Sunday, June 30, 2013

Bangga menyandang nama Katolik di E-KTP?

Bapa itu duduk saja di depan pintu toko swalayan. Ia hanya menengadah melihat setiap orang yang masuk ke luar toko. Ternyata ia penyandang cacad. Tidak ada kaki seperti kita yang lain. Hanya tersembul sedikit saia. Itu pun sangat kecil seperti ujung kaki bayi. Ketika saya ke luar dari toko, ia menatap saya. Uang kembalian saya serahkan kepadanya. Ia tersenyum dan ucapkan terima kasih. Dalam perjalan saya bergulat dengan pikiran saya sendiri. Orang itu hidup hanya dari pengharapan. Mudah-mudahan ada yang berbelas kasihan. Itu bukan hanya sekali dua, tapi seumur hidup. Andai kata saya seperti dia, bagaimana ya? 

Keadaannya mirip Yesus dalam Mat 8:19-20. Seorang ahli Taurat mau mengikuti-Nya ke mana saja Ia pergi. Ahli Taurat adalah orang terpandang dan sudah mapan. Mau ikut Yesus? Mau cari apa lagi? Gila, kalau mau cari susah. Yesus berterus terang kepadanya: “Serigala mempunyai liang dan burung pun mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Mat 8:20). Miskin sekali bukan? Sejak meninggalkan Nazaret, Yesus menjadi pengembara. Ia berada di gunung, berlayar di danau, berada di pantai, masuk ke sinagoga dan rumah orang lalu berjalan lagi dari tempat ke tempat untuk mewartakan Kerajaan Allah. Memang benar Ia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala. Tidak jelas, apakah ahli Taurat itu nekad mengikuti Yesus atau tidak. Kalau dia mencari posisi yang lebih baik dan harta kekayaan, pasti salah alamat. Tapi kalau mencari Kerajaan Allah, maka yang lain-lain itu akan ditambahkan kepadanya (Mat 6:33). Kenyataannya dari dulu sampai sekarang orang tetap berbondong-bondong mengikuti Yesus. Ada yang mundur di tengah jalan sebab kecewa. Yang lain biar jatuh bangun tetap mengikuti-Nya. Ada pula yang sedang ragu-ragu. Yang lain lagi seperti Petrus dkk: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yoh 6:68). Tidak sedikit, yang karena Dia mengalami banyak kesulitan sebagai minoritas. Yang lain bahkan dianiaya sampai mati karena tetap berpegang pada-Nya. Lalu kita? Bangga sebab menyandang nama Katolik di E-KTP? 01072013

Saturday, June 29, 2013

Cinta yang Spesial, untuk Siapa?

Orang omong kasak-kusuk. Lebih baik jujur saja! Jangan sembunyi terus di balik jubah putih! Kita sudah muak! Kita malu juga! Orang bukan Katolik pun sudah tahu! Demikian bicara iseng antar umat tentang pastor yang ketahuan punya simpanan. Sangat laris, terutama di antara para ibu dalam arisan atau doa kelompok. Kasak kusuk itu berdampak juga. Pastor itu akhirnya menanggalkan jubah. Kini sudah jauh dari paroki. Hidup di daerah baru. Di balik pembicaraan itu tersirat rasa prihatin, cinta dan hormat terhadap panggilan suci. 

Bukan hanya umat. Tuhan sendiri pun menuntut yang sama. “Siapa saja yang mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada Aku, ia tidak layak bagi-Ku, dan siapa saja yang mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih daripada AKu, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:37). Lebih mengasihi orang tua atau anak kandung sendiri saja, sudah tidak layak bagi-Nya. Apalagi wanita simpanan, bukan? Hubungan dengan Yesus harus mendapat prioritas utama. Dituntut ketetapan hati dan kebulatan tekad untuk mengikuti Yesus, di saat terjadi konflik kepentingan. Mengikuti Yesus bukan tanpa resiko dan penderitaan. Sebaliknya, ukuran kita menjadi pengikut setia-Nya justru terletak dalam cinta dan kesediaan memanggul salib. Bukan pada jabatan atau status apa pun. Yang itu mudah disalahgunakan untuk kesenangan sendiri, bukan? Hal ini tidak hanya berlaku untuk kaum berjubah, tapi juga yang berumah tangga. Kaum berjubah harus mencintai semua. Tidak boleh menaruh cinta khusus pada seorang saja. Sebaliknya, yang berumah tangga harus punya cinta spesial hanya pada seorang seumur hidup. Tidak boleh lagi di luar dari itu. Dua-duanya memang tidak gampang. Itulah salib yang harus dipikul para pengikut Yesus supaya selamat. “Siapa saja yang tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku (Mat 10:38). Masih mau coba? 30062013

Si Batu Karang: Petrus

Hiruk pikuk kampanye sudah selesai. Pemenang sudah jelas. Tugas ke depan ialah bagaimana mengatur barisan pimpinan. Pasti ada wajah baru. Yang berseberangan dalam kampanye, tidak “dipakai” lagi, sebab tidak loyal. Itu terjadi di mana-mana. Alasan yang biasanya dilontarkan tentu bukan itu. Bukan juga sebaliknya, ialah balas jasa. Yang biasa terdengar ialah pernyataan basa-basi. Demi efektifitas pemerintahan. Tujuannya ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi semua orang tahu. Ada unsur balas dendam. Lawan politik biasanya diberi tempat “terhormat” dalam kumpulan staf ahli. 

Kenyataan ini berbeda sekali dengan Mat 16:13-19. Petrus mengakui Yesus bukan sebagai salah seorang nabi besar, seperti kata orang. Tapi “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup” (Mat 16: 16). Spontan saja Yesus menyampaikan proficiat kepada Petrus: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus” (16:17). Alasannya bukan terletak pada jawabannya yang tepat. Tapi Bapalah yang menyatakan itu kepadanya. Lalu menyusullah pengakuan Yesus terhadap Simon. “Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus” (batu karang). Tidak hanya sebuah pengakuan kosong. Tapi disusul dengan sebuah janjii: “dan di atas batu karang ini AKu akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18). Tidak hanya itu. Yesus menjanjikan juga penyerahan kunci Kerajaan, dengan kuasa untuk mengikat dan melepaskan, yang berlaku juga bagi Allah. 

Kepercayaan luarbiasa besar, bukan? Tapi apa yang terjadi belakangan? Tidak akan terhapus dari catatan Kitab Suci. Si batu karang ternyata goyang juga. Tiga kali Petrus menyangkal mengenal Yesus yang begitu percaya kepadanya. Tragisnya dijatuhkan pertama kali oleh seorang hamba wanita, di saat Yesus begitu menderita. Beginikah Petrus yang diandalkan itu? Apa jadinya dengan jemaat yang didirikan di atasnya? Yesus harus merevisinya. Itu menurut kita. Ternyata tidak. Yesus memang tahu kelemahan itu. Ia tidak tinggal diam. “Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu’ (Luk 22:32). Terbukti ‘kan? Selanjutnya Petrus tampil gagah perkasa dalam kotbah pada hari Pentekosta. Tiga ribuan orang bertobat dan minta dibaptis (Kis 2:14-42). Selanjutnya ia mati disalib demi Tuhannya, dengan kepala ke bawah. Tuhan percaya bukan hanya kepada Petrus. Tapi juga kepada kita masing-masing dengan keunikannya. Tidak terpikir untuk menariknya kembali, ketika kita jatuh. Kesempatan untuk bangkit kembali tetap diberikan-Nya. Lalu bagaimana dengan kita? 29062013

Thursday, June 27, 2013

Beranikah Kita Mendekati dan Menjamah DIA?

Saya melayani sebuah stasi di pedalaman. Pernah saya omong-omong dengan ketua stasi tentang keadaan umat. Ia berceritera apa adanya. Ia menyesal. Ibu yang dulu jadi koster, sudah setahun ini tidak lagi ke gereja. Itu terjadi sejak suaminya meninggal. Pada hal dia rajin sekali dan tertib. Dia juga yang latih putra-putri altar. Kedua anaknya masih ke gereja. Sesudah perayaan Ekaristi saya mengunjunginya. Dia terkejut sebab tidak mengira sama sekali. Jelas terlihat dia belum mandi juga. Sementara omong-omong, anak nonanya berbicara dalam bahasa daerah. Saya tidak mengerti. Ternyata anaknya menegur dia. Masa, omong dengan pastor dalam keadaan seperti itu. Rasanya tidak layak. 

Yang dialami Yesus dalam Mat 8:1-4 jauh lebih hebat. Seorang kusta menemui-Nya. Pada hal yang mengidap kusta adalah najis. Harus dihindari oleh setiap umat. Apalagi memasuki wilayah kudus seperti Bait Allah. Mereka dikucilkan dari pergaulan orang Israel. Tetapi orang kusta yang satu ini sangat berani . Ia tidak hanya memasuki wilayah kudus. Tapi ia langsung mendekati Yang “kudus Anak Allah” (Luk 1:35). Tidak hanya itu. ia mengajukan sebuah permohonan yang sederhana. “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku” (Mat 8: 2). Tidak bertele-tele. Reaksi Yesus? Seketika itu juga, “Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: Aku mau, jadilah engkau tahir” (Mat 8:3). Luar biasa bukan? Yesus tidak sok suci seperti semua orang Israel yang menghindari orang kusta. Ia tidak hanya rela didekati, tapi Ia mengulurkan tangan-Nya dan menjamah si najis itu. Sesungguhnya kita juga adalah penderita kusta rohani. Kita adalah orang-orang berdosa. Tak ada seorang pun yang suci murni. ada yang dosanya diketahui umum. ada juga yang tertutup rapih. tapi Tuhan tahu semuanya. Beranikah kita seperti si kusta dalam Injil ini untuk mendekati Yesus dan memohon yang sama? Ataukah kita justru menghidari Sakramen Pengakuan dengan berbagai alasan? 28062013

Berpenampilan Ganda

Coba perhatikan! Kalau perayaan akbar, Natal atau Paskah, yang paling sibuk adalah seksi liturgi. Doa-doa diketik kembali dan diperbanyak. Biaya berapa saja tidak soal. Nanti umat beli dan uang masuk lagi. Lalu koor? Tidak usah tanya lagi. Latihan koor digenjot. Tidak ada yang mengeluh. Seragam disiapkan. Itu kan soal penampilan. Pada hari H memang luar biasa. Lagu-lagu yang dinyanyikan sungguh-sungguh menghantar kita masuk dalam suasana perayaan suci. Begitu bersemangat sehingga mau tidak mau mengundang aplaus. Orang yang sudah lama tidak ke gereja pun pasti muncul juga. Paling kurang bisa komuni setahun sekali. Tapi apa kata Tuhan tentang semuanya itu? 

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat 7:21a). Mengapa? Kita kan berpenampilan ganda. Di dalam gereja alimnya bukan main. Mulut kita penuh dengan nama Tuhan dalam doa yang khusuk dan nyanyian yang merdu. Kita mohon “Tuhan kasihanilah kami”. Tapi di luar gereja? Sedikit pun kita tidak kasih hati kepada pembantu rumah tangga atau orang kecil lainnya. Jangankan pujian, terima kasih saja tidak. Apalagi tips hari raya? Kita bermadah memuliakan Allah dalam lagu yang gegap gempita. Tapi sesudah itu, kita kembali ke kubangan lumpur dosa yang itu-itu juga: mabuk-mabukan, judi, korupsi atau selingkuh. Kita makan sehidangan dengan Dia dalam komuni kudus. Di luar gereja? Kita sulit berbagi dengan orang yang berkekurangan. Mungkin kita malah berlaku tidak adil dengan menggelapkan hak-haknya. Apalagi sedang hangat-hangatnya BLSM sekarang ini. Singkatnya, kita tidak melakukan kehendak Bapa di surga. Semua doa dan lagu pujian dalam perayaan, sama sekali tidak dapat menjadi alasan bagi kita untuk claim: “Tuhan, Tuhan, bukankah kami selalu berdoa, terima sakramen-sakramen, ikut katekese dan aktip terlibat dalam kegiatan di KUB dan di paroki? Hampir pasti kita akan mendengar Dia berkata: “Aku tidak pernah mengenal kamu, enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat durjana” (Mat 7:23). Lalu, mau demo Tuhan? Cobalah, kalau berani! 27062913

Tuesday, June 25, 2013

Mengabdi Kepada Dua Tuan?

Sesudah pembinaan di instansi itu beberapa orang PNS menemui saya. Yang Romo omong tadi benar. Tapi kami juga harus menjaga piring nasi kami, Romo. Salah-salah kami bia dipecat, jika tidak loyal. Benar, kata saya. Kita harus loyal. Selama kita loyal pada kebenaran, kita tidak akan dipersalahkan. Demikian saya tandaskan lagi. Sebaliknya jika kita turut bekerja sama untuk menggoalkan suatu kecurangan yang merugikan kepentingan umum, kita tidak akan selamat. Secara ekonomis kita mungkin beruntung. Tapi sesungguhnya kita akan terus-menerus diusik dan digugat hati nurani kita. Kita tetap merasa bersalah dan tidak tentram. Masa, sebagian besar uang proyek dipakai untuk pernikahan anak Kepala Dinas. Proyek sendiri mendapat jatah tidak sampai separuh dana. Selebihnya menjadi uang tutup mulut para pegawai. Lalu kamu membuat kwitansi fiktip, sebagai alat bukti penyaluran uang proyek. Bagaimana mungkin kamu dapat menjadi saksi iman di instansi ini kalau kamu menutup mulut? Romo, omong tentang iman itu nanti di gereja saja. 

Benarlah apa yang dikatakan dalam Mat 6:24: “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat sekaligus mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon”. Yesus memberikan peringatan dini akan bahaya kebutaan nurani yang dapat menyesatkan kita. Pada hal hati kita adalah tempat nilai-nilai luhur, bukan? Tetapi mata hati kita dapat dibutakan oleh mulut manis si lidah buaya, harta dan uang. Bila diombang-ambing oleh bujuk rayuan dan tergiur oleh mumpung ada kesempatan, maka kita goyah dan jatuh. Kita harus memilih antara taat kepada Allah yang mencintai kita atau mendewakan uang dan harta. Uang dan harta menjanjikan kebahagiaan dan keamanan di masa depan, tapi merampok kekayaan kita sekarang ini, bukan? Tidak percaya? Demi mengejar uang kita tak dapat hidup jujur dan bebas. Kita merusak perkembangan pribadi dan kehidupan keluarga. Kita tak berkutik di depan kejahatan dan dusta. Mana mungkin kita mau mengenal sesama yang menderita, sementara kita menjilat penguasa? Lalu Tuhan yang sabar dan setia mencari kita yang sedang tersesat mau diapakan, ya? 22062013

Menyangkal diri, Memikul Salib dan Mengikuti Aku

“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Itulah salah satu warisan kebijaksanaan leluhur kita. Peninggalan kuno, tapi tetap luhur. Tidak akan luntur. Maksudnya jelas sekali. Tak ada jalan tol menuju kebahagiaan sejati. Harus dicapai dengan jerih payah. Perlu perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit. 

Hal yang sama juga disampaikan Yesus kepada kita dalam Luk 9:18-26. Mula-mula Ia bertanya kepada para murid, apa kata orang banyak. Siapakah Dia? Semua orang sepakat. Yesus itu Yohanes Pembaptis, atau Elia, pokoknya jelmaan salah seorang nabi besar dari zaman dahulu. Itu kata orang. Lalu apa kata para murid? Seperti biasa, Petrus angkat bicara, mewakili rekan-rekannya, “Mesias dari Allah” (Luk 9:20). Dalam tradisi kepercayaan orang Yahudi, Mesias adalah orang yang diurapi, yakni raja dan imam. Ia menjadi juruselamat bangsanya. Yesus melarang keras para murid-Nya. Tidak boleh menyampaikannya kepada siapa pun. Lalu Ia sendiri menyatakan jati diri-Nya. “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga” (Luk 9:22). Suatu pernyataan yang sama sekali tidak bijaksana dalam rangka menjaring banyak pengikut, bukan? 

Siapa mau mengikuti pemimpin yang konyol begini? Tapi itulah jati diri-Nya. Ia tidak bisa menyangkal diri-Nya sendiri. Ia bukan penjual obat yang berbual supaya cepat laku. Belum cukup. Ia berkata kepada semua orang: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, harus menyangkal dirinya, mengikut salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9: 23). Mengikut Dia? Untuk apa kalau hanya menanggung beban penderitaan? Kecenderungan kita ialah mencari kebahagiaan. Kalau ada jalan pintas, mengapa tidak? Bukan memikul beban hidup setiap hari. Tapi apa kata-Nya tentang kebahagiaan yang kita kejar? “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?” (Luk 9:25) Bukankah inilah kebenaran yang kita saksikan setiap hari? Para koruptor, yang ngebut di jalan tol kebahagiaan akhirnya terjerumus di jurang kehancuran. Semua harta kekayaan disita, rahasia pribadi seperti kawan selingkuhan, yang kecipratan uang haram, dibongkar. Benarkan firman dalam Luk 9:25? Lalu kita? 23062013

Apakah Kita Percaya?

Masa penantian kami seperti tak berujung. Mohon doakan kami dalam perayaan Ekaristi berulang kali, Romo. Sudah diperiksa banyak ahli kandungan dan berobat ke banyak dokter. Sudah pakai juga ramuan tradisional. Pergi ke orang pintar dari satu tempat ke tempat yang lain. Pancing dengan angkat anak. Semua usaha tidak berhasil. Akhirnya kami pasrah saja. Rupanya ini menjadi salib keluarga kami, Romo. Begitulah ceritera suami isteri yang tak dikarunia anak dalam pernikahannya itu. Tapi masih jelas terasa ada kerinduan yang besar untuk mendapatkan anak dari rahim sendiri. 

Pengalaman ini mirip dengan Zakaria dan Elisabet, bukan? Berbagai usaha dan daya upaya tentu sudah ditempu. Tak berhasil juga. Keduanya sudah lanjut usia. Sudah tidak ada harapan lagi. Tetapi justru pada saat itu datang malaekat Tuhan. Ia berbicara dengan sangat pasti. Zakaria dan isterinya dikaruniai seorang anak laki-laki. Tapi Zakaria tidak percaya. “Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal itu akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya” (Luk 1:18). Akibatnya ia menjadi bisu sampai anak itu lahir. Untuk memastikan nama anaknya pun dia harus menulisnya pada sebuah batu tulis (bdk Luk 1:63). Kebesaran Tuhan memang tak dapat ditangkap seluruhnya oleh daya nalar kita. Ada banyak peristiwa serupa terjadi di sekitar kita. Tetapi kita tak dapat mengerti, bukan? Tidak cocok dengan analisa ilmiah, biarpun dibantu dengan IT sekalipun. Tapi tak bisa disangkal. Sudah terjadi dan semua orang tahu itu. Kenyataan ini seharusnya membuka ruang untuk iman kepercayaan kita akan Allah. Persoalannya, apakah kita percaya? 24062013

Ada Racun di Ekor!

Cave cane in cauda! Demikian kata salah satu peribahasa Latin. Hati-hati, ada racun di ekor. Suatu peringatan yang bagus dalam pergaulan. Mulut manis, murah senyum, pamer kemegahan, mungkin pencitraan yang ada maunya. Hal ini ada di mana-mana: politik, medis, bahkan menyusup sampai ke dalam hidup beriman. 

Ingat apa yang dikatakan Yesus dalam Mat 7:15-20. Antara lain Yesus berkata: “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas” (Mat 7:15). Bahaya terselubung, bukan? Maka Yesus menambahkan: “Dari buahnyalah kalian akan mengenal mereka” (Mat 7:16). Kita tahu buah-buah iman yakni perilaku dan perbuatan baik seperti: cinta kasih, jujur, suka damai, setia kawan, murah hati dan suka membantu tanpa pamrih. Di sinilah terletak kekuatan hidup beriman. Bukan pada gedung gereja yang megah dan ornamen yang mewah. Apalagi kalau dibangun dengan menghitung-hitung andil dan jasa. Itu hanyalah pameran kemegahan tanpa gizi iman. Demikian juga dalam hal berdoa. Bukan mendekatkan diri pada Tuhan, tapi utuk menuai keuntungan. Lihat saja doa penyembuhan. Pendoa berlagak penuh mistik. Doa musti di tengah malam. Seakan-akan hanya pada waktu itulah Tuhan ditemukan. Ujung-unjungnya adalah uang, bukan? Dengan naiknya BBM, tarifnya pun mungkin ikut didongrak. Siapa tahu? 26062013

Mulutmu harimaumu

Mulutmu adalah harimaumu. Ada yang mengatakan buaya. Harimau atau buaya sama saja. Maksudnya jelas. Suatu peringatan dini, agar berhati-hati dengan tutur kata kita. Bisa-bisa menjadi kontra produktip. Malah jadi bumerang. Ingat kampanye di tahun 2009, bukan? Semua yang berkampanye beramai-ramai mengambil hati pemilih. Ada yang berteriak, “Katakan tidak pada korupsi”! Apa jadinya? Korupsi jualah yang menjebloskannya ke dalam penjara. Benarkan, mulutmu adalah harimaumu? 

Dalam Mat 7: 6, Yesus pun memperingatkan para pengikut-Nya: “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu”. Para pengikut, khususnya yang berada di tengah musuh umat Tuhan, jangan mengobral kata-kata mutiara keselamatan. Kita perlu belajar dari pengalaman Rasul Paulus di Areopagus (Kis 17:29-34). Gaya bicaranya sangat memikat pendengar. Ia berbicara tentang apa yang mereka sembah, tanpa mengenalnya. Dialah Allah, pencipta langit dan bumi. Ia tidak berdiam dalam kuil dan dilayani manusia. Pendengar sangat entusias. Tapi ketika ia menampilkan kebenaran bahwa Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, apa reaksi orang Areopagus? Ada yang mengejeknya. Yang lain meninggalkannya. “Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu” (Kis 17:32). Biarlah sedikit benih kesaksian yang ditaburkan. Ia akan bertumbuh perlahan-lahan. Pasti menjadi pohon yang besar dan rindang. Seperti biji sesawi (Mat 13:31-32), bukan? Tapi jangan karena takut, lalu membenamkan benih itu di hati sendiri (bdk Mat 25:18). Kita pun harus menjadi saksi (bdk Kis 1:8), bukan? 25062013

Friday, June 21, 2013

TUHAN tidak buta

Tadi menjelang malam, saya sedang menyiapkan renungan untuk besok. Pintu kamar saya diketok. Saya teriak: masuk! Pintu tidak dibuka. O…pasti tamu. Bukan frater. Kalau frater tentu sudah buka pintu. Saya bangun dan buka pintu. Ternyata mantan siswa saya di PGA dengan isterinya. Sekarang ia berkarya sebagai guru agama di pedalaman. Jauh dari Kupang. Ia membawa berita musibah. Kost anaknya terbakar. Anaknya dkk luput hanya dengan pakaian di badan. Ia datang untuk meminta bantuan. Saya membantu sejauh kemampuan saya. Segera saya hubungi kenalan di kantor Walikota. Syukur, ada jalan ke luar. Perlu laporan dari Pak Lurah maka bantuan bisa disalurkan. Dia ucapkan terima kasih dan masih sempat berkomentar. Betul e Romo kata Tuhan: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu, carilah, maka kamu akan mendapat, ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7). Saya katakan, orang yang tidak peduli akan Tuhan pun, tetap dikasihi Tuhan. Apalagi orang yang setia mengabdi kepadanya. Tuhan tidak buta. Ia tidak pernah terlambat untuk menyalurkan bantuan. Ia bersabda: “Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya” (Mat 6:8). Selanjutnya Ia mengajarkan doa yang indah dan sarat makna: Bapa kami. Semua yang kita butuhkan sudah tercakup di dalamnya. Sayangnya, kita biasa mendaraskannya terburu-buru, karena sudah dihafal. Mulut kita menyapa, Bapa kami…tapi hati dan pikiran kita jauh dari pada-Nya. Benarlah nubuat nabi Yesaya: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku” (Yes 29:13). Doa kita kehilangan makna. Itu selagi kita dalam keadaan baik. Tapi ketika mengalami musibah, barulah kita berdoa dengan kusuk, tutup mata, dan memaksakan keinginan kita kepada Bapa. Bukan “jadilah kehendak-Mu” (Mat 6:10) tetapi terjadi menurut apa yang kita harapkan dan butuhkan sekarang. Kita memaksa Bapa mengabulkan apa yang kita minta. Beginikah sepantasnya sikap anak kesayangan Bapa? 20062013

Semakin diminum, Semakin Haus

Belasan tahun sudah lewat. Waktu itu ia sedang di puncak kejayaan. Jadi kepala dinas di lingkungan Pemda Propinsi. Usianya masih terhitung muda. Di sore itu, ketika saya berkunjung, ia sedang memberi petunjuk kepada tukang. Mereka sedang memperluas rumah pribadinya. Pada hal rumah itu sudah lumayan luas. Katanya agar nyaman bagi anak-anak yang membawa teman-temannya ke rumah. Dari rekan-rekan kerjanya saya tahu bahwa ia juga sudah membangun empat buah rumah untuk keempat puteranya. Beberapa minggu lalu saya mengunjunginya lagi. Rumah yang luas itu sekarang seperti tak bertuan. Sunyi sekali. Ternyata bapa itu sudah stroke. Jalannya sudah susah. Harus dipapah. Saya terkejut melihat keadaannya. Semua anaknya kuliah di Jawa. Sekarang sudah dapat kerja. Tiga di antaranya sudah berkeluarga. Anak yang keempat kerja di perkebunan sawit di Kalimantan. Tidak ada berita sejak perpindahannya ke Kalimantan. 

Membaca dan menyimak firman Tuhan dalam Mat 6: 19-20. “Janganlah kamu mengumpul harta di bumi: di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar dan mencurinya” saya teringat akan bapa itu. Apa gunanya punya rumah mewah yang luas tapi terasing dalam kesepian? Lalu bagaimana dengan rumah untuk anak-anak itu? Siapa yang tinggal? Mubasir. Hanya membuang-buang uang saja. Uang dan harta kekayaan dianugerahkan Tuhan untuk mendukung hidup yang layak. Tapi dapat juga disalah-gunakan. Bukankah itulah yang tengah dipertontonkan para koruptor dan penimbun kekayaan? Sama seperti minum air laut. Makin diminum makin haus. Selagi kehausan, kita akan mati rasa setia kawan terhadap sesama yang menderita. Lalu di manakah kepedulian sosial kita? Jika demikian maka sulitlah bagi kita untuk mengumpulkan harta di surga, bukan? 21062013

Meluangkan Waktu Terbaik untuk Berdoa

Masih ingat Abdurakhman Wahid, bukan? Ia lebih akrab disapa Gus Dur. Presiden keempat Indonesia. Umat beragama mengenang dan menghormatinya lebih sebagai bapa dan pejuang pluralisme. Dalam konflik dan kekerasan agama, ia selalu tampil dan pasang badan untuk membela kaum minoritas. Bicaranya ceplas-ceplos dan bernada humor. Ia pernah berucap, Tuhannya orang Nasrani sangat dekat. Hanya dengan berbisik saja Tuhan sudah mendengar. Tapi Tuhannya orang Islam sangat jauh. Perlu bantuan toa supaya Tuhan bisa dengar. sebuah guyonan berisi sentilan dan sindiran halus. 

Hampir sama dengan peringatan Yesus kepada para pengikut-Nya. “Apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat 6:5-6). Apakah terpengaruh nas ini maka imam dan biarawan-biarawati kelihatannya tidak berdoa lagi? Seorang kakek dari tahun tigapuluhan pernah bernostalgia. Katanya, Romo, mengapa kamu para imam, bruder, suster sekarang tidak seperti yang dulu-dulu? Kalau dulu, sore-sore mereka berjalan sekitar pastoran sambil berdoa rosario atau brevir. Sekarang, sibuk terus. Kamu berdoakah tidak? Saya katakan, ah bapa, berdoa itu tidak perlu diketahui orang. Dia tidak hilang akal. Ya, dilihat saja tidak, apa lagi tidak dilihat. Mungkin kakek ini benar. Tentu bukan semuanya begitu. Tapi tidak tertutup kemungkinan, kesibukan menyita seluruh perhatian dan waktu kita. Yang tersisa ialah kelelahan. Bagaimana mungkin kita bisa berdoa ketika sudah lelah? Betul, nilai doa tapi dalam sikap batin yang berbasiskan iman dan cinta akan Allah. Bukan dalam banyaknya kata-kata yang diucapkan,. Tapi mampukah kita berkonsentrasi dalam doa kepada Bapa selagi kita sudah kelelahan? Sebaiknya kita meluangkan waktu terbaik ketika kita masih segar untuk berdoa kepada Bapa. Sebab pantaskah kita berikan sisa waktu dan perhatian kepada Tuhan? 19062013

Bukan Orang Kita

Menjelang Pilkada beredar kampanye gelap lewat sms. Pilih dia sebab dia ‘orang kita’. Maksudnya orang sesuku atau seagama. Sms ini berasal dari orang yang tidak hanya kurang pendidikan tapi juga dari orang yang berpendidikan tinggi. Heran, pilih bukan karena orangnya bersih, programnya bagus dan pro rakyat. Tapi bisa dipahami. Isu suku atau agama sangat efektip untuk menyulut emosi massa, demi kemenangan. Selama berada di NTT, kita memilah-milah ‘orang kita’ berdasarkan suku atau agama. Tapi di luar NTT, ‘orang kita’ adalah orang Flobamora. Tidak peduli suku atau agama apa. Bukankah lagu Flobamora yang dinyanyikan di luar NTT sangat menyentuh emosi siapa saja yang berasal dari Flores, Sumba, Timor dan Alor, Sabu dan Rote? Tapi isu kampanye ‘orang kita’, memecah belah dan memporak porandakan persatuan itu. 

Bukan hanya di NTT. Di mana saja terjadi hal yang serupa. Lihat saja dalam Mat 5:43. Yesus bersabda: “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu”. Bagi orang Yahudi, sesama manusia adalah orang yang berdarah daging dan beragama Yahudi. Di luar itu, bukan lagi sesama manusia, bahkan menjadi ancaman. Maka tidak patut dikasihi seperti sesama Yahudi (bdk Ul 7:2). Rada sama dengan ‘orang kita, bukan? Tetapi apa kata Yesus? “Tetapi AKu berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat 5:44-45). Bapa tidak tebang pilih, bukan? Allah mencintai semua kita yang berbeda suku, agama, mayoritas atau minoritas. Kebaikan dan kemurahan-Nya berlimpah ruah untuk siapa saja. Maka seharusnya kita meneladani kasih-Nya ini. Tapi kenyataannya? Anak sendiri saja, masih ada ‘anak papa’ atau ‘anak mama’. Pelayanan kita pun tidak luput dari pilih kasih. Kita perlu membereskan hati kita. Jika tidak maka perbedaan menjadi ancaman yang tak berkesudahan antara anak-anak Allah. Pada hal kita harus berarak di jalan menuju kesempurnaan Bapa, bukan? 18062013

Sunday, June 16, 2013

Aksi Tanpa Kekerasan

Kami sedang duduk-duduk di pendopo. Suasana santai dan gembira. Hari ulang tahun katekis. Ada hidangan makan minum ringan. Tidak lama anaknya pulang dari sekolah sambil menangis. Dari seragamnya, dia SD. Dari usianya, mungkin di kelas dua atau tiga. Bapanya bangun dari tempat duduk. Mengapa menangis, Veky? Dedy pukul saya, katanya melapor. Dedy itu laki-laki atau perempuan? Laki-laki. Ah, Veky juga laki-laki to? Mengapa takut? Dia pukul pakai apa? Tangan. Veky juga ada tangan. Mengapa tidak balas? Sama-sama laki-laki, sama-sama punya tangan. Lain kali, tidak usaha takut. Begitulah kata suami ibu katekis itu. Mungkin mau menanam semangat juang dalam diri anak. Tapi nadanya provokatip dan berbenih kekerasan, bukan? 

Apa kata Yesus tentang ajaran yang sama? “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu, janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berikan juga kepadanya pipi kirimu” (Mat 5:38-39). Jauh bedanya dengan ajaran suami katekis kepada anaknya Veky, bukan? Yesus mengajarkan para murid-Nya aksi tanpa kekerasan, non violence. Suatu ajaran yang bertentangan dengan budaya gigi ganti gigi. Bukankah naluri ini tersimpan rapih dalam hati kita juga? Ia baru muncul spontan tak terkendali pada saat yang tepat. Lihat saja aksi tawuran anak muda di jalanan. Hal yang sangat merisaukan dan memprihatinkan. Bukankah mereka adalah calon pemimpin bangsa kita? Pemimpin yang naik takhta dengan kekerasan hari ini, besok akan menuai kekerasan untuk mencopotnya. Aksi kekerasan timbal balik, gigi ganti gigi, tak mungkin menciptakan keadilan dan perdamaian. Sebaliknya pemimpin yang menggalang aksi perlawanan tanpa kekerasan akan dikenang dan dihormati oleh siapa pun sepanjang masa. Sebut saja Mahatma Gandi, Martin Luther, Jr dan Nelson Mandela yang telah diinspirasi dan dimotivasi firman: “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berikan juga kepadanya pipi kirimu” (Mat 5:39). Ternyata bisa, bukan? Mengapa anak cucu kita tidak disiapkan untuk mewarisi non violence, ajaran dan aksi tanpa kekerasan? 17062013

Saturday, June 15, 2013

Sadari Keberdosaan Kita!

Ia tahu saya pulang kampung. Sore itu dia datang sambil menggendong seorang anak kecil. Dalam hati, saya berkata, pasti ini anaknya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia meletakkan anak itu di pangkuan saya. Lalu ia duduk di lantai. Ia menangis dan memeluk kaki saya. Dia sadar telah mengecewakan saya. Sambil menangis ia berkata, kalau bapa marah terhadap saya, sudahlah itu nasib saya. Tapi bapa jangan marah anak tak berdosa ini. inilah cucumu, bapa. Saya ini anak durhaka. Tidak dengarkan bapa. Tanpa sadar air mata menetes di pipiku. Dia ini adalah ponakan saya. Belum lama diwisuda. Tahu-tahu kembali berhubungan dengan pacar lama, kawan sekolah di SMP. Pekerjaannya tak menentu. Bertani, tidak. Bertukang pun tidak. Lalu bagaimana dengan rumah tangganya? Saya menginginkan kebahagiaan keluarganya. Tapi mungkin hidup bersama dengan pilihannya inilah yang membahagiakannya. Saya berusaha menghiburnya. Semoga dia berbahagia bersama anak dan suaminya. Dia bukan berhenti menangis, tapi tangisnya malah makin menjadi-jadi. Saya biarkan dia menangis selama beberapa saat sampai akhirnya berhenti. 

Sadar akan kedurhakaan dan dosa itu menjadi adegan mengharukan dalam Luk 7:36-50. Seorang wanita terkenal berdosa kelas berat mendatangi Yesus. Ia sadar sekali akan dosanya. Ia pun tahu Tuhan sangat baik. “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8). Ia pasti mengampuni dosanya yang begitu banyak. Bukankah Ia bersabda: “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju” (Yes 1:18). Sementara dia sendiri? Kesadaran akan kebaikan dan pengampunan Tuhan telah mendorongnya untuk berbuat apa saja yang terbaik. Tidak peduli apa kata orang. Ia menangis di depan banyak orang. Air matanya membasahi kaki Yesus. Tanpa malu ia menyeka kaki Yesus dengan rambutnya. Ia juga tidak hitung untung rugi. Ia menyirami kaki Yesus dengan minyak yang paling harum dan paling mahal. Lalu ia menciumnya berulang-ulang. Ia sadar akan malangnya keadaan berdosa dan besarnya cinta serta kebaikan Tuhan. la terdorong untuk bangkit kembali. Ia menempuh hidup baru dan berbuat kasih tanpa hitung untung rugi. Kalau dia bisa, mengapa kita tidak? 16062013

Friday, June 14, 2013

Jika Ya, Katakan Ya!

Kapal baru saja sandar di pelabuhan. Calon penumpang, pengantar, penjemput dan buruh pelabuhan sudah berdesakan di gerbang masuk pelabuhan. Sudah tidak sabar lagi. Maklum, sudah lama menunggu. Empat orang polisi berjaga di muka gerbang. Di tengah orang yang berdesakan itu, seorang bapa mendekati saya. Rambutnya sudah ubanan. Gayanya seperti sudah lama berkenalan. Oh, ini orang saya, katanya. Tapi orang-orang yang mengenalnya, segera bereaksi. Ada yang mengatakan, hati-hati Romo, itu penipu. Jangan percaya. Yang lain berteriak, jaga, lidah buaya itu. Yang lain lagi marah. He, kalau mau tipu, tipu saja orang lain. Itu Romo. Kau kira itu sembarang orang barangkali! Pada halnya ia belum sempat mengatakan apa maunya. Begitulah nasib orang yang terkenal sebagai penipu. Ke mana-mana orang tak percaya. 

Dalam Mat 5:33-37, Yesus memperingatkan para pengikut-Nya, jangan pernah bersumpah. “Jika ya, hendaknya kamu katakan ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat 5:37). Kata yang diucapkan haruslah sesuai dengan kenyataan. Itu berarti cocok dengan niat di hati. Tidak tipu, bukan? Sebab itu jangan obral senyum untuk menyembunyikan niat yang jahat. Tidak perlu bersilat lidah atau mencari-cari celah hukum untuk membela kebohongan. Tuhan tahu semuanya. Lalu bagaimana dengan kita? Kita berusaha meyakinkan orang tentang kebenaran dan kesungguhan kita. Untuk lebih meyakinkan lagi, kita berani mengangkat sumpah. Kita memanggil Tuhan menjadi saksi waktu pelantikan menjadi pejabat publik, atau sebelum menjadi saksi di pengadilan. Kita pun bersumpah setia di depan altar sebagai imam, biarawan-biarawati atau suami isteri. Suatu tindakan yang sangat berani, bukan? Selanjutnya, Tuhan masih tetap menjadi saksi sepanjang hidup, entah kita setia atau tidak pada janji dan sumpah kita. Tuhan tentu memaafkan kita bila kita jatuh. Tapi masyarakat luas? Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Makanya, benahi hati supaya selalu ke luar yang murni dan tulus. Kuatkan kehendak agar menolak kebohongan dalam perkataan dan perbuatan kita. Tiap kata dan perbuatan harus dipertanggung jawabkan, bukan? 15062013

Thursday, June 13, 2013

KuasaNya melebihi Hukum Taurat

Omongannya kedengaran hebat. Ia senang mengutip pendapat para ahli. Apa kata tokoh-tokoh terkenal, khususnya di lingkaran kekuasaan, mengalir lancar dari mulutnya. Terkesan sekali dibuat-buat untuk menambah wibawanya. Tapi sesungguhnya kasihan! Jati dirinya hilang di balik kebesaran orang yang dikutipnya. Pendapatnya sendiri? Hampir tidak ada, selain kompilasi pendapat orang. 

Sangat jauh bedanya dengan apa yang kita dengar dalam Mat 5: 27-32. Yesus tidak hanya mengutip apa yang dikatakan hukum Taurat. Telah difirmankan atau kamu telah mendengar…….. tetapi Aku berkata kepadamu …….. Kentara sekali kewibawaan Yesus. Tidak seperti para ahli Taurat. Mereka bersandar pada kewibawaan Taurat secara harafiah. Semua orang tahu. Apa yang dikatakan Taurat harus ditaati. Jika tidak, harus menghadapi hukuman berat. Bisa-bisa dirajam dengan batu sampai mati. Ingat saja wanita yang kedapatan berzina. Yesus memang bukan ahli Taurat. Tapi Ia juga bukan buta Taurat. Ia menghadapkan Taurat dengan kuasa-Nya sendiri. “Kamu telah mendengar…tetapi Aku berkata kepadamu… Dengan berwibawa sekali Ia menunjukkan siapa Dia di hadapan Taurat. Ia memiliki kuasa yang melebihi Taurat. Ia mempertentangkan arti harafiah hukum Taurat dengan maksud Allah yang sesungguhnya, yang harus melibatkan hati manusia. “Kamu telah mendengar bahwa difirmankan: Jangan berzina. Tetapi AKu berkata kepadamu: setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina terhadap dia di dalam hati” (Mat 5:27). 

Hukum Taurat sendiri sebenarnya sudah keras sekali. Sangsi pelanggarannya tidak ringan. Bayangkan saja: Mata yang menyesatkan dicungkil. Begitu juga tangan yang menyesatkan dipenggal. Tapi melaksanakan hukum Taurat sesuai dengan apa yang tertulis, belum cukup sama sekali. Bisa juga bertentangan dengan kehendak Allah. Masa, Allah senang melihat ciptaan-Nya sendiri diperlakukan seperti itu! Dampaknya pun tidak akan menghasilkan hidup yang benar sesuai dengan kehendak Allah. Di belakang semua larangan hukum Taurat, Yesus melihat maksud Allah yang sesungguhnya. Kalau tidak mau terlibat dalam kejahatan apa pun, maka hati harus dibereskan terlebih dahulu. Semua kejahatan berasal dari hati, bukan? Dengan hati yang kotor, penuh dendam, dan dusta, maka perzinaan, pembunuhan, korupsi dan kejahatan apa saja tak dapat dihindarkan. Persaudaraan sejati, biarpun antara saudara-saudari sekandung atau suami isteri pun tak mungkin tercipta. Tidak percaya? 14062013

Percuma, Ibadat Tanpa Kasih Persaudaraan!

Keduanya sangat akrab. Selalu terlihat bersama ke gereja dan ke kampus. Sering bersenda gurau dan suka koment tingkah laku orang lain. Tetapi seminggu terakhir ini lain sekali. Masing-masing berjalan sendiri. Kadang-kadang ditemani orang lain ke gereja dan ke kampus. Ternyata sudah tidak rukun lagi. Alasannya sangat sepele. Yang satu kedatangan pacar, sehingga tidak bisa bersama ke mall. Pada hal sebelumnya memang sudah sepakat. Akibatnya? Ya, itu tadi. Marah dan tidak bertegur sapa lagi karena tidak setia janji. Kasihan ya? 

Persoalan sepele bisa menghancurkan persahabatan yang sudah lama terjalin. Tentu masing-masing menunggu. Siapa yang lebih dulu meminta maaf. Sementara itu pasti tak terlintas sedetik pun, apa yang dikatakan Tuhan dalam Mat 5:23-26. Kalau teringat, maka hati pasti tak tentram bila ke gereja. Mengapa? Tuhan berfirman: “Jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan altar dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat 5: 23-24). 

Jelas sekali, bukan? Doa dan persembahan kepada Tuhan tidak boleh dipisahkan dari kasih persaudaraan. Percuma, ibadat tanpa kasih persaudaraan. Sebab itu kasih persaudaraan harus didahulukan. Bagaimana mungkin kita memohon ampun kepada Tuhan dan menghormati-Nya apabila kita ingat ada orang sakit hati karena kata-kata dan ulah kita? Perdamaian dengan sesama tidak boleh ditunda sampai orang lain berdamai dengan kita, sebab kitalah yang benar. Sebagai pengikut Kristus, kita harus mengambil prakarsa untuk melakukan rekonsiliasi, sebelum keadaan bertambah parah. Dengan merendahkan hati, kita tidak akan menjadi hina di mata Tuhan dan sesama. Sebaliknya hati kita akan berbunga-bunga mendengarkan firman: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9). Kita akan mengalami hubungan damai dengan Allah, yakni hubungan kasih antara anak dengan Bapa dan dengan saudara/I se-Bapa. Kalau begitu, mengapa biarkan dendam merusak hati sendiri dan hubungan antar kita dalam keluarga dan dalam pergaulan dengan sesama? 13062013

Tuesday, June 11, 2013

Siapa Tak Ingin Makin Sempurna?

Ada aneka pengalaman di tempat pengakuan. Ada yang menyebut dosa seadanya. Saya melawan hukum keempat banyak kali, hukum kelima tidak pernah, hukum keenam tiga kali dan seterusnya. Mengaku dosa seperti ini tidak hanya anak-anak, tapi juga orang dewasa. Mereka mengaku dosa secara dangkal, bergaya farisi dan ahli Taurat, yakni melawan apa yang tertulis dalam kesepuluh perintah Tuhan. Ada juga yang membenarkan diri dan mengaku dosa suami atau isteri. Katanya, mau menang sendiri. Tidak mau mendengarkan sedikit pun. Akibatnya tak ada kedamaian dalam keluarga. Tak ada bedanya dengan farisi yang menghitung-hitung kebajikannya di hadapan Allah sambil menuding pemungut cukai di belakangnya.Tetapi ada juga sampai menangis tersedu-sedu seperti Petrus di halaman imam agung Hanas. Mereka melihat Tuhan begitu baik terhadap dirinya. Pada hal mereka sendiri begitu hina tapi berani menyangkal-Nya ala Petrus bahkan mengkhianati-Nya seperti Yudas. 

Rupanya inilah yang mau dikatakan Yesus dalam Mat 5: 17-19. Hidup kita jangan hanya mendatar saja. Tapi harus lebih mendalam dan lebih bermakna. Ia berbicara tentang pelaksanaan hukum Taurat. Hukum Taurat tidak akan dibatalkan sampai kapan pun. Tidak boleh dihilangkan walau sekecil apa pun. Lewat hukum itulah Allah menyatakan belas kasih-Nya. Itulah yang menjadi jiwa hukum. Tanpa melihat belas kasih Allah, maka hukum menjadi alat penyiksaan yang kejam. Orang yang ingin hidup sebagai anak Allah akan berusaha menjadi lebih sempurna dari pada orang Farisi. Mereka bertekun melaksanakan hukum, hanya sebagai kewajiban lahiriah. Dengan menunjukkan jiwa atau roh hukum itu, Yesus mau memberikan hukum yang sempurna. Tetapi banyak yang salah menafsirkan kata-kata Yesus. Menurut mereka, lebih baik agama jangan menuntut macam-macam dan lebih banyak lagi memberikan kemudahan. Itulah sebabnya Yesus mengatakan, orang yang tidak mau melaksanakan seluruh hukum tidak akan masuk surga. Begitu juga dengan orang yang mencari pembenaran atas kemalasannya lalu mengatakan bahwa hukum kurang penting. Tapi kepada mereka yang siap menaati hukum, Yesus menunjukkan jiwa hukum sebenarnya. Dengan demikian melaksanakan hukum, bukan sama dengan memikul beban yang sangat berat, melainkan mengikuti kehendak Bapa yang berbelas kasih. Bagi mereka seperti inilah Injil memang merupakan jalan yang tak mudah, tapi tetap menjadi panggilan untuk lebih sempurna. Siapa tak mau makin sempurna? 12061013

Monday, June 10, 2013

Mengandalkan TUHAN, Jaminan Keselamatan

Mama sedang sibuk mengemas kopor. Anak-anak lain asyik menonton sinetron. Bapa dan anak sulung yang besok ke kota sendirian di pendopo depan. Kelihatannya serius sekali. Berulang kali bapa menasihati anak itu supaya hemat. Bapa hanya kerja serabutan. Apa saja yang halal bapa rela kerja demi masa depan kamu. Kamu harus lebih baik dari pada bapa dan mama. Adik-adikmu banyak. Jadi sekali lagi hemat. Di kota itu semuanya serba uang. Ke luar rumah, uang. Masuk rumah pun uang. Angin saja dibeli, nak. Anak itu tersentak. Bapa ini ada-ada saja. Masa, orang beli angin. Ya anak, engkau belum mengenal kehidupan kota sesungguhnya. Kalau pompa ban mobil atau sepeda motor, orang harus bayar. Tidak ada yang gratis. Tapi untuk urusan kuliah, jangan segan-segan minta bapa kirim uang. Engkau harus sukses, supaya dapat menolong adik-adikmu yang banyak ini. 

Kehidupan kota yang serba uang, berbanding terbalik dengan pesan Yesus kepada murid-murid-Nya dalam Mat 10: 7-13. Uang jangan menjadi taruhan untuk berbuat baik. “Kamu telah memperoleh dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mrk 10: 8). Banyak pengalaman telah mereka timba selama bersama Yesus. Ia berkeliling ke semua kota dan desa. Ia mengajar dalam rumah ibadat, memberitakan Injil, menyembuhkan segala penyakit (Mrk 9: 35), dan memberi makan ribuan orang (Mat 14: 13-21). Semuanya dilakukan Yesus bukan karena uang atau hanya terdorong oleh belas kasih kemanusiaan semata. Berkat pewartaan dan karya-Nya, orang harus melihat dan percaya bahwa Kerajaan Allah sedang datang di tengah dunia (bdk Luk 11:20). Para murid tidak hanya menyadi saksi semua yang dibuat Yesus. Mereka pun dilibatkan dalam karya-Nya dan dilengkapi dengan kuasa yang sama. Tapi pertama-tama mereka sendiri harus percaya akan hadirnya Allah yang diwartakannya. Hari demi hari mereka harus makin percaya akan penyelenggaraan ilahi. Maka tidak perlu cemas akan hidupnya sendiri. “Semuanya itu dicari orang yang tidak mengenal Allah” (Luk 12:30). Mereka harus mengandalkan Tuhan yang menjadi jaminan pasti keselamatan. Uang sama sekali bukan jaminan keselamatan, sebab dapat menghancurkan nama baik dan karir, bukan? 11062013

Saturday, June 8, 2013

Benarkah TUHAN peduli akan Nasib Kita?

Pernah menghantar jenasah ke pemakaman, bukan? Kalau di desa tak ada halangan. Rombongan berjalan kaki menyusul para pengusung keranda sambil berdoa dan bernyanyi. Di kota tentu lain. Sering jalan menjadi macet. Arus lalu lintas yang padat berlawanan arah. Perlu Polantas atau para pengendara sepeda motor membuka jalan bagi arakan jenasah. Sementara itu sirene mobil jenasah terus meraung. Semua yang berlawanan arah biasanya berhenti sejenak untuk memberi jalan. Tak ada yang bergerak maju. 

Keadaan ini mirip dengan Mrk 7: 7-11. Dua rombongan berlawanan arah. Yesus dan rombongan-Nya menuju kota Nain. Dekat gerbang kota mereka bertemu dengan rombongan pengusung jenasah, bersama seorang janda yang putra tunggalnya mati. Mereka berarak ke luar kota. Tragis sekali nasib janda ini. Suaminya sudah meninggal. Sekarang menyusul putera satu-satunya. Siapa lagi menjadi tumpuan harapan dan menjamin hidupnya? Memang kita kadang-kadang tak peduli dengan orang yang bernasib malang. Tapi berhadapan langsung dengan orang seperti janda ini, pasti lain. Kalau kita saja begitu, apa lagi Yesus. Tergerak hati-Nya oleh belas kasihan, Ia berkata kepada janda itu: “Jangan menangis” (Mrk 7: 13). Ia tidak hanya menyampaikan kata-kata penghiburan. Ia segera bertindak. Tanpa bertanya entah janda itu percaya, sebagaimana biasanya, Ia menyentuh usungan itu. Para pengusung berhenti. Lalu Ia berkata: “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah” (Mrk 7: 14). Seketika itu juga anak muda itu hidup kembali. Lalu Yesus menyerahkannya kepada ibunya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan janda itu. Pasti ia merasa berutang budi terhadap Yesus. Suatu tantangan bagi kita yang mengaku pengikut-Nya. Dalam penderitaan dan kemalangan, bukankah kita merasa ditinggalkan Tuhan? Benarkah Tuhan tak peduli akan nasib kita? Lihatlah janda yang satu ini! Pengalamannya tentang Tuhan lain sekali, bukan? Lalu tak dapatkah kita membangkitkan kembali harapan dan semangat beriman sesama kita yang patah, karena dilanda penderitaan dan kemalangan yang datang silih berganti? 09062013

Memberi dari Kekurangan

Ia baru saja pulang dari kota. Ceriteranya seperti tak habis-habisnya. Ia mengagumi, seperti kebanyakan orang desa, gedung-gedung yang tinggi, mall dan banyaknya mobil yang berlalu lalang di jalan. Sering juga dilebih-lebihkan. Ia heran juga. Tetangganya yang baru setahun lebih diboyong ke kota sudah jadi orang kaya. Ia tidak berjalan kaki lagi. Ke mana-mana diantar dengan mobil. Mereka punya dua mobil di garasi. Rumahnya pun mewah. Pagarnya saja bagus sekali. Tetapi temannya berkata, ia sudah lain sekali, bukan? Dulu di sini kita selalu berbagi biar cuma sedikit. Sekarang ia sudah jadi isteri orang kaya, tapi pelitnya bukan main. Tegur kita pun susah sekali, terlebih kalau di antara teman-temannya. 

Tentu bukan semua orang kaya begitu. Ada juga yang murah hati. Lihat saja dalam Mrk 12: 41-44. Banyak orang kaya memberi derma sejumlah besar uang. Mungkin beberapa lembar uang bergambar Sukarno-Hatta dalam Rupiah kita. Masa, orang kaya atau pegawai tinggi beri derma cuma uang recehan, lima ribu atau sepuluh ribu Rupiah? Harga diri, dong. Tentu sangat bernilai untuk suatu pembangunan. Demikian pendapat umum. Janda miskin memberi uang recehan untuk derma. Tidak seberapa, bukan? Tapi pagi itu Yesus buat kejutan. Bukan untuk sebuah sensasi. Ia berkata serius kepada para murid-Nya: “Sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yakni seluruh nafkahnya” (Mrk 12: 43-44). Tuhan menilai pengorbanannya itu. Bukan gampang mengorbankan seluruh nafkah. Lalu bagaimana kita? Berapa yang pantas kita beri? Jika yang miskin memberi seribu Rupiah dari sisah belanja sehari, apakah lebih bernilai dari pada orang kaya memberi lima puluh ribu atau seratus ribu Rupiah? Tentu tidak, sebab sama-sama bukan suatu pengorbanan. Yesus tidak melihat berapa yang diberikan. Tapi memberi dari berapa. Janda miskin telah memberi dari seluruh nafkahnya sehari kepada Tuhan. Mirip dengan Yesus yang mengorbankan seluruh diri-Nya bagi kita, bukan? 08062013.

Mengasihi Allah dengan Segenap Hati

Sudah tiga tahun saya tinggalkan stasi itu. Alih tugas pelayanan di stasi lain. Tetapi saya masih ingat ketua stasi merangkap koster. Orangnya sangat berwibawa. Ia disegani umat. Pengumuman-pengumumannya selalu diperhatikan umat. Saya tetap ingat juga ketua seksi liturgi. Sesudah perayaan ekaristi ia selalu tampil di mimbar untuk mengadakan pembinaan liturgi. Ada-ada saja yang disorotinya. Koor yang tidak melibatkan umat bernyanyi, tugas pembersihan kapela, menghias altar dan umat yang berpakaian kurang sopan. Dua minggu lalu saya berkunjung lagi ke stasi itu. Saya sangat kaget. Ketua stasi mengatakan bahwa sudah setahun ini ketua seksi liturgi itu tidak pernah terlibat lagi dalam kegiatan di stasi. Soalnya musibah beruntun. Anak tunggalnya meninggal. Tiga bulan kemudian isterinya juga meninggal. Ia stress dan sangat kecewa terhadap Tuhan. Pelayanannya selama ini percuma saja. Tidak dapat penghargaan apa-apa dari Tuhan. Sebaliknya dihantam bertubi-tubi. Mengapa Tuhan begitu kejam terhadapnya? “Bagaimana mungkin saya mengasihi Tuhan yang kejam?” katanya. 

Persoalan ini yang membuat ketua seksi liturgi yang saya kenal itu berbalik arah hidup. Pada hal apa jawab Yesus kepada ahli Taurat dalam Mrk 12: 29-30? ”Hukum yang terutama ialah: Dengarlah hai orang Israel. Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu”. Pengalaman mantan ketua seksi liturgi itu bertolak belakang dengan apa yang dikatakan dalam hukum yang paling utama. Betapapun demikian, hukum yang terutama itu tidak akan dibatalkan. Yesus tidak hanya merumuskan hukum itu supaya kita jalankan. Ia sendiri lebih dulu telah melaksanakannya. Seluruh karya-Nya berasal dari Bapa dan harus kembali kepada Bapa. Apa pun yang dikerjakan Yesus bertujuan untuk memuliakan Allah. Ia mengasihi Bapa sampai mengurbankan nyawa-Nya sendiri. Bagaimana kita para pengikut-Nya? Kita dituntut untuk mengasihi Allah dengan segenap hati. Tetapi ternyata kita sulit melupakan diri atau lebih mengasihi orang yang kita cinta. Kita cinta Tuhan setengah hati. Tidak heran bila karena kecewa, kita akan membenci Allah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya, bukan? 06062013

Monday, June 3, 2013

Tentang Urusan Agama dan Politik

Sebut pajak, ingat Gayus Tambunan dkk. Dijerat UU Anti Korupsi, duduk di meja pesakitan, lalu menghuni bui. Pajak memang sumber pembangunan untuk kemakmuran bersama. Lahan basah, tapi rawan masalah. Masa, uang rakyat dimanipulasi untuk kepentingan pribadi atau partai politik tertentu. Jika praktek ini tidak dilawan dan dicegah, siapa mau bayar pajak? Yang rugi kita semua, bukan? 

Persoalan pajak bukan urusan rohani. Itu soal politik. Tapi pernah diajukan kepada Yesus (Mrk 12:11-17). Sebenarnya Yesus tidak berminat pada persoalan politik. Tentu saja politik penting untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi bukan satu-satunya jadi alat pembebas masalah kemanusiaan. Allah membebaskan tiap-tiap orang dan bangsa. Dengan itu terbukalah kemungkinan untuk masing-masing mengembangkan diri sesuai dengan budayanya. Tapi Yesus hidup di zaman bangsanya dijajah Roma. Dalam cengkraman penjajah, mana mungkin berkembang sesuai rencana Allah? Timbul faksi-faksi dalam masyarakat. Bagi orang Farisi, membayar pajak kepada bangsa kafir, sama saja dengan menyangkal kedaulatan Allah. Maka tidak boleh bayar. Kelompok oposisi tentu saja mendapat keuntungan ekstra dari wajib pajak. Maka bayar pajak adalah keharusan. Jika tidak, maka berhadapan langsung dengan kekuatan yang menindas bangsa. 

Maka Yesus dijebak dengan pertanyaan: “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak? Haruskah kami bayar atau tidak?” (Mrk 12:14) Yesus melihat jerat yang dipasang. Ia mengelak, dengan menjawab: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mrk 12:14). Urusan agama dan politik harus dipisahkan. Agama tidak boleh dimanipulir untuk kepentingan politik. Agama juga tidak boleh mencampur aduk musuh politik dengan musuh agama, bukan? Ini sesungguhnya menjadi rambu-rambu bagi kita untuk beragama tanpa politik dan berpolitik tanpa mengusung isu agama. Kenyataannya? Takut kalah, isu agama sering ditiup untuk menarik pemilih dalam pilkada dan pemilu. Itu tandanya panik dan kehabisan akal. Kita tidak akan mengusung pemimpin yang kurang akal, bukan? 04062013

Sunday, June 2, 2013

Tuhan Sabar dan percaya pada Kita

Tiba-tiba nama Sekolah Tinggi yang satu ini melejit. Mendadak terkenal di seluruh tanah air. Bukan karena hasil penemuan ilmiah baru. Bukan juga karena prestasinya yang gemilang di bidang iptek. Pembinaannya yang semi militer itu ramai dibicarakan. Eksesnya sangat menggemparkan. Demi penegakan disiplin, mahasiwa yunior babak belur dihajar mahasiswa senior. Sampai-sampai korban berjatuhan. Katanya dalam rangka pembinaan mental. Orang merasa khawatir. PT ini akan menghasilkan pemimpin bertangan besi. Apa faedahnya? Dampaknya berbuntut panjang. Protes datang dari banyak pihak. Keluarga menuntut keadilan. Penegak hukum segera bertindak. Komnas HAM bereaksi cepat. Banyak suara menuntut perguruan itu ditutup saja. 

Dalam Mrk 12:1-12 korban juga berjatuhan. Hamba-hamba dikirim tuan kebun anggur. Mereka harus menerima bagiannya dari para penggarap. Tapi mereka mengalami nasib tragis. Banyak yang dipukul sampai babak belur. Lain dibunuh. Tak ada reaksi masyarakat luas. Lalu apa reaksi tuan kebun? Sangat lamban. Sepertinya ia tidak peduli. Tambah banyak lagi hamba dikirim. Mereka pun mengalami nasib yang sama. Tapi tidak ada tuntutan hukum atau perlindungan terhadap para hamba. Tidak ada juga tindakan pembalasan terhadap para penggarap. Terakhir ia mengutus anak tunggalnya sendiri. Dikiranya akan mereka segani. Tahu-tahu tidak. Dialah alih waris. Maka dia harus dihilangkan. Akhirnya ia datang sendiri membinasakan para penggarap itu. Sangat terlambat, bukan? Terkesan kuat ada pembiaran sampai korban berjatuhan asal hasil diserahkan. Tapi dengan itu para penggarap berbuat seakan pemilik kebun anggur, bukan? Mungkin juga tak ada hasil. Lalu mau serahkan apa? 

Ini memang sebuah perumpamaan. Tapi arahnya jelas bukan? Tuhan begitu sabar dan percaya terhadap kita. Ia mengaruniakan bakat, tenaga, keluarga dan lapangan kerja kepada masing-masing kita. Kita diberikan kebebasan untuk mengembangkannya. Pada waktunya kita harus mempertanggung jawabkannya. Dapatkah kita memberikan hasil kepada-Nya pada saat yang tepat? Ataukah kita tak peduli dan akan bertindak semau kita seperti para penggarap kebun anggur itu? 03062013

Saturday, June 1, 2013

Berbagi dengan Sesama

Rupa-rupa pengalaman diceriterakan dalam katekese umat Hari Pangan Nasional. Semuanya menarik, antara lain ceritera seorang bapa. Kebetulan kami bertemu di terminal. Demikian ia memulai ceritanya. Dia teman kelas saya 40-an tahun yang lalu. Saya mengundangnya ke rumah. Kami asyik berceritera tentang masa kecil di kampung. Tidak sadar sudah jam 20. Anak saya yang baru berumur empat tahun berkata: bapa, mama panggil. Saya ke dapur. Omong-omong dengan isteri. Tidak ada persiapan untuk tamu. Hentikan sudah ceritera itu, supaya tamu kembali, kata isteri. Saya katakan, saya ajak untuk makan bersama. Isteri saya tidak setuju. Menu makan tidak cocok untuk dihidangkan bagi tamu. Juga takaran yang dimasaknya cukup untuk makan sekeluarga. Saya yakinkan isteri. Kita tidak akan jatuh miskin sebab sepiring nasi untuk tamu. Tuhan punya mata tetap terbuka. Berkatnya akan tetap melimpah buat kita. 

Saya melihat keadaan yang sama dalam Luk 9:11b-17. Lima ribu orang di tempat terpencil. Itu laki-laki saja. Belum terhitung perempuan dan anak-anak. Hari sudah malam. Tak ada penginapan. Makanan? Cuma lima roti dan dua ikan? Mana cukup untuk orang sebanyak itu? Keadaan mendesak ini perlu segera disampaikan kepada Yesus: “Suruhlah orang banyak itu pergi ke desa-desa dan kampung-kampung sekitar ini untuk mencari penginapan dan makanan, karena di sini kita berada di tempat yang terpencil” (Luk 9:12). Reaksi-Nya? Ia tidak hanya menolak usul itu tetapi juga menyuruh para murid memberi mereka makan. “Kamu harus memberi mereka makan” (Luk 9:13). Para rasul dilibatkan. Mereka membagi orang banyak itu dalam kelompok-kelompok kecil. Limapuluh orang sekelompok seperti di zaman Musa di padang gurun (Kel 18:21, 25). Yesus mengambil makanan yang sangat sedikit itu. Ia menatap kepada Bapa di surga. Ia mengucap berkat. Lalu roti itu dipecah-pecahkan-Nya. Ia memberikannya kepada para murid-Nya supaya disajikan kepada orang banyak. Tidak ada yang berkekurangan dan kelaparan. Semuanya makan sampai kenyang bahkan masih tersisa dua belas bakul. 

Menakjubkan, bukan? Tapi tidak cukup kita berhenti di situ. Kita harus terbuka untuk melihat ke depan. Kita tidak akan berkekurangan hanya karena berbagi dengan sesama yang berkekurangan. Mata Tuhan tetap mengamati kita. Tidak percaya? Cobalah! 02062013