kebaikan. Yang dilitani justru semua keburukan dan kelemahan. Sementara itu ia berkoar-koar menggembar gemborkan kehebatan calonnya. Sesudah itu tepuk dada. Pasti satu putaran. Kalau kampanye macam begini, apa yang dapat diharapkan rakyat untuk kemakmuran bersama? 

Orang bilang, indah kabar dari rupa. Semua orang pasti mau yang terbaik, bukan? Sama seperti penonton sepak bola di pinggir lapangan. Merasa diri lebih hebat. “Mengapa begitu? Seharusnya begini! Coba tadi begini…pasti gol. Tarik saja si X itu dari lapangan”. Coba! Jika sendiri turut bermain, mati langkah. Semua jurus yang diinginkan, tidak ada yang terbukti di lapangan. Yang terjadi justru lebih jelek darpadai pemain yang dicaci maki. Seiring dengan black campaign, ada juga black prayer. Masa, doa juga kotor. Tidak percaya? 

Lihat saja doa seorang Farisi di Bait Allah (Luk 18:9-14). Ia bersyukur kepada Tuhan. Bukan demi Tuhan yang baik terhadapnya. Tapi karena kehebatannya. Siapa lagi yang sama seperti dia? Ia bukan perampok, orang lalim, pezinah atau pemungut cukai. Apalagi ia setia berpuasa dua kali seminggu dan memberi persepuluhan. Hubungannya dengan Tuhan pasti beres. Tapi Itu hanya dugaannya, bukan? Ia lupa bahwa Yesus pernah mengecam mereka karena melalaikan keadilan dan kasih kepada Allah (Luk 11:42, Mat 23:23). Tuhan justru membenarkan pemungut cukai, yang diketahui umum berbuat dosa. Ia tidak berani menatap ke langit, sebagai sikap doa yang lazim (Ayb 16:20, Yes 8:21, Mrk 7:34, Luk 6:16). Ia hanya menundukkan kepala, menepuk dada karena menyadari dosa-dosanya. Ia memohon belas kasihan Tuhan. Aneh ya? 

Orang yang diketahui umum sebagai tokoh agama, pendoa yang saleh dan hidup baik malah tidak dibenarkan Tuhan. Ia tidak dibenarkan bukan karena ketokohan, kesalehan dan kebaikannya. Tidak! Tetapi karena ia meninggikan diri dan menghina yang lain. Sebagaimana orang berdoa demikian pula hidupnya, bukan? Siapa tahu, kita juga berlagak seperti itu? 09032013

Kasihilah Sesamamu!


Mrk 12:28-34

Soal kegiatan rohani, ibu itu rajin sekali. Misa harian, tak pernah absen. Tempat berlututnya pun sudah pasti, di depan patung Bunda Maria. Kalau tidak ada di tempat itu, berarti sakit, atau sedang bertugas ke luar kota. Maklum, anggota aktip Legio Maria. Kegiatan katekese umat atau ibadat di KUB, ibu yang satu ini jadi pelopor. Rajin sekali mengingatkan tetangga sebelum kegiatan dimulai. Tetapi kalau sudah ada di rumah, pembantu rumah tangga jadi salah tingkah. Tidak pernah ada yang benar. Lantai yang baru dingepel, dibilang masih kotor. Piring yang sudah di rak, katanya tidak rapih. Sementara kerja apa yang baru disuruh, sudah perintah lagi kerjakan yang lain. Tidak ada waktu istirahat. Entah sudah berapa pembantu rumah tangga yang tidak betah dan minggat. Suami sudah sering mengingatkan supaya jangan terlalu kasar terhadap pembantu rumah tangga. Bahkan ia sudah pernah menegur dengan keras: “Percuma mama rajin ke gereja dan ikut semua kegiatan rohani, kalau mama tetap berlaku kasar terhadap pembantu rumah tangga. Jangankan tips, istirahat sedikit pun, mama tidak pernah berikan. Pantas, kalau semuanya pada lari”.

Luar biasa jelinya bapa kita yang satu ini. Melihat hubungan yang erat antara kegiatan rohani dan perilaku terhadap orang kecil. Harus seimbang. Kalau tidak, maka percuma. Tepat sekali seperti yang dikatakan Yesus kepada seorang Farisi tentang hukum yang paling utama. Tidak hanya mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, akal budi, dan kekuatan. Tetapi harus juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (bdk Mrk 12:28-31). Dengan jawaban yang tepat itu, ya mau tanya apa lagi kepada Yesus. Ia memberikan pendasaran, yang sejak awal sudah diletakkan Allah: “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita” (Kej 1:26). Pria dan wanita sudah diciptakan menurut gambar-Nya sendiri, maka tidak mungkin kita hanya mengasihi Allah dan kasar atau tak adil terhadap sesama. Masih ingat apa yang dikatakan Yesus tentang hubungan yang tak terpisahkan ini? “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Membahagiakan, tapi serentak mengerikan sekali, bukan? 08032013

Wednesday, March 6, 2013

Jangan Ada Dusta di Antara Kita

Lukas 11:14-23

Saya teringat akan pesan akhir Menpangad (Menteri Panglima Angkatan Darat) Jendral Anumerta Ahmad Yani pada tgl 23 September 1965. Ada ceramah di Seminari Tinggi Ledalero. Saya masih frater. Beliau mengingatkan bahwa sekarang (waktu itu) Indonesia sedang dikepung musuh. Ada ketakutan Indonesia dicaplok Negara komunis. Pasukan Amerika, Inggris, dan Australia setiap saat bisa menyerbu Indonesia. Tetapi kita tidak usaha takut akan musuh dari luar. Kita bisa menghadapinya. Indonesia tidak akan menjadi komunis, kecuali lewat mayat kami. Yang harus kita takuti ialah bahaya subversip, musuh dalam selimut yang memecah belah kita. 

Seminggu kemudian, apa yang dicemaskan itu menjadi kenyataan. Semua jendral dalam rombongan itu dibantai secara sadis oleh kaum komunis, musuh dalam selimut. Itulah peristiwa berdarah 30 September. 

Pesan Jendral anumerta Ahmad Yani, merupakan gema dari kata-kata Yesus: “Setiap kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa dan setiap rumah tangga yang terpecah-pecah pasti runtuh (Luk 11:17). Ucapan ini merupakan tanggapan atas tuduhan, bahwa Ia mengusir setan dengan kuasa Beelzebul. Apa bisa ya, setan melawan setan? Mengapa tidak? 

Kata St. Petrus: “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-ngaum dan mencari orang yang dapat ditelannya” (1Ptr 5:8). Ingatkah bagaimana Mohammad Nazarudin yg terjerat kasus korupsi menuduh sesama kader PD sebagai koruptor? Tuduhan berangkai sedang mengguncang PD. Ketua umum sudah terjungkal dari kursinya. Siapa menyusul? 

Bahaya subversip bisa juga menyusup masuk paroki, lewat pertikaian antara sesama pastor. Umat pasti terkena getahnya, bukan? Tidak tertutup kemungkinan, subversi menerobos masuk juga ke rumah tangga, gara-gara hadirnya orang ketiga. Rumah tangga hancur. Anak-anak jadi rebutan antara suami isteri ala sinetron. Kasihan, bukan? Makanya, jangan ada dusta antara kita, karena dusta adalah jerat setan! 07032013

Tuesday, March 5, 2013

Melaksanakan Hukum Secara Murni


Yesus ini aneh-aneh saja. Banyak kali Ia bergaya akrobat dan nyerempet bahaya mati. Ia dikecam bahkan diancam untuk dibunuh orang Yahudi yang saleh. Soalnya apa lagi kalau bukan terkesan melanggar hukum Taurat. Sepertinya Ia tidak peduli dengan peraturan hari Sabat yang sangat ketat dijaga orang Yahudi (Mrk 3:6, Yoh 5:18, Mat 12:14, Luk 6:11).

Hari ini di atas bukit Sabda Bahagia, Yesus tampil beda. Ia seorang pelaksana hukum Taurat sejati. “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Mat 5: 17-18). Lalu bagaimana sebenarnya Yesus? Plin-plan? Kompromi untuk menyenangkan orang Yahudi supaya jangan dibunuh? Kalau begitu, ia bukan Tuhan penyelamat kita. Tuhan macam apa yang mencari selamatnya sendiri? Lalu nasib kita, siapa yang peduli?

Yesus sesungguhnya tidak pernah melanggar hukum Taurat. Yesus bukannya tidak tahu bahwa hukum adalah perwujudan kehendak Allah untuk menyelamatkan kita. Melaksanakan kehendak Allah, biar berat sekalipun sudah menjadi makan minum-Nya setiap hari (bdk.Yoh 4:34). Yesus menghendaki pelaksanaan hukum secara murni, radikal dan konsekwen demi keselamatan manusia. Bukan sebaliknya, manusia harus dikorbankan demi hukum (bdk Luk 6:9). Mudah sekali orang memanipulasi, sengaja salah menginterpretasi hukum dan perundang-undangan demi kepentingan pribadi atau golongan sendiri. peduli amat dg orang lain, apalagi yang kecil dan terpinggirkan. Bukankah ini yang sedang marak di tanah air kita? Yesus telah menunjuk jalan. Lalu bagaimana dengan kita yang mengaku diri pengikut-Nya? 06032013

Monday, March 4, 2013

Selalu Saling Mengampuni

Luarbiasa! Petrus mau mengampuni sampai tujuh kali. Patut diacungi jempol. Orang NTT? Hanya satu kali, bukan? “Kau…lagi satu kali…”

Petrus yang mau mengampuni sampai tujuh kali pun ditolak Yesus. Apalagi pengampunan ala NTT. “Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18:22). Apakah itu berarti sampai empat ratus sembilan puluh kali? Tentu tidak. Bukan soal hitungan angka. Tapi berulang-ulang kali. Atau setiap kali, kita harus memaafkan. Siapa tahan?

Apabila pacar atau pasangan hidup berulang kali tidak setia, seperti anjing mengulang bangkai misalnya, bukankah kita mengatakan, “Kesabaran saya ada batasnya”? Tidak tahu batasnya sampai di mana. Pengampunan bukan pernyataan setuju atas kesalahan, atau pembiaran dan tidak memberikan efek jerah. Sebaliknya, menyatakan kebesaran pribadi, yang mau mengangkat martabat orang yang telah jatuh. Tapi memang tidak gampang menjadi pengikut Kristus. Tuntutannya tidak main-main. “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Siapa bisa menyamai Bapa di sorga? Betapapun kita jatuh dan jatuh lagi ke dalam dosa, Bapa selalu mau mengampuni kita, kalau kita bertobat.

Hal yang sama seharusnya kita lakukan. Tetapi pengalaman menunjukkan lain sekali, bukan? Kita senang dan lega sesudah diampuni karena tak ada beban batin lagi. Tetapi terhadap sesama? Betapa sulitnya kita memberikan pengampunan. “Biar, supaya dia rasa!” Inilah kata-kata yang meluncur ke luar dari bibir kita. Dan berapa yang tetap hidup dalam dendam, biarpun sudah tahu bahwa dendam hanya merusak batin sendiri. Apakah inilah upah bagi orang yang tidak mau mengampuni sesama (bdk Mat 18:28-35)? 05032013