Friday, May 31, 2013

Keagungan Maria terletak dalam Kerendahan Hatinya

Ia baru saja diwisuda. Rasa bahagia dan bangga sedang bercampur aduk. Keluarga juga berbahagia. Segala jerih payah selama ini tidak percuma. Teman-teman yang ikut pesta semalam masih ada bersamanya. Tawa dan senda gurau mewarnai kebersamaan mereka. Dalam suasana demikian mama minta tolong. Angkat gallon yang penuh berisi air untuk dipasang di dispenser. Dia belum bergeser juga dari tempat duduknya. Mama mengulangi permintaannya. Teman-teman juga ikut mendesak. Tapi apa katanya? Ah, mama ini masih suruh-suruh juga. Orang baru diwisuda ko. Sepertinya saya ini masih anak kecil. 

Nuansa ini tak terasa dalam Luk 1:39-56. Baru terjadi dialog yang alot. Maria menyadari dirinya sebagai hamba. Ia menerima tawaran Allah. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38) Siap untuk melaksanakan apa yang dikehendaki Allah. Inilah pernyataan kerendahan Maria di hadapan Allah. Ini pun ungkapan iman dan penyerahan diri yang total kepada kehendak Allah. Bukan basa-basi. Tapi sesungguhnya Allah lebih dahulu merendahkan diri. Ia mengutus utusan khusus mendatangi Maria. Allah bisa saja main kuasa dan beri komando. Tapi tidak demikian, bukan? 

Maria pun melakukan hal yang serupa. Sebagai bunda Allah, Maria pun bisa menunggu di tempat. Elisabet kan harus datang menemuinya. Tapi tidak. Maria mengunjungi Elisabet jauh di pedalaman. Dalam perjumpaan itu barulah terungkap kebesaran Maria. Elisabet merasa diri tak pantas dikunjungi Maria, bunda Allah. “Siapakah aku ini, sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk 1:43) Kerendahan hati Maria dikagumi Elisabet. Keagungan Maria justru terletak dalam kerendahan hatinya. Tuhan pun sangat memperhatikan kerendahan Maria. ”Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah.” (Luk 1:52) Tidak hanya orang kecil, yang lemah dan tersingkirkan tapi termasuk yang rendah hati. Hanya yang rendah hati dapat melayani dengan ikhlas. Lalu bagaimanakah kita terhadap Allah dan sesama? 31052013

Tentang Kuasa dan Pengaruh

Soal kuasa selalu menarik. Jadi rebutan banyak orang. Ada juga yang tidak mampu bersaing menjadi penguasa. Lebih mudah menjadi penguasa gadungan. Cukup dengan membawa-bawa nama penguasa yang sesungguhnya. Yang penting apa yang diinginkannya dapat tercapai. Tentu meresahkan banyak orang. 

Keadaannya berbeda dengan Mrk 11:27-33. Yesus tidak hanya mengajar. Ia pun melakukan mujizat. Massa semakin tertarik pada-Nya. Berbondong-bondong orang mengikuti-Nya. Kenyataan ini mencemaskan pejabat resmi, para imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua. Pengaruh mereka akan berkurang. Jika dibiarkan, mereka akan ditinggalkan massa. Maka tindakan perlu diambil. Mereka langsung mendatangi Yesus di halaman Bait Allah. Mereka adalah benteng pertahanan iman yang murni dan benar. Maka mereka merasa berkepentingan untuk mengetahui entah Yesus itu nabi sejati atau gadungan. Mereka mempersoalkan asal-usul kewenangan dan kuasa Yesus untuk melakukan semuanya termasuk mengajar. 

“Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah memberikan kuasa itu kepada-Mu?” (Mrk 11:28) Tapi Yesus tak perlu meminta ijin siapa pun untuk mengajar di Bait Allah. Soalnya, benarkah mereka peduli akan kebenaran iman? Apakah mereka siap untuk mengetahui bahwa Yesus datang dari Allah? Nampaknya mereka hanya berpikir untuk mempertahankan kebenaran yang sudah ada. Sebelumnya pun mereka sudah berniat menangkap Yesus dengan tuduhan subversip. Maka persoalan sesungguhnya bukan mempertahankan kebenaran iman. Tapi soal iri hati dan ketakutan akan hilangnya pengaruh terhadap massa umat. Apakah kita murni dari semangat iri hati atau tak takut akan kehilangan kuasa dan pengaruh demi kebenaran? 01062013

Wednesday, May 29, 2013

Berkat Iman, Kita Disembuhkan

Kesehatan itu mahal. Semua orang tahu itu. Biaya berapa pun orang tidak peduli. Yang penting sehat. Mereka yang kaya, akan mencari kesehatan sampai di luar negeri. Pilih RS terbaik dan beli obat termahal. Dokter pun tentu saja spesialis yang terahli. Segala usaha dan daya upaya dipakai asal sehat. Yang tidak berduit, akan mencari pengobatan alternatip. Munkin akan cari dukun sana-sini. Jarak yang jauh? Tidak soal. Panas terik atau hujan lebat bukan jadi halangan. Semuanya sedapat mungkin diatasi. 

Hal serupa kita temukan dalam Mrk 10:46-52. Bartimeus, pengemis buta, duduk di pinggir jalan. Rombongan yang mengiringi Yesus lewat. Ia mendengar ramai orang bicara. Ternyata yang lewat adalah Yesus orang Nazaret itu. Bukankah ini kesempatan emas? Seharusnya dia mencari Yesus. Tapi justru Yesus sendiri datang. Maka dalam iman ia pun berteriak minta tolong: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Mrk 10:47) Tetapi orang banyak menghalanginya. Bahkan banyak juga yang menegurnya supaya diam. Bagaimana kalau kita sendiri yang sakit? Kita tidak menghiraukan halangan dan teguran itu, bukan? Maka tidak heran kalau Bartimeus semakin nyaring berteriak: “Anak Daud, kasihanilah aku” (Mrk 10:48). Yesus pun tersentak dan berhenti. Giliran Yeus menanggapi iman Bartimeus. “Panggilah dia” (Mrk 10:49). Berkat imannya akan Yesus, ia disembuhkan. Ia dapat melihat Yesus yang sesungguhnya sedang menuju Yerusalem. Di sanalah tempat terjadinya tragedi penderitaan, wafat disalibkan dan bangkit. Ia tidak lari ketakutan. Sebaliknya, ia mewujudkan imannya akan Yesus. Ia bergabung dalam perjalanan salib menuju kebangkitan. Sungguh berani bukan? Bagaimanakah kita? 30052013

Monday, May 27, 2013

Apa yang Kita Peroleh dengan Mengikuti DIA?

Kami ini hanya tunggu upah yang besar di surga, Romo. Kata seorang pegawai swasta kepada saya baru-baru ini. 

Mengapa? Tanya saya. Di dunia ini tidak ada upah? Atau gaji terlalu kecil? 

Ya Romo. Bayangkan saja! Sudah hampir dua puluhan tahun jadi pegawai tetap. Gaji cuma satu juta dua ratus ribu. Lalu dibilang sudah sesuai dengan UMR. Itu cocok untuk pegawai kontrakan. Tapi ini pegawai tetap ko omong UMR. Saya tidak mengerti. Katanya sambil mengetuk-ngetuk dahinya. 

Omong kepada bosmu. Kata saya.

Eh percuma Romo. Sudah omong berulang kali. Hasilnya hanya tambah kecewa saja. Lebih baik hibur diri, nanti upah besar di surga. 

Betul itu. Kata saya. 

Betul apa? Ia balik bertanya. Anak-anak tidak perlu makan? O jadi sekarang anak-anak tidak makan? Memang makan. Tapi kita harus putar otak setengah mati, katanya. 

Itu gunanya Tuhan beri otak, supaya dipakai. Kalau tidak, otak jadi karat. Kata saya lagi. 

Eh sudah saja. Omong dengan Romo ini tidak akan habis.
***

Barangkali pegawai itu mengutip ayat di atas dalam nada sinis. Akan tetapi tidak akan mengurangi kebenaran kata-kata Yesus dalam Mrk 10:28-31. Pada mulanya Petrus menanggapi pernyataan Yesus tentang sulitnya orang kaya masuk Kerajaan Allah. “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau” (Mrk 10:28). Mungkin Petrus takut bayangan. Yesus menyatakan dengan sangat pasti. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu pada masa ini juga akan menerima seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai banyak penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup kekal” (Mrk 10:29-30). 

Yesus bukan hanya asal omong. Demi Dia, para murid perdana dianiaya dan lari ke luar Yerusalem. Rumah, dan ladang ditinggalkan. Apakah mereka terlantar karena meninggalkan semuanya itu? Bisa dijajaki dalam Kisah Para Rasul. Terbentuk banyak komunitas baru. Makin banyak anggota keluarga baru. Barisan para misionaris tak henti-hentinya menyusul. Mereka juga punya pengalaman yang serupa. Tidak hanya itu. Kebahagiaan dan banyak kebutuhan lain sudah terpenuhi. Tidak tunggu sampai di dunia seberang. Pengorbanan demi Tuhan tak mungkin sia-sia. Rupanya kita perlu merubah motivasi dalam segala bidang kegiatan. Bukan demi diri sendiri dan anak isteri tapi demi Dia. Yang berat menjadi ringan, yang sulit menjadi mudah. Tidak percaya? Bisa dicoba sendiri, bukan? 28052013

Saturday, May 25, 2013

Bersumber dari BAPA

Kalau bukan saya, mana ada jalan aspal masuk desa ini. Kata bapa itu sesumbar waktu kampanye. Dan air bersih? Siapa lagi yang bisa berjuang, kalau bukan yang ini. Katanya sambil membusungkan dan menepuk-nepuk dadanya. Tujuannya apa, kalau bukan untuk menonjolkan diri dan memojokkan rival politiknya. Yang satu itu? Hanya omong doang. Berjuang untuk kepentingan sendiri, ngotot bukan main. Tapi untuk kepentingan masyarakat, nol besar. Pada hal semua orang juga tahu. Baru dalam masa kepemimpinan rival politiknya itulah, ada jalan aspal masuk desa. Masyarakat pun bisa minum air bersih. Tapi rupanya beginilah adat politik tanpa moral. Menghilangkan jejak peran orang lain supaya sendiri yang menonjol. 

Hal seperti itu tidak pernah kita temukan dalam seluruh karya dan ajaran Yesus. Lihat saja antara lain dalam Yoh 16:12-15. Menurut Yesus, apa saja yang dilakukan dan difirmankan-Nya kepada para murid, diterima-Nya dari Bapa. Semuanya adalah milik Bapa. Yang menjadi milik Bapa adalah milik-Nya juga. Maka apa yang diterima Roh Kudus dari Yesus, itulah yang dikatakan-Nya, untuk memimpin para murid memaknai hal-hal yang akan datang. Semuanya berasal dari Bapa. Ia tidak akan berbicara dari diri-Nya sendiri. Sangat transparan dan harmonis! Bapa, Putera dan Roh Kudus adalah satu. Tritunggal yang Mahakudus. Tidak ada yang direkayasa atau ditutup-tutupi dalam hubungan yang sangat intens. Alangkah indahnya kalau semangat transparansi yang sama, memenuhi karya dan perkataan kita juga dalam hidup berkeluarga, beragama dan bermasyarakat. Hidup kita pun akan menjadi harmonis. Ayo, cobalah! Bukankah kita harus menjadi sempurna seperti Bapa kita di surga? (bdk Mat 5:48) Tentu tidak persis sama. Tapi tidak ada salahnya kalau kita berusaha ke arah sana, bukan? 26052013

Friday, May 24, 2013

Biarkan Anak-anak datang padaKu

Zzzzzzzziut lepas. He, Deni jangan pegang itu. Nanti pecah. Pergi main di depan. Perintah ibu kepada Deni, anaknya. Deni berlari ke pendopo depan. Dasar anak kecil. Tidak bisa tenang. Dia tidak peduli. Bapa sedang berbicara dengan tamu. Tanpa basa-basi dia bertanya. Ini om siapa, bapa? Sebelum bapa menjawab, dia bertanya lagi. Om datang buat apa? He, pergi main di belakang. Bapa omong dengan tamu. Begitulah nasib anak kecil. Diusir dari belakang ke depan dan dari depan ke belakang rumah. Lalu dia harus ke mana? 

Tidak hanya di rumah. Di tempat ibadat pun demikian, bukan? Orangtua membawa anaknya ke gereja. Lalu anak lepas kontrol. Lari kiri kanan sambil teriak. Sangat mengganggu ketenangan suasana ibadat. Timbul bermacam reaksi. Ada yang cuma melirik ke arah orangtuanya. Ada yang mendeham. Sampai-sampai imam yang pimpin perayaan pun tidak tahan. Langsung saja tegur dari altar atau mimbar. Singkatnya ada sikap menolak. 

Begitu juga di masa Yesus, bukan? Lihat saja reaksi para murid dalam Mrk 10:13-16. Orang tua membawa anak-anaknya kepada Yesus. Tetapi murid-murid marah kepada mereka, Tidak ada bedanya dengan kita yang mau menjaga ketenangan di sekitar altar, bukan? Tapi bagaimana reaksi Yesus? Memuji mereka sebab menjaga ketenangan di sekitar-Nya? Yesus balik memarahi para murid: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku. Jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Mrk 10:14). 

Tidak hanya itu. Yesus masih memberi peringatan keras. “Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya” (Mrk 10:15). Pada hal, semua kita mau ke sana, bukan? Lalu bagaimana? Lihat saja apa yang dibuat Yesus. Ia memeluk anak-anak itu. Rupanya inilah kekurangan besar kita zaman ini. Kita tidak merangkul anak-anak. Ada anak yang sudah ditolak sebelum lahir, lalu digugurkan. Banyak juga yang kurang mendapat perhatian. Di rumah orangtua sibuk. Diharapkan agar para guru mendidik anaknya di sekolah. Pada hal para guru takut dituduh orangtua melanggar HAM. Tidak heran para guru masabodoh. Mereka hanya memfokuskan perhatian pada mutu ilmu pengetahuan. Lalu bagaimana di lingkungan paroki? Katekese anak dan pembinaan lain pun belum menjadi perhatian penuh banyak paroki, bukan? Pada hal anak-anak adalah harapan orangtua, asset masa depan Gereja, nusa dan bangsa, bukan? Kalau begitu, apa yang harus kita buat? 25052013

Thursday, May 23, 2013

Setia dalam Mencinta

Orang Katolik boleh kawin lagi, Romo? Tanya seorang kenalan. Mengapa tidak, kalau suami atau isterinya sudah meninggal. Tapi yang diberkat kemarin itu kan suaminya masih hidup. Apalagi, yang berkat dulu itu uskup dengan banyak imam. Apakah pastor paroki tidak tahu itu? Atau karena dia anak orang besar? Saya katakan, pastor tidak mungkin tidak tahu. Juga bukan soal anak orang besar. Mungkin pemberkatan dulu itu hanya sandiwara. Kata saya. Masa, yang berkat dulu itu uskup dengan banyak imam ko, dibilang sandiwara. Yang benar saja Romo ini. Sanggahnya. Saya berusaha menjelaskan: mungkin sesudah berkat, baru ketahuan bahwa salah satunya impoten. Atau dulu mereka terpaksa berkat, sebab sudah hamil. Kalau tidak, maka nyawa laki-laki terancam. Tidak ada cinta, bukan? Tak ada cinta berarti tak ada perkawinan. Hanya pura-pura kawin atau bersandiwara saja, bukan? 

Pernikahan Katolik tetap sama dari dulu sampai sekarang dan seterusnya. Hanya antara seorang pria dan seorang wanita, berlangsung seumur hidup. Tidak boleh diceraikan oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun. Sebab apa? Tanya kenalan itu. Ya, karena yang mempersatukan pria dan wanita dalam perkawinan itu adalah Allah sendiri. Instansi mana yang lebih tinggi daripada Allah, sehingga berani menceraikan apa yang telah dipersatukan Allah? Jelas sekali dikatakan itu dalam Mrk 10:1-12, bukan? Sejak awal mula Allah menciptakan pria dan wanita. Itu berarti kita adalah makhluk terbatas yang saling membutuhkan. Allah menjadikan pria dan wanita sama derajat dan sama martabat. Dunia tanpa wanita gersang, tanpa pria berat. Maka bila pria dan wanita dipersatukan, persatuan itu akan menjadi harmonis dan sangat kuat. Tapi kenyataannya? Kita tidak menghormati rencana Allah. Mengapa? 

Pria merasa diri lebih berkuasa daripada wanita. Wanita malah menjadi miliknya. Kita memang bercinta. Tapi tidak seperti Allah mencintai kita. Buktinya? Kita tidak bercinta secara total. Tidak heran bila kita bertahan cuma sebentar lalu bosan. Cinta dan kesetiaan tidak berjalan sama. Pada hal Allah sendiri sangat setia kepada kita yang dicintai-Nya, bukan? Ketika kita jatuh, tidak peduli sebesar apa pun dosa kita, Ia setia mencari kita dan menebus kita. Dosa tidak membatalkan cinta dan kesetiaan-Nya, bukan? Maka kalau kita mau perkawinan tetap utuh dan langgeng, tidak ada jalan lain. Contohlah Allah yang setia dalam mencinta, biarpun kita berdosa terhadap-Nya. Siapa bilang gampang? 24052013

Wednesday, May 22, 2013

Menjadi Berkat Bagi Orang Lain

Pernah bertemu penyandang cacad?  Kesan pertama rasa iba bercampur rasa ngeri dan menakutkan. Itulah pengalaman pertama saya di Panti Asuhan Budi Luhur, Malang. Muncul juga rasa hormat yang tinggi kepada para perawat yang mengabdikan diri untuk karya kemanusiaan yang luhur dengan iman dan penuh kasih sayang. Ada aneka ragam penyandang cacad. Ada yang giginya di luar sebab bibir sumbing, yang berkepala besar tanpa daun telinga, yang mata melotot dengan hidung lekuk serata bibir atau yang berjalan hanya dengan bantuan kedua tangan, sebab tak ada kaki, atau yang punya tangan tanpa jari dan yang buta. Semua mereka adalah penyandang cacad bawaan sejak lahir. Ini bukan kesalahan orang cacad itu. Bukan pula salah bunda mengandung (bdk Yoh 9:2-3). Secacad apa pun seseorang dia punya martabat dan hak hidup dan keselamatan yang sama. Dia harus dihormati sebagai manusia. 

Lain halnya dengan apa yang dikatakan Yesus dalam Mrk 9:41-50. Kedengarananya keras sekali. Orang yang menyesatkan anak kecil yang percaya, lebih baik dibuang ke laut. Begitu pula dengan tangan dan kaki yang menyesatkan. Dikudungkan saja kalau mau selamat. Kalau mata menyesatkan? Dicungkil saja. Mengapa Yesus begitu keras terhadap penyesatan ini? Karena keselamatan itu tadi. Demi keselamatan inilah Yesus mati di salib. Lalu kita sendiri? Tiap kita harus bertanggungjawab terhadap keselamatan sesama. Kita harus menjadi berkat bagi orang lain. Dengan demikian kita menyelamatkan diri sendiri juga. Bukan mencari selamat sendiri dan menjerumuskan orang lain. Lebih celaka lagi, jika dengan tahu dan mau kita menyesatkan diri sendiri. Siapa saja yang tersesat tentu tak pernah sampai ke tujuan, yakni keselamatan. Maka teladan yang baik dalam kata dan perbuatan, yang membawa orang kepada keselamatan, menjadi sangat penting, bukan? 23052013

Monday, May 20, 2013

Siapa yang terbesar di antara Kita?

Saya baru saja ditunjuk sebagai Rektor/Preses Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui Kupang. Belum ada pelantikan apalagi serah terima. Jadi sebenarnya belum rektor sesungguhnya. Tapi hp saya tak putus-putusnya berdering. Orang ramai sekali menyampaikan ucapan selamat. Saya menjadi ekstra sibuk. Itu terjadi lima tahun yang lalu. Saya heran. Mengapa sampai jadi begini? Kepada dua tiga orang penelpon saya bertanya. Ada apa sebenarnya? Mereka menjawab sambil tertawa. Romo mendapat kenaikan pangkat. Saya heran. Sudah lebih dari dua puluhan tahun saya menjadi ketua Komisi Kateketik. Tidak ada seorang pun memberikan ucapan selamat. Tapi kali ini? Belum apa-apa, sudah kebanjiran ucapan selamat. 

Pangkat dan kekuasaan memang selalu menarik. Orang kejar menjadi orang nomor satu di pusat, propinsi atau kabupaten/kota. Bukankah semuanya serba dilayani? Kaca mata dan teks pidato, yang mungkin disusun orang lain pun, harus dibawa seorang ajudan. Siapa tak suka? 

Orang sekitar Yesus pun mengincar kekuasaan yang sama. Yesus baru saja berkata. Ia akan menderita dan mati. Lalu pada hari ketiga Ia akan bangkit. Para murid mulai hitung-hitung. Tentu ada vacum kekuasaan. Mereka berebutan mengisi lowong. Siapa yang terbesar di antara mereka. Itu dilaporkan dalam Mrk 9:30-37. Terjadi pertengkaran secara terbuka di tengah jalan. Pasti seru dan hangat. Yesus bukan tak tahu. Ia pasti prihatin. Tapi Ia tak mau menambah keruh. Setelah sampai di rumah barulah Yesus angkat bicara. Dalam kerajaan-Nya, yang terbesar harus menjadi pelayan. Apa artinya pangkat kalau tidak ada pelayanan? Pangkat dan jabatan apa pun yang diemban, merupakan kesempatan untuk mengabdi. Bukan untuk sebuah etalase pajangan kekuasaan. Kata orang bijak, kekuasaan cenderung korupsi dan menindas. Itu kalau tidak dilandasi semangat mengabdi. Maka kebesaran seseorang diukur dari semangat pengabdian dan karya pelayanannya bagi kekesejahteraan bersama, bukan? 21052013

Saturday, May 18, 2013

Roh Kudus Berkarya dan Menolong Kita

Ada bermacam ragam komentar di status fb saya. Ada yang berterima kasih. Katanya renungan telah memberikan semangat baru sehingga dapat lari meninggalkan tempat maksiat. Ada yang merasa dikuatkan. Yang lain dihibur. Ada pula yang mendapat inspirasi baru. Masih banyak tanggapan lain. 

Semuanya itu sesungguhnya menjadi saksi kebenaran firman yang dikatakan Yesus dalam Yoh 14:15-16,23b-26. Yesus memang hilang secara fisik dari panggung dunia. Suatu situasi baru bagi para rasul dan kita. Kita pasti gelisah dan takut di tengah masyarakat yang sering tak ramah. Tetapi Yesus tetap mendukung dan menguatkan kita. Firman-Nya tetap hadir bersama kita. Firman-Nya dapat menjadi pegangan hidup, sejauh kita masih mengasihi-Nya. Kesetiaan terhadap firman-Nya memberikan pengalaman-pengalaman baru, bukan? 

Penolong yang sudah diminta-Nya dari Bapa akan menyertai kita. Ia mengajarkan segala sesuatu dan mengingatkan kita akan semua yang telah diajarkan Yesus kepada kita. Roh Kudus, Penolong yang diutus Bapa itu, sungguh dahsyat dan luarbiasa pengaruh-Nya. Berkat kehadiran-Nya dan pendampingan-Nya kita mampu bertahan biarpun lingkungan hidup tak ramah. 

Lihat saja pengalaman para rasul dalam Kis 2:1-dst. Begitu gegap gempita. Semua mereka dipenuhi Roh Kudus. Mereka berbicara. Orang-orang yang berbahasa lain heran. Mereka mendengar para rasul berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Dulu Petrus sangat gugup dan ketakutan di halaman Kayfas. Kini berkat pengaruh Roh Kudus ia menjadi Petrus yang lain sama sekali. Ia berani tampil di muka umum. Dampak kesaksiannya tentang Yesus, sekitar tiga ribu orang bertobat. Roh Kudus tidak hanya berkarya dan menolong para rasul. 

Efek Pentekosta masih terasa sampai hari ini. Kita pun mendapat pertolongan dari Roh Kudus yang sama. Kita diberi inspirasi, kekuatan dan keberanian untuk memberi kesaksian iman, dorongan berbuat yang baik, hiburan dalam menghadapi situasi hidup yang beragam. Roh Kudus tidak hanya berperan pada hari Pentekosta. Ia terus menerus memainkan peran-Nya dalam kehidupan Gereja dan kehidupan pribadi kita. Untuk apa? Ya, supaya kita tetap setia menjadi murid-Nya. Kita berani memberikan kesaksian tentang Yesus. biarpun lingkungan hidup tidak mendukung. Mampukah kita? Mengapa ragu? Roh Kudus menjadi penolong. Siapa takut? 19052013

Friday, May 17, 2013

Tuhan Punya Rencana untuk Masing-masing Kita

Saya kira mereka semua segera mandi. Sudah selesai kerja. Tahu-tahu dia kembali lagi. Dia pertanyakan, mengapa dia dipisahkan dari teman-temannya. Mereka semua dihukum. Tapi pekerjaannya pun lebih berat. “Saya merasa diperlakukan tidak adil. Mengapa saya diperlakukan lain daripada teman-teman saya?” Kalau begitu, silakan duduk. Kata saya. Seharusnya engkau tidak perlu persoalkan itu. Teman-temanmu turut dihukum gara-gara engkau. Kalau bukan pengaruhmu, mereka tidak akan bolos untuk nonton pertunjukan itu. Kenyataan ini rupanya menjadi kecenderungan kebanyakan kita: membanding-banding keadaan sendiri dengan keadaan orang lain. 

Kita temukan juga dalam Yoh 21:20-25. Petrus baru saja diperingatkan oleh Yesus. Di saat masih muda dia boleh pergi ke mana saja dia suka. Sama sepert gaya “muda-mudi zaman sekarang” dalam lagu Koes Plus. “Tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu, dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kau kehendaki” (Yoh 21:18). Tragis sekali, bukan? Ada yang tidak tunggu sampai tua. Mereka yang terserang stroke, biar terhitung belum tua, sudah dituntun. Bahkan makan pun harus disuap seperti anak kecil. Tetapi bukan Petrus kalau tidak mempersoalkannya. Ia melihat Yohanes yang juga hadir di situ, tapi tidak disingung-singgung oleh Yesus. Maka ia bertanya: “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” (Yoh 21:21). Nada dan arahnya jelas. Mengapa dia tidak? Tapi itu bukan urusan Petrus. Yang menjadi urusannya, ialah fokus pada tugas dan tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepadanya. Dan ini berlaku untuk kita semua. Tuhan mempunyai rencana untuk masing-masing kita. Lewat tugas yang dipercayakan, kita harus menjadi berkat bagi orang lain, entah itu adalah anak, isteri, suami, pembantu rumah tangga…ya pokoknya bukan melulu untuk keselamatan diri sendiri. Apalagi mereka yang melaksanakan tugas publik, bukan? Kenyataannya? 18052013

Thursday, May 16, 2013

Apakah Engkau Mengasihi AKU?

Di tepi danau ini kami berdiri pada tgl 25 Pebruari yang lalu. Kenangan akan peristiwa demi peristiwa Kitab Suci di danau Tiberias ini bermunculan: panggilan para murid pertama dari tempat kerja mereka, Yesus mengajar dari atas perahu, penangkapan ikan besar-besaran, angin ribut, Yesus berjalan di atas air ke arah perahu para rasul, dan piknik bersama Yesus yang bangkit di pinggir pantai ini. 

Ketika tangan saya memegang batu karang, yang katanya tempat pengukuhan primat Petrus (Yoh 21:15-19), terdengar pertanyaan Yesus, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” 

Pertanyaan itu bukan ditujukan kepada Petrus tetapi kepada saya sendiri. Saya tidak bisa menjawab. Apalagi mengangkat muka. Saya tertunduk beberapa saat. Tuhan tahu bahwa saya mengasihi Dia. Tapi apakah lebih daripada yang lain-lain? Itu menjadi PR pertobatan saya sepanjang hidup. 

Pantas, ketika mendengar pertanyaan beruntun, Petrus si batu karang yang tegar itu pun luluh. Air mata berderai dan ia menangis sesenggukan. Kasih yang total, tak terbagikan, siapa bisa? Tapi itulah yang dilakukan-Nya terhadap kita, bukan? (bdk Yoh 13:5) Ia bahkan memberikan diri-Nya sendiri bagi kita. Tidak ada kasih yang lebih besar lagi daripada itu. tidak heran, kalau Ia menuntut yang sama dari kita. 

Tanpa kasih, tugas yang ringan menjadi berat. Apa yang mudah, terasa sulit sekali dilaksanakan. Sebaliknya tak ada yang berat dan sulit dilaksanakan kalau itu untuk kekasih. Semua kita tahu dari pengalaman masing-masing, bukan? 

Tugas yang diserahkan kepada Petrus, bukan ringan. Tanggung jawabnya berat. Kalau tanpa kasih yang besar kepada-Nya tak mungkin bisa dilaksanakan. Tidak hanya Petrus. Kita pun menerima tugas dan tanggung jawab yang serupa. Tugas apa? 

Pekerjaan harian kita entah di rumah, di kantor, di kelas, ya di mana saja. Setiap tugas mengandung tanggung jawab. Tentu sesuai dengan kemampuan kita. Apakah kita melaksanakannya demi kasih kepada Dia? Kalau tidak, maka tidak heran kalau kita acuh tak acuh dan melakukannya asal-asalan, bukan?

Wednesday, May 15, 2013

Ut Omnes Unum Sint!

Hari minggu itu saya pulang merayakan Ekaristi di stasi pedalaman. Saya singgah sebentar di rumah ponakan. Mau kunjungi kakak yang sakit. Ada yang berbisik. Pastor baru saja beri minyak suci. Saya kaget. Cepat-cepat saya ke kamarnya. Ia sedang bergulat dengan maut. Ia melihat saya. Mulutnya komat-kamit. Suaranya sudah tidak jelas. Ia melihat anak-anak dan isteri. Mulutnya tetap komat-kamit. Saya menganggukkan kepala. Saya memahami maksudnya. Jaga anak isterinya. Itu sudah diingatkannya sewaktu masih sehat. Orangtua siapa yang mau anak-anaknya bermusuhan? Semangat pesaudaraan harus digalang. Kerukunan terus dipupuk. Nasihat supaya kakak menjaga adik, kalau perlu mengalah, terus-menerus diberikan. Maksudnya tidak lain daripada tetap memelihara persatuan. 

Suasana serupa sangat terasa dalam Yoh 17:20-26. Yesus berdoa untuk persatuan tidak hanya bagi para murid. Ia berdoa juga bagi semua yang percaya kepada-Nya. Ia berdoa supaya kita bersatu. Tidak hanya antara kita, tetapi bersatu juga dengan Dia dan Bapa. Jika demikian maka seharusnya tak perlu diragukan persatuan umat kristiani, bukan? Dari pihak Allah, yes. Dari pihak manusia? Tunggu dulu. Orang bilang, sebanyak rambut di kepala, tentu yang bukan botak, sebanyak itu pula pendapat. Tidak heran, persatuan menjadi sulit. Tanpa persatuan kita menjadi skandal dan batu sandungan bagi orang lain. Dunia percaya kepada Kristus justru karena persatuan umat kristiani. Bukankah persatuan menjadi kebanggaan kita juga? Mau contoh? Kita sering membanggakan persatuan organisatoris mulai dari KUB/KBG atau stasi di pelosok sampai ke pusat kekuasaan di Roma. Perayaan liturgi sama. Hukum kanonik berlaku di mana-mana. Hanya sebatas inikah persatuan yang didoakan Kristus? Tentu tidak. Apa gunanya kita bersatu dalam perayaan liturgi, tetapi di luar perayaan kita tidak peduli terhadap nasib sesama? Jujurkah kita mengaku bersalah pada awal perayaan liturgi dan katanya mau bertobat, tapi di luar gereja kita tetap dendam? Perayaan iman yang mempersatukan kita dengan Tuhan, seharusnya disusul dengan kesaksian iman yang menghidupkan persatuan antar kita, bukan? 16052013

Tuesday, May 14, 2013

Membuka Ruang Bagi TUHAN

Ia rajin. Di kelas ia selalu duduk di depan. Penuh perhatian waktu kuliah. Hampir tidak pernah ia bertanya. Dia mengerti atau tidak bahan kuliah, entahlah. Saya kenal baik kemampuannya. Dia diluluskan karena pertimbangan lain. Bukan karena kepandaiannya. Itu terus terang saya katakan kepadanya sesudah yudisium. Dia tidak tersingung. Saya menganjurkan supaya dia menjadi katekis di pedesaan saja. Ia tidak mengiakan. Tidak juga ia membantah. Waktu berjalan terus. Kami tidak bertemu cukup lama. Pada suatu waktu dia mengundang saya. Untuk apa? Saya minta Romo turut saksikan pentasan Natal anak-anak. Katanya polos dan lugu. Ternyata, luar biasa. Anak-anak sendiri beraksi. Mulai dari ucapan selamat datang, persiapan panggung., pentasan, sampai akhir pentasan. Pesannya jelas. Yesus tidak menuntut banyak dari orangtua-Nya. Ia lahir di tempat binatang tapi disenangi, bukan hanya para gembala tapi juga para malaekat. Saya kagum. Ternyata ia yang tidak mampu di kelas sangat berhasil di antara anak-anak di KUB dalam kota. Saya disadarkan. Selalu masih terbuka ruang bagi Tuhan untuk melaksanakan karya-Nya lewat orang yang dipanggil-Nya. Semakin orang mengakui ketakmampuannya semakin nyata karya Allah. 

Hal serupa terasa dalam Yoh 16:12-15. Apa yang dikatakan Yesus, tidak ditangkap seluruhnya oleh para murid. Sekarang Dia harus kembali kepada Bapa. Tapi Roh Kudus akan memimpin mereka memahami seluruh kebenaran. Roh Kudus memberitakan keadaan baru. Apa itu? Persekutuan umat yang dihasilkan kematian dan kebangkitan Yesus. Semangat persaudaraan dalam Kristus tidak hanya digalang di kalangan sendiri. Tapi terbuka lebar bagi orang luar, termasuk musuh sekalipun. Terbukti dalam seluruh sejarah Gereja sampai sekarang, bukan? Lalu, masih terbuka juga ruang bagi Tuhan untuk berkarya dalam hidup dan kegiatan kita? 15052013

Saturday, May 4, 2013

Roh Kudus Anugerah Bapa Bagi Kita

Orang yang pernah hidup di asrama tentu ingat. Bagaimana peraturan asrama dilaksanakan? Hal yang sama terjadi juga kalau ada perintah khusus bapa atau ibu asrama. Kalau bapa atau ibu asrama ada, beres. Tapi kalau penguasa asrama itu tidak ada? Banyak waktu diisi dengan ceritera dan senda gurau. Aturan atau perintah itu tidak diindahkan sama sekali. Akibatnya sudah diketahui. Dapat siksaan bukan?Tetapi sesudah tamat, semuanya itu menjadi ceritera selingan hidup dan penyegar suasana. 

Hal ini tidak terasa dalam Yoh 14:23-29. Sudah dekat sekali saatnya Yesus berpisah dengan para murid-Nya. Yesus tidak lagi secara fisik mendampingi para murid-Nya. Akan ada situasi baru. Mereka hidup di tengah masyarakat yang tidak ramah. Tetapi mereka jangan cemas. Yesus tetap hidup dan mendampingi mereka dengan cara baru. Sabda-Nya tetap ada pada mereka. Sabda itu dapat menjadi pegangan. Itu kalau mereka tetap mengasih Dia. Mungkin mereka tidak merasa aman karena sikap lingkungan yang bermusuhan. Namun mereka tetap bertahan dan hidup damai. Bahkan mereka bergembira. Kematian Yesus merupakan cinta dan ketaatan-Nya pada Bapa. Dengan demikian Yesus mempermuliakan Bapa. Atas cara yang sama Ia dipermuliakan oleh Bapa. Begitu juga para murid yang tetap setia, biarpun harus mati sekalipun. Berpegang pada sabda Yesus membuka cakrawala baru. Justru dalam situasi sulit, sabda-Nya menjadi kekuatan dan sumber motivasi untuk bertahan. Berkat bantuan Roh Kudus para murid akan mengingat sabda Yesus dan memanfaatkannya pada setiap situasi yang berubah. Roh Kudus itulah anugerah Bapa bagi para murid yang ditinggalkan Yesus. Kita pun ditinggalkan Yesus secara fisik, bukan? Kita pun dapat menikmati semuanya ini. Itu kalau kita juga berpegang pada sabda-Nya dalam situasi apa pun. Mampukah kita? 05052013

Friday, May 3, 2013

Ditolak, Dibenci dan Dianiaya

Persoalan itu sangat sensitip dan sedang hangat dibicarakan. Sangat laris dari mulut ke mulut. Yang belum tahu, suka mencari tahu. Soal pelecehan seksual yang melibatkan figur publik. Telinga terasa gatal kalau tidak mendengar. Orang tidak lagi persoalkan, benar atau tidak. Tapi siapa berani mengecek kebenarannya langsung kepada yang empunya persoalan? Sama sekali tidak fair bila orangnya sendiri tidak didengarkan. Bagaimana kalau tidak benar? Kalau benar pun, apa untungnya kita membicarakannya? Apakah kita sendiri putih bersih? Diam-diam saya mendatangi orangnya. Saya baru saja menyinggung persoalan itu. Mukanya menjadi merah. Bibirnya gemetar. Bicaranya singkat. Persoalan sudah selesai, katanya. Tidak usah dipersoalkan lagi. Pembicaraan saya selanjutnya langsung dipotong. Sistim pembentengan dirinya sangat ketat. Tak ada celah sedikit pun untuk masuk. Untuk pertama kali saya merasa ditolak dalam pendekatan seperti ini. Sakit hati? Tentu saja. Maksud baik untuk melindungi nama baiknya gagal. Selanjutnya, katanya ia membenci saya. Rupanya ada masukan menyesatkan. Saya dianggap penyebar isu yang tak sedap itu. dagelan yang tidak lucu, bukan? 

Pengalaman ditolak dan dibenci bukan satu-satunya pengalaman saya. Pengalaman orang lain, boleh jadi jauh lebih hebat. Apalagi pengalaman Yesus. Sudah terjalin hubungan kasih antara Dia dan para murid-Nya. Begitu akrabnya sehingga Ia memanggil mereka sahabat. Tak ada jarak seperti tuan dan hamba. Dalam Yoh 15:18-21 hubungan-Nya dengan para murid itu dipertentangkan dengan hubungan dunia dengan para murid. Mereka tidak hanya ditolak tapi dibenci dan dianiaya. Nasib mereka tidak mungkin lebih baik dari pada Gurunya. Di dalam diri murid-murid-Nya Yesus sendiri dikejar oleh dunia (bdk Kis 9:5; Kol 1:24). Mengapa mau mengikuti Yesus dengan nasib sejelek itu? Karena nasib-Nya memang begitu. Itulah jalan satu-satunya menuju kebahagiaan sejati. Tak ada jalan tol. Lalu bagaimana? Lebih baik mogok? Atau cari jalan alternatip? Yang tidak mau mati bersama Dia, tak mungkin juga bangkit bersama Dia (bdk 1Tes 4:14). 04052013

Thursday, May 2, 2013

Kerelaan untuk Berkorban

Mengapa tidak dimakan, Bu? Tanya saya kepada ibu di samping saya. Ia membungkus kue yang disajikan dalam pesta itu. Kami lain minum kopi dan makan kue. Ini kebiasaan pesta di desa saya. Tapi ibu yang satu ini, tidak. Ia hanya minum kopi saja. Biar dibawa pulang untuk anak saya. Bisiknya agak malu. Setiap kali pulang ke rumah dia selalu tanya ole-ole. Dia pasti senang sekali. Kue ini kesukaannya. Saya tersentak. Saya makan, tanpa ingat siapa-siapa. Tapi ibu ini? Ia mengorbankan kesukaannya sendiri. Ia rela menanggung rasa malu asal anaknya bahagia. Saya terpojok dalam rasa malu dan bersalah. Berkorban demi kebahagiaan orang lain agaknya semakin langka, bukan? Orang beramai-ramai mengejar kebahagiaannya dan keluarganya. Kebahagiaan orang lain? Siapa peduli? Lihat saja korupsi yang sudah seperti kanker. Ia menyerang berbagai segi kehidupan di seluruh tanah air, bukan? 

Ini tentu saja bertolak belakang dengan semangat dalam Yoh 15:9-17. Yesus menyebut para murid sahabat-Nya. Hubungan antara sahabat tentu pada level yang sama. Tapi dengan syarat: melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Ia tidak hanya memberi perintah. Ia sendiri telah melaksanakan sendiri perintah itu. Perintah apa lagi? Tak bosan-bosannya Yesus berbicara tentang kasih. Kali ini bukan sembarang kasih. Kasih yang paling besar yakni memberikan nyawa untuk para sahabat. Bukankah Bapa telah memberi contoh? Ia memberikan Putera tunggal-Nya. Yesus sendiri mengorbankan nyawa-Nya demi keselamatan kita. Para martir pun demikian. Lalu kita? Bisakah kita mempertaruhkan nyawa untuk orang lain? Mengapa tidak? Masih ingat mama tadi, bukan? Dengan pengorbanan yang kecil tapi dilaksanakan dengan ikhlas maka kita pun sesungguhnya sedang berlangkah ke sana. 03052013

Wednesday, May 1, 2013

Tinggal dalam KasihNya

Sorotan matanya tajam. Tatapannya seakan-akan tidak berpindah. Tetap diarahkan ke wajah anak muda yang duduk di depannya. Bicaranya singkat dan sangat serius. Engkau harus kuat dalam iman. Rajin-rajinlah berdoa. Setia ke gereja pada hari Minggu. Jika tidak, maka engkau akan terseret ikut agama isterimu. Lalu bagaimana dengan anak-anakmu nanti? Berlakulah baik terhadap isteri. Tunjukkanlah teladan yang baik di rumah. Lama-kelamaan isterimu akan mengikuti engkau juga. Masa dia tidak tergerak. Tinggal di lingkungan mayoritas Katolik, koq. Bapa dan mama bahagia, kalau kamu bahagia. Tetapi kalau keluargamu hancur gara-gara agama masing-masing,….ia berhenti sejenak. Matanya menatap ke langit-langit. Terlihat jelas air mata tertahan di pinggir kelopak matanya. Kemudian ia melanjutkan, orangtua mana akan bahagia, kalau anaknya tidak bahagia? Saya yang mendengarkan dari tadi, ikut hanyut dalam keharuan. 

Suasana seperti ini terasa sekali dalam Yoh 15:9-11. Tak lama lagi Yesus berpisah dengan para murid-Nya. Ia sangat mengasihi mereka. Pada saat seperti ini, kasih-Nya itu diberikan sehabis-habisnya. Itu pun belum puas rasanya. Ia mau mengasihi mereka, sama seperti Bapa telah mengasihi Dia. Para murid hendaknya tetap tinggal dalam kasih-Nya ini. Inilah yang menjadi kebahagiaan dan sukacita Yesus. Kasih-Nya murni tanpa pamrih, tanpa batas. Bukankah kita ini pun para murid-Nya? Bagaimana kita dapat tinggal dalam kasih-Nya, selagi kita tidak bisa keluar dari lingkaran cinta diri yang tak berujung? 02052013