Tuesday, April 30, 2013

Ranting anggur yang mesti berbuah

Mangga di pekarangan kami seharusnya sudah lama berbuah. Tapi bunganya selalu gugur. Petugas pertanian menyarankan supaya diberi pupuk buah. Sesudah dipupuk ternyata benar. Buah bermunculan. Tapi lagi-lagi sial. Angin bertiup sangat kencang sampai-sampai pohon bertumbangan. Dahan mangga yang paling lebat buahnya patah. Buah yang masih muda tak berguna. Cabang yang patah pun tak ada gunanya lagi, selain jadi kayu api. Tapi tanam mangga bukan untuk kayu api, bukan? 

Yoh 15:1-8 berbicara tentang pokok anggur dan ranting-rantingnya. Ranting hanya bisa berbuah kalau tetap bersatu dengan pokoknya. Ranting yang berbuah dibersihkan supaya lebih banyak lagi buahnya. Tapi ranting yang tidak berbuah dipotong dan dibuang. Ini suatu kiasan. Yesus langsung menjelaskan kiasan itu. Dialah pokok anggur. Tentu bukan seperti pokok anggur seperti yang dinyatakan dalam Yer 2:21. Walaupun pada awalnya adalah pokok anggur pilihan, tapi berubah menjadi pohon berbau busuk, pohon anggur liar. Yesus adalah pokok anggur yang benar. Kita adalah ranting-ranting. Yesus menghendaki agar setiap pengikut-Nya menghasilkan buah-buah dalam kehidupan. Buah yang diharapkan tentulah kesucian hidup karena setia dan patuh pada perintah-Nya. Perintah yang mana? Apa lagi, kalau bukan hukum kasih (Yoh 15:12-17)? 

Perlu kita ingat! Kasih melawan arus cinta diri. Kasih bukan berpusat diri kita atau golongan kita sendiri tapi terarah kepada orang lain dan hanya mengejar kepentingan mereka. St Paulus yang hidup dari semangat Kristus, telah mengungkapkan penghayatan dan pelaksanaan kasihnya dalam 1Kor 13:1-7. Kemudian St Fransiskus menuangkannya dalam madah pembawa damai. Kita tinggal melaksanakannya. Siapa bilang gampang? Kalau kita mau berbuah, maka tak ada alternatip. Jika tidak, maka kita pasti dipotong oleh Bapa dari pokok anggur yang benar. Siapa mau? 01052013

Monday, April 29, 2013

Tuhan Ada di Pihak Kita

Wajahnya tidak seperti akhir-akhir ini. Kelihatan sangat cerah dan riang. Ia berceritera tanpa beban. Sudah dua kali mahasiswi itu menghadap ibu dosen. Sebelum dia berbicara, dosen itu sudah mengusirnya. Ibu itu tidak mau melihat mukanya. Soalnya ada isu yang tidak sedap di kampus. Katanya, sumber isu adalah mahasiswi itu. Sebab itu ia dilarang mengikuti kuliah ibu dosen itu. Sampai kapan? Terserah dosen. Kalau hatinya sudah tidak panas lagi. Tadi dia menghadap dosen itu lagi. Sebelumnya ia berdoa terlebih dahulu. Mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan. Ternyata ibu dosen menerimanya dengan baik sekali. Ia meminta maaf. Dosen juga meminta maaf. Ternyata info yang diterima dosen, salah. Yang paling bahagia tentu saja mahasiswi itu. Ia merasa plong. Tak ada beban lagi. Ia kembali dengan hati yang damai dan tenang. 

Siapa yang tak butuh damai dan ketentraman batin? Tanpa damai dan ketentraman batin, malam terasa sangat panjang dan menggelisahkan, bukan? Maka kata-kata penghiburan Yesus dalam Yoh 14:27-30 merupakan warta gembira. Terasa sangat sejuk. Dia segera pergi kepada Bapa. Tetapi Ia tidak meninggalkan para murid seperti anak ayam kehilangan induk. Ia tinggalkan damai sejahtera-Nya bagi kita. Roh Kudus akan menggantikan peran-Nya di tengah kaum beriman. Roh Kudus itulah menjadi pengantara kita di hadapan Bapa (bdk 1Yoh 2:1). Ia juga menjadi pembela kita di hadapan pengadilan manusiawi (Yoh 15:26,27). Maka tak ada alasan untuk gelisah. Apalagi Yesus pergi tapi Ia akan datang lagi kepada para murid-Nya. Begitu pasti jaminan damai sejahtera dari Yesus, bukan? Lalu mengapa kita cemas dan gelisah menghadapi tantangan hidup? Sebesar apa pun persoalannya, yakinlah kita, Tuhan ada di pihak kita. Bukankah itu janji Tuhan? 30042013

Sunday, April 28, 2013

Tak Kenal Maka Tak Sayang

Seorang nenek meminta bantuan. Anak yang diminta itu masabodoh. Nenek itu merasa heran. Lalu ia berpaling kepada saya. “Semua cucu di rumah saya tidak seperti ini. Apa saja yang saya minta atau suruh, pasti mereka buat”. Kemudian dia sadar. “O…ya, ini bukan cucu saya. Karena tak kenal, maka tak sayang. Kalau sayang, pasti dia buat”. 

Suasana seperti ini terasa juga dalam Yoh 14:21-26. Hanya orang yang mengasih Yesus, melaksanakan perintah-Nya. Dampaknya luarbiasa. Bapa-Nya mengasihi orang yang mengasihi Anak-Nya. Tidak hanya itu. Dia dan Bapa-Nya akan datang dan berdiam dalam diri orang yang mengasihi-Nya. Kalau Allah tinggal dalam diri kita, apa yang kita takuti atau cemaskan? Tetapi mengasihi Yesus tentu bukan soal rasa haru atau rasa tertarik pada-Nya. Mengasih Yesus harus diwujudkan dalam mengasihi sesama. Kita bisa berdalih, siapakah sesama saya? (Luk 10:29) Pasti Tuhan tidak menunjuk saudara-saudari kandung, orang sesuku, seagama. Mengapa? Tanpa ditunjuk pun, itu sudah menjadi kecenderungan kita, bukan? Yesus justru menunjuk kepada orang yang menderita dan bersengsara karena pelbagai alasan (bdk Mat 25:31-46) dan musuh kita (bdk Luk 10:25-37). Alasannya? Mereka itulah yang sering kita tolak dan jauhi. Hanya merepotkan dan mengganggu urusan kita. Apa untungnya menolong orang-orang seperti ini? Tetapi anehnya, mereka itulah Tuhan yang datang kepada kita dalam wajah yang lain (bdk Mat 25:42-45). Memang benar. Tak kenal maka tak sayang. Harta dan kepentingan telah membutakan mata hati dan iman kita. Bagaimana mungkin kita bisa melihat Tuhan di balik wajah penderita yang malang ini? 29042013

Saling Mengasihi

Sudah saksikan suami isteri berboncengan di sepeda motor, bukan? Suatu pengumuman tanpa kata. Yang merangkul adalah isteri. Yang dirangkul itu suaminya. Kelihatan betapa mereka saling mengasihi! Aneh kalau wanita yang di belakang itu bukan isteri. Bahkan patut dicurigai dan menjadi topik hangat percakapan di mana-mana. Bagaimana kenyataan sehari-hari di dalam rumah? Itu rahasia rumahtangga. 

Soal saling mengasihi ini dibicarakan juga dalam Yoh 13:31-35. Saling mengasihi bahkan dikatakan Yesus, suatu perintah baru. Baru apanya? Bukankah suami isteri biasa saling mengasihi? Begitu juga orangtua dan anak, antara saudara-saudari, dan teman-teman? Tetapi Yesus tentu tidak asbun (asal bunyi) atau ngawur. Saling mengasih antara para murid bersumber dari kasih-Nya kepada mereka. Kasih Yesus kepada mereka adalah kasih tanpa batas (Yoh 13:1) sampai memberikan nyawa-Nya bagi mereka (Yoh 10:15, 15:13). Maka kasih Yesus harus menjadi dasar, sumber dan contoh para murid saling mengasihi. Dengan melihat kasih persaudaraan dalam jemaat, orang luar mengenal kasih Yesus dan kasih Bapa. Kedengarannya bagus sekali, bukan? Bagaimana kita dapat mewujudkannya? Jangan-jangan hanya kelihatan di luar. Tapi kenyataan di dalam? Mungkin babak belur. Boleh jadi, tapi tidak sejelek itu. Jemaat perdana sudah menghidupinya secara nyata (Kis 2:41-47, 4:32-37). Persaudaraan mereka bukanlah persaudaraan yang semu. Mereka menjadikan harta pribadi menjadi milik bersama. Mereka saling berbagi. Tak ada yang berkekurangan. Kita pun sedang menuju ke sana. Tidak percaya? Koperasi kredit yang bertebaran di paroki-paroki jadi salah satu contoh. Di sana milik pribadi dilebur menjadi milik bersama. Tiap anggota boleh mendapatkannya sesuai kebutuhannya. Kalau setiap anggota tegak berdiri di atas dasar kasih Yesus dan menimba semangat dari sana serta mencontohi kasih Yesus yang mengasih tanpa batas, meski memberikan nyawa sekali pun untuk para sahabat, tak usah khawatir. Kewajiban untuk memperhatikan kebutuhan sesama pasti terpenuhi. Mari bergabung dalam kasih-Nya, yuk…! 28042013

Sunday, April 21, 2013

Serigala Berbulu Domba

Masih ingat pastor gadungan di tahun sembilanpuluhan, bukan? Enak saja ia masuk dan tinggal dalam biara suster di Bogor. Ia beri juga pengakuan kepada para suster dan merayakan Ekaristi bersama para suster. Namanya juga gadungan. Lama kelamaan, ketahuan juga belangnya. Di Timor agak lain. Mantan pastor jadi salah satu pimpinan Gereja Ortodox di Bali. Setelah beberapa lama ia pulang kampung. Entah ada hajatan di rumah keluarga atau mau mengembangkan sayap orthodox ke Timor. Ia sempat berbincang dengan beberapa umat. Ia membuat pernyataan yang konyol. Sekarang baru dia ketahui. Ternyata ada banyak kebenaran yang dulu dipalsukan dan disembunyi oleh pimpinan Gereja Katolik. Ia belum selesai bicara. Umat langsung memotong pembicaraannya. Ada yang masih menyapanya Romo. Yang lain memanggilnya bapa. Kalau pembicaraan ini sebelum bapa keluar dari imam, kami percaya. Tapi sesudah ke luar dari imam baru bapa angkat bicara, lebih baik bapa diam. Kami tidak mau dengar. 

Rupanya inilah pencuri dan perampok yang dikatakan dalam Yoh 10:1-10. Mereka masuk kandang domba tanpa melalui pintu. Merekalah orang asing yang tidak dikenal domba-domba. Mereka datang bukan untuk memberi hidup kepada domba-domba. Sebaliknya, mereka mencuri dan merampok umat. Maka waspadalah. Penduri dan perampok tidak menetap pada satu tempat tertentu. Mereka berkeliaran mencari mangsa yang empuk. Siapa tahu ada juga di paroki kita? Terlepas dari Yesus, mereka menyusup ke tengah domba seperti serigala berbulu domba. Maka kita perlu membina hubungan yang baik dengan Yesus. Hubungan yang erat ini akan melindungi kita dari gembala gadungan yang merugikan jiwa raga kita. Kita perlu berdoa agar Gembala yang baik memperhatikan para gembala kita agar mereka tidak mencari keuntungannya sendiri dengan mengorbankan domba-dombanya. 22042013

Saturday, April 20, 2013

Bukan Hamba Melainkan Sahabat

Begitulah nasib orang kecil. Mau cari nasib yang lebih baik. Tahu-tahu masa depan makin suram. Harga diri? Parah…sudah jatuh sama sekali. Baru mulai kerja apa yang diperintahkan. Sudah ada perintah baru lagi. Lantai baru selesai dingepel. Tapi dibilang kotor. Kerja tidak becus. Ada-ada saja hujatan datang dari anak-anak dan nyonya. Sering juga mendapat pukulan dari nyonya. Sementara tuan dan nyonya sudah pulas tidur, dia masih bereskan dapur. Besok pagi justru dia harus bangun lebih awal. Siapkan sarapan dan kerja rutin yang lain. Waktu istirahat hampir tidak ada. Gaji ? Sudah tidak seberapa, dibayar secara cicil lagi. Kalau ada piring yang pecah, gaji yang kecil itu dipotong nyonya. Kata pujian? Jangan harap. Terima kasih saja tidak. Itulah sepeneggal pengalaman seorang TKW yang melarikan diri dari Sabah, Malaysia. Bagaimana keadaan pekerja rumah tangga di tanah air? Mungkin tidak jauh bedanya, bukan? Tidak ada hubungan batin sama sekali. 

Keadaan ini jauh sekali bedanya dengan apa yang disajikan dalam Yoh 10:27-30. Terasa sekali hubungan yang sangat mesra antara Yesus dan para murid-Nya. Para murid mendengarkan kata-kata-Nya dan mengikuti Dia. Mereka percaya kepada-Nya. Yesus tidak hanya mengenal mereka secara umum. Ia menyebut mereka dengan namanya masing-masing. Ia mempunyai hubungan kasih yang sangat mendalam dengan para murid-Nya. Mereka bukan hamba melainkan sahabat-Nya (bdk Yoh 15:15). Dia memberi hidup yang kekal kepada mereka. Ia melindungi mereka dari segala ancaman. Tak seorang atau kekuasaan apa pun yang dapat merenggut mereka dari tangan-Nya. Mengapa? Karena dalam perkataan dan tindakan-Nya, Bapa sendiri berkata dan bertindak dengan penuh kuasa. Dia dan Bapa adalah satu. Bukankah ini suatu kabar gembira? Mengapa kita takut memberikan kesaksian iman kita kepada-Nya di tengah ancaman musuh? Harta dan nyawa kita boleh habis. Tapi hubungan kita dengan Dia tidak mungkin diputuskan. Keselamatan dan kebahagiaan kekal tidak mungkin direnggut dari kita, bukan? 21042013

Friday, April 19, 2013

Bertahan Jadi Pengikut Yesus

Badannya kurus. Tinggi badannya tidak seberapa. Rambut gondrong dan tidak disisr. Ia mengenakan pakaian seadanya. Singkat kata, penampilannya tidak meyakinkan. Ia konjak bemo yang biasa lewat di jalan Herewila, Naikoten. Waktu itu saya sedang berdiri di pendopo pastoran. P. Pfeffer (alm) ke luar dengan mobil. Di mulut jalan, ia berhenti sejenak. Lampu sein sudah dinyalakan. Dari arah kanannya melaju sebuah sepeda motor, disusul sebuah bemo. Pengedaranya berusaha untuk rem. Tetapi tidak bisa tidak tabrak mobil yang di depannya. Pengendaranya terjatuh dan masuk di parit. Ternyata ia anggota Polri. Ke luar dari parit dia mengambil ancang-ancang mau pukul P. Pfeffer. Konjak itu bertindak cepat. Ia segera turun dari bemo. Ia paling ngotot di antara semua yang menyaksikan peristiwa itu. Pa polisi tabrak mobil pastor, katanya. Saya saksikan sendiri. Masa, mau pukul pastor. Persoalan dibawa ke kantor polisi. Dari P. Pfeffer saya tahu bahwa di kantor polisi dia mendapat ancaman. Tetapi dia tetap memberikan kesaksian yang sama. Dia tidak bisa mengatakan lain dari pada kebenaran. Resiko? Pasti ada. Tetapi dia tidak takut.

Situasi seperti ini sangat kuat terasa dalam Yoh 6:60-69. Orang bertengkar dan bersungut. Perkataan Yesus keras sekali. Masa, Ia memberi daging-Nya kita makan dan darah-Nya kita minum? Yesus tetap ngotot. Tubuh dan darah-Nya sesungguhnya sumber hidup bagi manusia. Ini adalah suatu realitas ilahi. Hanya Roh Kudus yang mengerjakannya. Yesus tidak hanya mau dekat tapi bersatu dengan para murid-Nya. Hanya dengan itu kita selamat. Tetapi banyak yang tidak dapat menerima dan ramai-ramai meninggalkan Yesus. Yesus tidak bisa mengatakan lain dari pada kebenaran ini. Tanpa bersatu dengan Dia, kita tidak mungkin selamat. Sampai sekarang pun banyak yang tidak bertahan menjadi pengikut-Nya, bukan? Banyak yang kecewa dengan pelbagai alasan. Tetapi ada juga yang tetap setia seperti Petrus dan kawan-kawan. Yang tetap setia biasanya militant seperti martir dan berani mengorbankan apa saja termasuk nyawa demi Kristus. Lalu kita…? Malu ah, kalau tidak mau berkorban! 20042013

Thursday, April 18, 2013

Apa yang Kita Buat untuk Keselamatan?

Fr. Anton Kapitan dan Fr. Nus Luan melayani umat di Ndao selama Tri Hari Suci. Ndao sebuah pulau kecil di selatan pulau Rote. Itulah pulau terluar di Selatan tanah air kita. Lautnya sangat jernih. Penduduknya sekitar tujuh ribuan orang. Yang beragama Katolik enampuluh lima orang. Di antaranya duapuluh satu orang penduduk asli. Mayoritas beragama Kristen. Islam sekitar dua ribuan. Yang menarik bagi keduanya ialah kebiasaan orang Ndao menangkap ikan. Semua ikan yang ditangkap, langsung dicungkil matanya lalu dimakan mentah. Ketika diajak untuk makan mata ikan, mula-mula keduanya merasa jijik. Tapi karena diajak terus, akhirnya mereka ikut makan juga. Tapi sambil menutup mata. Mereka tidak berani makan mata ikan besar. Soalnya mulut berlumuran darah ikan. Sangat menjijikkan. Inilah ceritera mereka pada malam perayaan Paskah bersama umat di pusat paroki St Kristoforus, Baa, Rote. Ibu yang duduk di samping saya berbisik, jijik sekali. Belum berbudaya, ya Romo? Saya berkata, itulah budaya mereka, Bu. Itu baru darah mata ikan. Apalagi kalau darah daging manusia? 

Tapi justru inilah yang dikatakan oleh Yesus dalam Yoh 6:52-59. Reaksi orang Yahudi? Tentu saja jijik sekali. “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan?” (Yoh 6:52) Tetapi dalam semua ayat, Yesus berulang kali menandaskan pentingnya makan daging dan minum darah-Nya. Daging dan darah-Nya adalah jaminan hidup yang kekal. Jika tidak makan daging dan minum darah-Nya maka kita tidak akan tinggal di dalam Dia. Kalau begitu, mana mungkin kita bisa hidup dari Dia? Apa yang bisa kita buat untuk keselamatan? (bdk Yoh 15:5). Yang kita lakukan justru menjerumuskan diri dalam dosa berjuta wajah, bukan? 19042013

Wednesday, April 17, 2013

Makan Tubuh Kristus

Saya kagum. Usianya sudah 60-an tahun. Sudah lebih dari separuh usianya ia berada di Timor. Ia menjelajahi Timor Tengah Selatan, wilayah Kupang dan Rote. Kadang-kadang menyeberang ke pulau Sabu dan Alor. Ia berkeliling sambil mewartakan firman Tuhan. Ia seorang Pendeta GBI. Namanya Rayma. Seorang janda asal Amerika dengan dua orang anak dan empat orang cucu. Mereka berada di Amerika. Suaminya meninggal sekitar 10 tahun yang lalu. Demikian ceriteranya kepada saya dalam perjalanan dari Rote ke Kupang. Kebetulan kami duduk berdampingan. Ketika saya tanya, tidak ingat anak cucu di Amerika? Ia tertawa dan berkata, tentu ingat. Rencananya tahun ini ia merayakan Natal di Amerika. Tapi ia segera kembali. Masih jauh lebih banyak cucu di sini. Mereka semua memanggil saya oma, katanya sambil tertawa lagi. Ia memberi dirinya untuk jemaat dalam karya pewartaan. 

Tidak mungkin ia dapat melaksanakan semuanya ini jika tidak ditarik oleh Bapa. Demikian kita dengar dalam Yoh 6: 44-51. Yesus telah lebih dahulu melaksanakannya. Ia memberi diri sebagai roti hidup. Roti itu tidak lain dari daging-Nya sendiri. Jika orang tidak makan daging-Nya, tidak akan bersatu dengan Dia. Maka, tidak akan selamat. Memberi diri untuk keselamatan orang lain, selalu menarik. Hitung saja, berapa banyak pengikut Yesus di sebuah paroki, keuskupan, pulau, negara dan seluruh dunia? Semua kita datang kepada-Nya karena ditarik oleh Bapa. Memang Bapa mau supaya kita selamat. Keselamatan hanya dapat dicapai dalam dan melalui Dia. Ia memberi diri hanya demi keselamatan kita. Tidak ada perhitungan untung rugi bagi diri-Nya. ia mati supaya kita selamat. Sudah berapa kali kita makan daging-Nya dalam Ekaristi sejak menerima komuni pertama? Betulkah kita sudah erat bersatu dengan Dia, sehingga seperti Paulus kita boleh berkata: “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”? (Gal 2:20). Itu, rasul Paulus. Lalu kita? Sejauh mana kita juga seperti Kristus, berbuat sesuatu untuk kepentingan umum atau orang perorangan tanpa perhitungan untung rugi? 18042013

Tuesday, April 16, 2013

Datang Kepada Yesus

Saya tidak menyangka. jemaat di Gereja tetangga memperhatikan apa yang terjadi. Tiap minggu ada pelayanan di kapela Fetonai. Kalau bukan saya, maka salah seorang anggota DPP. Mereka merindukan pelayanan seperti itu. Tetapi tidak. Mereka dilayani hanya pada akhir bulan. Itu pun karena Pendeta mau menerima uang bulanannya. Sebagai pastor paroki saya belum tahu. Mereka semua menyeberang ke Gereja Katolik. Akibatnya, saya dilaporkan Pendeta ke Bupati. Saya kaget ketika dipanggil Pa Camat. Ada pertemuan dengan Pendeta dan semua umat yang menyeberang. Dalam pertemuan itu baru saya tahu. Pendeta telah membuat penelitian. Katanya, saya memaksa, membujuk dan merayu mereka dengan beras, bulgur, kopi dan gula. Dan itu komunis, tambah Pendeta. Giliran saya berbicara. Mumpung semua mereka ada di sini, tolong Pa Pendeta tanya. Kapan saya melakukan semuanya itu. Siapa saja yang dipaksa, dibujuk dan dirayu. Kalau ada, silakan ambil kembali sekarang. Tetapi jangan dipaksa. Mereka telah masuk ke rumah kami. Kami wajib melindungi mereka. Ternyata, tidak ada seorang pun yang kembali. Pendeta minta maaf dan menarik kembali kata-katanya. 

Usaha untuk melindungi semua yang telah datang, disemangati oleh Yoh 6:35-40. Yesus tidak akan membuang seorang pun yang datang kepada-Nya. Kita telah diserahkan Bapa kepada-Nya. Ia hanya melakukan kehendak Bapa. Jangan sampai ada yang hilang. Masih Ingat gembala yang baik? Ia mencari seekor domba yang tersesat sampai menemukannya kembali, bukan? Tidak tertutup kemungkinan, di antara kita ada yang sedang tersesat mencari keselamatan dalam black magic. Yang lain sudah lama tidak lagi ke gereja. Yang lain sedang kecewa dan tidak bersemangat lagi. Kita cenderung untuk berkata, peduli amat dengan yang satu itu, bukan? Masa, yang banyak ini ditinggalkankan? Tidak tahu. Inikah kehendak Bapa? Kita masih pengikut Kristus, atau sedang mengikuti siapa, ya? 17042013

Monday, April 15, 2013

Untuk Apa Mencari Yesus?

Sudah tahu koq nanya! Begitulah ungkapan yang sering kita dengar. Sebenarnya tidak perlu tanya lagi. Sudah jelas dan dimenengerti, atau sudah lihat dan dengar sendiri. Mau tanya lagi untuk apa? Hanya sekedar iseng, atau tidak percaya? 

Alasan tidak percaya inilah yang kita dengar dalam nada tanya orang Yahudi dalam Yoh 6:30-35. “Tanda apakah yang Engkau perbuat, supaya dapat kami melihatnya dan percaya kepada-Mu”? Nenek moyang orang Yahudi sudah makan manna di padang gurun (Kel 16:1-10). Itu mereka tahu. Lalu mereka angkat dalam dialog dengan Yesus. Roti itu bukan diberi oleh Musa, demikian kata Yesus, tetapi oleh Bapa-Nya, yang di sorga. 

Orang kristian menganggap manna di padang gurun sebagai lambang Ekaristi (1Kor 10:3-4). Yesus mengartikan manna itu sebagai lambang makanan iman yang sesungguhnya (Yoh 6:35-50), yakni daging dan darah-Nya, sumber hidup kekal (Yoh 6:51-58). Karena itu Yesus berkata, “Roti yang dari Allah ialah roti yang turun dari sorga dan yang memberi hidup kepada dunia. Siapa yang percaya, akan tetap hidup” (Yoh 6:33). Mereka lalu meminta supaya diberikan roti itu. Apakah mereka sudah percaya? Tidak! Yang mereka cari adalah roti yang akan mengenyangkan perut mereka. Aneh, bukan? Dahulu orang mencari Yesus, karena makanan saja, sudah tidak selamat. Apalagi sekarang orang meninggalkan Yesus, karena makanan, pacar atau lain sebagainya? Mencari Yesus karena percaya akan Dia, itu baru selamat. Percaya akan Yesus pun, harus dibuktikan dengan perbuatan nyata. Bukan hanya dalam kata-kata gombal, bukan? 16042013

Sunday, April 14, 2013

Percaya Kepada Yesus

Saya lihat engkau rajin sekali bolak balik jemput orang hari ini. Kata saya kepada seorang tukang ojek yang saya kenal. Lagi panen Romo, katanya. Sekarang sedang kampanye di stadion. Orang mau ikut kampanye. Mereka itu pendukung paket ini? Tanya saya. Entahlah, Romo. Tiap kali kampanye mereka yang itu-itu saja ikut. Yang penting, mereka dapat baju kaos frei. Dan saya? Apalagi, kalau bukan ini. Katanya sambil mempermainkan ibu jari dan telunjuknya. Mau pilih siapa, pasti mereka sudah tahu. Itu bukan tujuan mereka ikut kampanya, kata tukang ojek itu.

Situasi ini sama seperti dalam Yoh 6:22-29. Massa rakyat mencari Yesus di seberang danau Tiberias. Lihat sana-sini, tidak ada. Dalam perahu yang satu itu pun Dia tidak ada. Hanya murid-murid-Nya saja. Pasti Yesus sudah di Kapernaum. Mereka menyewa perahu-perahu yang ada dan menyusul. Setelah bertemu, mereka bertanya dengan antusias: “Rabi, bilamana Engkau tiba di sini”? (Yoh 6:25) Tetapi Yesus tahu baik sekali makna pertanyaan itu. Maka Ia menjawab langsung ke inti persoalan. “Sesungguhnya kamu mencari AKu, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang” (Yoh 6:26). Menanggulangi bahaya kelaparan, itu soal jasmani yang sepele. Yang paling penting, justru tidak diminati orang Yahudi. Apa itu? “Percaya kepada Dia yang telah diutus Allah” (Yoh 6:29) yang mengerjakan semuanya itu. 

Apakah hal itu hanya terjadi pada orang Yahudi sejaman Yesus? Saya yakin, tidak. Mau bukti? Kita rela berjemur di panas matahari berjam-jam, menunggu jatah beras raskin. Tak ada yang mengeluh panas atau terlalu lama. Tapi misa yang berlangsung lebih dari sejam, kita mengeluh terlalu lama, bukan? Berbicara dengan teman kencan atau sahabat lama berjam-jam sampai pulsa habis, tidak ada soal. Tapi berdoa selama lima menit atau lebih, siapa tahan? Terlalu lama, bukan? Tapi kalau mau selamat, tidak ada pilihan lain. Bekerja untuk mendapatkan makanan yang dapat bertahan sampai hidup kekal. Apa itu? Ia telah memberi jawaban pasti: percaya kepada Yesus, Putera Allah. Ia tetap hidup di tengah kita untuk menyelamatkan kita. 15042013

Saturday, April 13, 2013

Kesadaran Akan Hadirnya TUHAN

Belum ada pekerjaan tetap. Bagaimana menghidupi keluarga? Tapi juga soal harga diri, bukan? Masalah inilah yang menggelisahkan salah seorang teman saya selama ini. Ia sudah coba kerja di LSM, terjun ke dunia politik dan menjadi guru tidak tetap. Semuanya tidak memberikan suatu jaminan pasti. Ijasah sarjana saja tidak bisa diandalkan. Biar ada lowongan kerja harus ada koneksi. Terakhir ia turut mendaftar penerimaan calon anggota Bawaslu. Itu pun baru diketahuinya pada hari terakhir. Jam 16.00 hari itu ditutup. Repotnya, tinggal tiga jam saja. Ia harus memasukkan semua persyaratan. Ia tidak mengenal siapa-siapa di kantor-kantor yang harus memberi surat keterangan. Surat keterangan itu pun tidak cuma-cuma, bukan?. Uang di kantong hanya duapuluh lima ribu rupiah. Apa cukup? Di saat itulah baru ia teringat akan Tuhan. Sebelum ke luar rumah ia berdoa. Mohon Tuhan bantu. Kirim orang mendahuluinya. Ternyata benar. Di semua kantor yang ia datangi, selalu ada orang yang sangat bersahabat. Malahan untuk menutupi kekurangan uang, ada juga yang memberikannya seratus ribu rupiah. Urusan lancar. Persyaratan dimasukkan pada waktunya. Ia makin percaya. Tuhan sungguh hadir dan menolong. 

 Kesadaran akan hadirnya Tuhan kita temukan juga dalam Yoh 21:1-14. Petrus dan kawan-kawan berusaha menangkap ikan. Semalam suntuk mereka berusaha keras. Tetapi sia-sia. Mereka tidak menangkap seekor pun. Hari mulai siang. Apa yang mau dibawa pulang untuk anak isteri? Di tengah sia-sianya usaha dan kegelisahan itulah, Yesus tampil. Tanpa diketahui dan disadari seorang jua pun. Yesus memberi petunjuk dari jauh. Petrus dan kawan-kawan mengikuti petunjuk itu. Hasilnya? Luar biasa! Banyak sekali ikan yang ditangkap. Pada saat itulah baru murid yang dikasihi Tuhan sadar dan berseru: “Itu Tuhan” (Yoh 21:7). Rupanya inilah kebiasaan kita pada umumnya. Waktu susah baru teringat akan Tuhan. Begitu pula segera sesudah ke luar dari kesulitan. Sesudah itu, biasa-biasa lagi. Dalam keadaan bahagia kita lupa kembali, bukan? Inikah manusia berbudaya? 14042013

Dalam Tuhan Ada Ketenangan

Semalam saya hampir tidak bisa tidur. Balik kiri, putar kanan, sama saja. Saya gelisah sekali. Demikian aku seorang teman. Soalnya, saya sudah menyakitkan hati seorang yang tak bersalah. Itu hanya karena ceroboh. Saya terlalu percaya kepada isteri sendiri. Lalu orang kecil itu didamprat habis-habisan di hadapan orang banyak. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk dia membela diri. Setelah direnungkan kembali, ternyata bukan dia. Orang lain yang bersalah. Lalu giliran saya disiksa nurani saya. Mata tetap tak terpejamkan. Hampir-hampir mau bangun malam itu juga untuk mencari dan berdamai dengan orang itu. Tapi sudah jam 24.13 malam. Orangnya pasti sudah nyenyak. Akhirnya, saya angkat hati kepada Tuhan. Mohon ampun atas kesalahan di siang hari tadi. Tak lupa janji kepada Tuhan, besok pagi pertama-tama saya cari orang itu dan mohon maaf. Saat itu baru batin terasa tenang dan selanjutnya tak sadar lagi… sampai bangun pagi. 

Ada kesan pengalaman teman saya ini tidak bedanya dengan pengalaman para murid dalam Yoh 6:16-21. Laut mengamuk. Angin kencang. Hari sudah gelap. Yesus belum datang. Para murid ketakutan.Setelah Yesus naik ke perahu, semuanya tenang. Kita terasing dalam kecemasan dan kegrlisahan, karena kita mengira Tuhan tidak ada, atau sangat jauh. Kita tak berdaya menghadapi terpahan gelombang masalah dalam hidup. Bila kita mengangkat hati kepada Tuhan yang selalu setia menemani kita, keadaan berubah dan menjadi normal kembali. Ini bukan hanya pengalaman teman saya atau para murid di Danau Genezareth. Tapi masing-masing kita pernah mengalaminya, bukan? 13042013

Thursday, April 11, 2013

Makna Pelayanan Sejati

Saya tahu. Kamu pun tahu. Ya, semua kita tahulah. Untuk duduk di kursi nomor satu, bukan perkara gampang. Tidak mungkin hanya hasil perjuangan satu orang. Banyak pihak terlibat. Terlebih team sukses: atur strategi, terjun langsung ke desa-desa. Semua cara dipakai. Tidak peduli halal atau tidak, asal menang. Isu sara dihembuskan. Main uang terlebih waktu serangan fajar, pasti terjadi. Itu sudah diatur dalam strategi. Tidak bisa dibuktikan, bukan? Orang mengorbankan waktu kerja dan istirahat, berlelah-lelah sampai berkeringat, bukan tanpa pamrih. Ada udang di balik batu. Kalau bukan posisi di pemerintahan, paling kurang kecipratan rejeki di bagian proyek. 

Bau tak sedap dari kursi no. I ini tercium juga dalam Yoh 6:1-15. Ini bermula dari masalah kesehatan masyarakat. Banyak orang sakit disembuhkan Yesus. Tidak perlu bayar lagi. Itu sudah terjadi di seberang sana danau Tiberias. Lalu di seberang sini, soal bagaimana mengatasi kelaparan masyarakat. Kira-kira lima ribu laki-laki. Kalau dihitung juga wanita, mungkin lebih kurang dua kali lipat. Semuanya datang tanpa bekal. Para rasul pada cemas. Mau kasih makan apa? Hanya ada lima roti jelai dan dua ekor ikan. Yesus mengatasi masalah pangan juga. Bukan dengan raskin. Lagi-lagi tanpa bayar. Mulai kasak kusuk. Masalah kesra beres, karena Yesus tergerak oleh belas kasihan. Keamanan dan kenyamanan hidup terjamin. Dia ini benar-benar nabi yang dinanti-nantikan seluruh bangsa. Maka dengan suara bulat mereka mau menjadikan-Nya raja. Tetapi Yesus tidak akan menari menurut irama gendang demokrasi yang ditabuh massa. Yesus hanya mengikuti kehendak Bapa yang mengutus-Nya. Maka menyingkirlah Ia ke gunung seorang diri. Jelas sekali bukan? Pelayanan Yesus bukan demi jaminan apa pun di dunia ini. Malah Ia mengingatkan: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi ia kehilangan nyawanya”? (Mrk 8:36). Maka pelayanan yang kita berikan entah kepada pribadi atau publik demi suatu imbalan tidak cocok dengan semangat Kristus, bukan? Apakah bisa terjadi? Jokowi dan Dahlan Iskan sudah berjalan di depan mengikuti langkah Kriistus. Siapa menyusul? 12042013

Wednesday, April 10, 2013

Apakah Kamu tidak Mau Pergi Juga?


Siapa lagi yang lebih kaya, kalau bukan orang mabuk? Semuanya dia punya. Bicaranya hebat sekali. Tapi setelah sadar, betulkah dia punya segala? Sama halnya dengan juru kampanye. Apa yang tidak bisa dilakukan jika jagonya terpilih? Mau apa saja, jadi. Jalan hotmix masuk desa? Air bersih dan listrik? O…beres, asal pilih, ya? Semuanya seperti membalikkan telapak tangan. Sesudah terpilih? Semua orang sudah tahu. Janji tinggal janji. Sampai jumpa lagi pada janji pilkada atau pemilu yang akan datang. Begitulah pengalaman dari putaran ke putaran pilkada atau pemilu.

Beda sekali dengan kesaksian Yohanes Pembaptis dalam Yoh 3:31-36. Menurut Yohanes Pembaptis, Yesus datang dari atas. Ia memberi kesaksian tentang apa yang dilihat dan dan didengar-Nya dari Bapa-Nya di surga. Atas kehendak Bapa segala kekuasaan diserahkan ke dalam tangan Anak. Tidak heran, apa yang dikatakan-Nya terjadi. Semuanya baik. Orang sakit sembuh. Orang buta melihat. Orang lapar dikenyangkan. Orang berdosa diampuni. Yang tersesat dihantar kembali. Orang mati dihidupkan kembali. Tidak asal bunyi (asbun) ala orang mabuk atau jurkam, bukan? Maka seharusnya, tidak ada alasan untuk tidak percaya kepada Yesus. Kenyataannya?

Banyak sekali yang jelas-jelas tidak mau percaya kepada-Nya. Kita yang mengaku pengikut-Nya? Tak ada tantangan, kita setia dan mengikuti-Nya. Tapi dihadang tantangan, kita meninggalkan-Nya, bukan? Ini bukan soal baru bagi Yesus. Dari dulu secara massal orang meninggalkan-Nya. Ingatlah saat Ia mengatakan bahwa orang harus makan daging-Nya dan minum darah-Nya. Kalau tidak maka ia tidak akan mempunyai hidup dalam dirinya. Apa yang terjadi? Orang tidak hanya bersungut, menjijikkan! Beramai-ramai orang pergi meninggalkan-Nya. Apakah Yesus menyesal? Atau meralat dan menarik kembali kata-kata-Nya demi banyaknya pengikut? Sama sekali tidak. Ia bahkan menantang keduabelas rasul: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (bdk Yoh 6:45-71). Tantangan bagi kita juga, bukan? Massa umat meninggalkan-Nya pun tidak soal. Apalagi saya yang cuma seorang ini. Siapa yang rugi? 11042013

Tuesday, April 9, 2013

Berada di bawah hukuman

Masih adakah hukum di negeri ini? Seorang anggota kopasus dikeroyok empat orang NTT sampai mati. Tentu ada sebabnya, bukan? Informasi memang simpang siur. Tiap orang bebas berpendapat. Yang paling jelas dan pasti, tentu informasi dan keputusan dari meja hijau. Tapi belum ada proses hukum. Belum diketahui pasti apa sebabnya. Belum ada keputusan tetap, bersalah tidaknya pelaku pembunuhan. Tapi perburuan oleh kopasus sudah menembusi tembok tebal dan penjagaan ketat lapas. Atas nama solidaritas korps, keempat pelaku dihabiskan secara brutal di lapas. Hukum Negara seperti tak berdaya diujung senjata. Yang berlaku ialah hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang benar dan menang. Kopasus ko dilawan? 

Sepintas lalu kelihatan sama dengan apa yang terjadi dalam Yoh 3:16-21. Coba dengar pernyataan Yesus: “Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum. Tetapi barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah” (Yoh 3:18). Belum ada proses hukum, tapi sudah ada hukuman. Sewenang-wenang, bukan? Nampaknya, memang demikian. Tapi sesungguhnya tidak. Penghukuman itu tidak berasal dari instansi mana pun di luar diri orang yang tidak percaya. Penghukuman itu muncul dalam hati orang yang bersangkutan. Bisa begitu? Penghukuman itu merupakan pilihan bebas pelaku. Tidak mau ada hubungan dengan Tuhan, yang adalah terang dunia (bdk Yoh 8:12; 9:5). 

Tidak usah ditanya, mengapa. Kita manusia memang cenderung lebih suka akan kegelapan daripada terang. Kita tidak mau kejahatan kita diketahui orang. Kalau kelihatan dan ketahuan umum kan malu. Syukur, bahwa masih ada budaya malu. Kebanyakan orang beradab lebih suka mati daripada hidup menanggung malu. O…itu dulu. Sekarang, rasa malu sudah hilang, bukan? Biar ketahuan, misalnya korupsi dipoles dengan senyum yang manis. Lalu kita? 10042013

Berani Bersaksi tentang Iman

Saya berceritera tentang luas dan panjangnya padang pasir yang terbentang antara Mesir dan Tanah Suci. Bisa dibayangkan, sulitnya perjalanan Musa dan umat Israel waktu itu. Siang, matahari panas terik. Pasir juga pasti panas sekali. Tidak ada satu pohon pun untuk berteduh. Sebaliknya malam, dingin luar biasa. Mereka berjalan dalam rombongan yang besar. Pasti ada orang yang sudah lanjut usia, ibu-ibu hamil atau yang sedang menetek bayi, dan orang sakit. Tidak heran orang Israel berontak melawan Musa. Dari mana mendapat air dan makanan? Romo ini, macam ke tahu-tahu saja. Begitulah sela seorang teman yang baru bergabung. Memang, Romo kan baru pulang dari Tanah Suci. Demikian jawab salah seorang teman yang sedang asyik mendengar. 

Agak mirip dengan situasi pembicaraan Yesus dengan Nikodemus dalam Yoh 3:7-15. Yesus berbicara tentang apa yang diketahui-Nya dari Bapa. Dia memberi kesaksian tentang apa yang Dia lihat pada Bapa. Ia menyampaikan firman dan ajaran Bapa (Yoh 3:34; 8:28). Ia sendiri adalah firman itu (Yoh 1:1, 14). Tetapi orang Israel tidak percaya. Bicara tentang hal ihwal duniawi saja, orang tidak percaya. Apalagi kalau hal-hal surgawi? Yesus memberi kesaksian tentang kebenaran (Yoh 18:17), untuk melawan dunia (Yoh 7:7) dan membela Bapa serta diri-Nya sendiri sebagai utusan Bapa (Yoh 3:11, 31-32). Pada gilirannya Bapa memberi kesaksian membela Anak (Yoh 5:31-37; 8:18). 

Bukankah ini pun menjadi tantangan bagi kita sekarang di Indonesia? Kita hidup dalam masyarakat majemuk. Bagaimana kita dapat memberi kesaksian tentang iman kepercayaan kita, tentang Kristus dan Bapa? Bukankah kita merasa risi dan kikuk berhadapan dengan golongan lain? Pada akhirnya bisa ditebak: kita menjadi apatis, atau menjadi sangat fanatik, bukan? Tidak tertutup kemungkinan, akhirnya kita pindah agama. Maka jauh lebih bijak, bila kita tekun mendalami iman kita agar dapat bersaksi. 09042013

Hari Raya Khabar Sukacita

Berita gembira. Tapi juga mengejutkan. Jo lulus lomba sains SD di tingkat kabupaten. Tanggal 2 April 2013 ia harus ke Kupang untuk mengikuti perlombaan tingkat propinsi. Saya saksikan Pa Mikhael dan Ibu Maria Anunciata orangtua Jo di Pantai Baru, Rote, waktu itu sangat gembira. Jo sendiri tidak ada di rumah. Ia sedang bermain dengan teman-teman. Mendengar berita bahwa ia lulus seleksi, Jo antara percaya dan tidak. Tidak ada eksprsi gembira pada anak yang lugu itu. Beberapa saat kemudian baru ia tanya: “Benarkah bapa?” Kami semua turut meyakinkannya. Kepala SD pun datang untuk mengucapkan selamat dan memberikan dukungan. 

Suasana ini agak mirip dengan apa yang terjadi dalam Luk 2:26-38. Maria terkejut mendengar salam Malaekat. Ia tentu tidak mengira, apa lagi mengharapkannya. Para nabi telah meramal ratusan tahun lalu (bdk Yes 12:6, Zef 3:14-15, Yl 2:21-27, Za 2:14. 9:9). Seluruh bangsa Israel menanti dengan rindu selama ini. Semuanya itu dikaruniakan Allah kepadanya. Apakah ini berita gembira bagi Maria? Atau suatu malapetaka? Terbayang masalah besar di depan mata. Bagaimana mungkin menjadi ibu tanpa suami? Bukankah itu memalukan dan berarti mati dirajam dengan batu? Malaekat perlu menguatkan Maria. “Roh Kudus akan turun ke atasmu dan kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaungi engkau…” (Luk 2:35). Bukan berarti semuanya menjadi jelas dan beres bagi Maria. Malaekat menandaskan: “Bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk 2:35). Dalam suasana beginilah Maria menyatakan ketaatan seorang hamba. Bukan kemauannya sendiri, melainkan kehendak Tuhanlah yang terjadi. “Aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 2:36). Penyerahan total pada kehendak Allah tanpa diskusi lebih lanjut. Taat seumur hidup dalam pelbagai peristiwa hidup. Tidak mudah bukan? Bukankah biasanya kita lebih suka ngotot menggolkan kemauan kita sendiri? Apa lagi kalau dikaitkan dengan harga diri? Kita perlu belajar dari Maria, mengorbankan kehendak sendiri, demi kehendak Tuhan yang menyelamatkan. 08042013

Saturday, April 6, 2013

Tanda Pengenal


Saya tidak percaya, Romo. Itu bukan kepribadian suami saya yang sesungguhnya. Ia penuh perhatian pada keluarga. Tiap hari ia selalu menanyakan keadaan anak-anak. Kepada saya diperingatkan supaya jaga anak-anak dan jaga diri baik-baik. Saya kenal sungguh suami saya. Tapi sekarang sudah lain sekali. Mungkin isu tentang ada wil itu benar. Masa, telepon tidak diangkat-angkat. BBM tidak pernah dijawab. Tidak biasa begini. Berubah total. Ia bukan yang dulu lagi. Demikian curhat seorang teman di fb tentang suami yang sudah buka usaha di kota lain. Ada tanda pengenal khusus. Suaminya penuh perhatian pada keluarga. Jika identitas ini hilang, maka ia bukan suami yang dulu lagi.

Tanda pengenal, kita temukan juga dalam Yoh 20:19-31. Yesus yang bangkit memperkenalkan diri kepada para murid. Para murid perlu diyakinkan. Dia yang mati di salib itu sudah bangkit. Lihat saja tangan yang dipaku dan lambung yang ditombak. Inilah identitas Yesus yang bangkit. Kalau tidak ada tanda penyaliban, mungkin saja hantu. Yesus yang dengan tanda penyaliban itulah menyampaikan salam damai kepada para rasul. Sepertinya Ia sudah lupa sama sekali. Tidak ada masalah yang terjadi sebelumnya. Pada hal mereka lari meninggalkan-Nya dalam penderitaan. “Damai sejahtera bagi kamu” (Yoh 20:19). Para rasul pasti merasa plong. Tidak hanya itu. Dahulu Ia biasa membela dan melindungi mereka terhadap para pemimpin Yahudi. Sekarang Ia sudah ada lagi. Maka tidak perlu takut lagi terhadap musuh bebuyutan itu. Roh, semangat damai sejahtera ini harus mereka teruskan juga kepada orang lain. Karena itu Ia menghembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:23). Inilah identitas Yesus yang bangkit. Dengan tanda penyaliban, rela memberikan pengampunan dan mewariskannya dalam Gereja, yang didirikan-Nya. Apakah semangat pengampunan-Nya ini diwarisi juga para pengikut-Nya zaman ini? Perhatikan saja! Hanya karena masalah kecil, kita sudah tidak mau omong lagi dengan orangnya. Lalu jadi pendendam. Lebih tragis lagi, sudah bertahun tahun tidak menerima Sakramen Pengakuan. Toh, masih tetap mengaku pengikut Kristus. Aneh, bukan? 07042013

Friday, April 5, 2013

Mendadak Beriman (?)

Orang gempar. Ceritera beredar begitu cepat. Beramai-ramai orang berkunjung ke Sulamu di tahun 1996. Tidak hanya dari kota Kupang dan sekitarnya. Orang datang juga dari TTS, TTU dan Belu. Orang biasa dan pejabat, besar kecill berduyun-duyun ke Sulamu. Hari Sabtu dan hari Minggu paling ramai. Soalnya, ada ‘penampakan’ Yesus di salah satu gereja di Sulamu. Waktunya sudah pasti, tiap hari pada jam 10.00. Orang yang baru pulang menyaksikan ‘penampakan’ itu menambah bumbu ceritera. Tambah menarik, bukan? Tapi benarkah ada penampakan? Lama kelamaan ketahuan. berkat kemajuan iptek, slide Yesus diproyeksikan ke kaca gereja. Pantulan dan bias cahaya kaca menambah indahnya panorama pantulan slide. Orang kecewa karena terkecoh? Mungkin! Tapi rupanya orang begitu bersemangat untuk percaya kepada ‘penampakan’ di jaman ini. 

Beda dengan para rasul dalam Mrk 16:9-15. Mula-mula Maria Magdalena menceriterakan penampakan Yesus yang bangkit kepadanya. O…Maria Magdalena? Dialah perempuan yang pernah kerasukan tujuh roh jahat. Rasul siapa yang mau percaya? Lalu datang ceritera dua murid yang pulang dari luar kota. Itu orang-orang frustrasi. Kecewa berat sebab harapannya akan Yesus sia-sia. Pasti itu halusinasi. Para rasul merasa terlalu naif untuk percaya kepada orang yang frustrasi. Baru, setelah Yesus menampakkan diri kepada mereka, mereka percaya. Bukan karena ceritera si A atau si B. Tapi karena Tuhan sendiri. Mereka lamban sekali percaya. Begitu juga sikap resmi Gereja hingga kini. Yesus mencela mereka. Tetapi Yesus juga tidak memuji orang yang cepat percaya, bukan? Mengapa ya? Iman kepercayaan itu anugerah Tuhan. Ia bertumbuh dan berkembang melalui suatu proses yang alot. Bukan dadakan mengikuti keinginan kita. Iman dadakan biasanya tidak tahan uji bila ada cobaan. Kepada mereka, yang imannya tahan ujilah, Yesus berpesan: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk!” (Mrk 16:15). Kita pun harus menjadi saksi bagi-Nya, bukan? (bdk Kis 1:8) Lalu bagaimana? 06042013

TUHAN Selalu Beserta Kita

Kadang-kadang hidup ini terasa hampa. Rasa jenuh, bosan, malas, bahkan frustrasi bercampur aduk. Acara mandi pagi pada jam tertentu, molor. Bisa-bisa sampai jam 09.00. Bahkan tidak mandi sama sekali. Putar musik keras-keras pun tidak menolong apa-apa. Batin tetap kosong. Kita kesepian di tengah keramaian. Lalu bagaimana? Harus tekun melakukan sesuatu. Kalau tidak, maka hari ini merupakan hari yang paling menyiksa hidup. 

Suasana seperti ini sangat kentara terasa dalam Yoh 21:1-14. Yesus, guru mereka sudah mati. Memang sudah dua kali Ia menampakkan diri. Tapi tidak seperti biasa lagi. Mereka tidak dibawa-Nya berkeliling sambil berbuat baik. Rasa kehilangan Tuhan membuat mereka patah semangat. Hidup tak bergairah lagi. Untung Petrus mengambil prakarsa. “Aku pergi menangkap ikan” (Yoh 21:3). Yang lain seperti anak kecil berteriak: “Kami juga pergi dengan engkau” (Yoh 21:3). Tapi sialan! Mereka tidak menangkap apa-apa. Yesus menyuruh supaya buang jala di sebelah kanan. Mereka ikut. Hasilnya, luar biasa. Banyak sekali ikan yang ditangkap. Murid yang dikasihi Tuhan langsung berteriak: “Itu Tuhan” (Yoh 21:7). Bersama dengan Tuhan, hari sial menjadi keberuntungan. Bosan berubah menjadi rileks. Mereka sarapan di pinggir pantai seperti piknik bersama Tuhan. Itu pengalaman para rasul minus Yudas. 

Lalu pengalaman kita? Tuhan pasti menyertai kita selalu. Tidak hanya waktu senang. Tapi juga waktu susah. Tidak peduli entah hari yang membosankan atau yang menggairahkan. Itu adalah janji Tuhan sendiri (bdk Mat 28:20). Tetapi kita tidak seperti murid yang dikasihi Tuhan. Kita tidak cekatan menangkap tanda-tanda kehadiran Tuhan. Apakah arti kehadiran Tuhan, kalau bukan untuk menyelamatkan kita? Tapi kita lebih mengandalkan daya nalar dan kekuatan kita sendiri. Tatkala daya nalar dan tenaga kita tak sanggup lagi, maka kita loyo, patah semangat dan frustrasi. Kita juga tidak cepat berinisiatip melakukan sesuatu secara serius seperti Petrus. Kita terperangkap dalam kejenuhan dan frustrasi. Akibatnya, marah-marah tanpa alasan. Atau ke luar rumah entah ke mana. Siapa tahu, di luar sana, kecelakaan atau maut sedang mengintai? Apakah salah Tuhan, karena kita terperangkap dalam kejenuhan dan kebosanan hidup? 05042013

Bangkit Bersama DIA dan Berubah

Rupa-rupa ceritera pengalaman tentang orang mati. Ada yang takut. Bayangan seram-seram. Apalagi kalau berjalan sendirian di malam gelap. Rasanya kepala membesar. Bulu badan berdiri. Ada yang rindu bertemu kembali dengan kekasih yang meninggal. Biar hanya dalam mimpi. Tetapi toh tidak terjadi. Ada yang tidak mengharapkan, tapi bertemu dalam mimpi. 

Dalam budaya asli, ada kepercayaan tentang hidup sesudah kematian. Versinya tidak sama. Intinya, hidup tidak berakhir dengan kematian. Hidup hanya diubah. Bukan dilenyapkan oleh kematian. Pengalaman para rasul dalam Luk 24:35-48 menguatkan keyakinan kita. Yesus sudah wafat dan dimakamkan. Seluruh kota Yerusalem jadi saksi. Para musuh mengira, Ia sudah habis. Ternyata pada hari ketiga Ia bangkit. Ia menampakkan diri. Ia pun menyampaikan salam damai kepada mereka, yang sudah lari meninggalkan Dia sendirian. Bisa dimengerti. Para rasul terkejut dan takut. Kita pun pasti tidak beda dengan para rasul. Tetapi sesungguhnya bukan hal baru. Menurut Yesus sendiri, semuanya sudah difirmankan Allah. Simak saja Taurat Musa, kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur. Tapi dari dulu sampai sekarang, kurang ada tanggapan, bukan? Kebangkitan orang mati dan kehidupan kekal tidak tergantung pada ada kepedulian atau tidak. Tapi dampaknya berbeda. Itu sudah pasti. Yang peduli akan memasuki Kerajaan yang telah disediakan dari awal dunia (bdk Mat 25:34). Yang acuh tak acuh dipastikan terjun bebas ke api yang kekal. Di sana iblis dan malaekat-malaekatnya sedang menanti (bdk Mat 25:41). Sekarang masih ada waktu untuk kita sambut “warta pertobatan dan pengampunan dosa” (Luk 24:48). Sesudah itu tak mungkin lagi. Terbentang jurang yang tak terseberangi (Luk 16:26). Mumpung masih diberi waktu, marilah kita bangkit bersama Dia dan berubah! 04042013

Paskah: Meninggalkan "Kebiasaan" Lama

Tokoh yang satu ini sangat nyentrik. Mau tidak mau menarik perhatian. Dialah satu-satunya murid yang berani protes Guru dan Tuhannya. Waktu Yesus membasuh kaki semua murid, Yudas tidak protes. Yang lain pasrah saja. Tapi Petrus protes. Masa, Guru dan Tuhannya mau membasuh kakinya? Dia saja tidak buat. Bukankah itu tugas para hamba? Tidak hanya itu. Semuanya sedang galau. Salah satu di antara mereka akan mengkhianati Gurunya. Tapi belum tahu siapa. Dia memberi isyarat kepada murid yang dikasihi Tuhan. Entah dengan kedipan mata, jari tangan atau dengan angkat kepala, pokonya tanya segera. Siapa itu? 

Ketika Yesus mengatakan: “Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang” (Yoh 13:13), yang lain tidak bereakasi. Tetapi Petrus tidak bisa diam. Dia bersoal jawab dengan Yesus: “Tuhan, ke manakah Engkau pergi?” (Yoh 13:16) Yesus tidak memberikan jawaban langsung: “Engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku” (Yoh 13:37). Mengapa tidak sekarang? Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu. Yesus menyindirnya. Bahkan Yesus menegaskan, sebelum ayam berkokok, ia sudah tiga kali menyangkal-Nya.Tetapi Petrus pemberani. Itu dia buktikan di Taman Getsemani. Gerombolan orang Yahudi mau menangkap Yesus. Petrus maju seorang diri. Ia menyerang. Telinga Malkhus, hamba Imam Agung jadi bukti (bdk Yoh 18:10). Unjuk keberanian Petrus berakhir di sini. Selanjutnya dia sangat lemah dan tak berdaya. Seorang hamba perempuan mengamat-amatinya. Sambil menunjuk kepadanya ia berkata bahwa Petrus juga murid Yesus. Rupanya Petrus ketakutan. Ia menyangkal. Secara beruntun sampai tiga kali ia tidak mengenal Yesus. Ketika matanya melihat Yesus, hatinya hancur. Ia menangis dan meninggalkan tempat itu dengan sedih. Itulah sosok Petrus ‘lama’ sebelum Yesus dibangkitkan. Dia cuma jago kandang, sangat berani di kalangannya sendiri. Tetapi di tengah orang lain, nyalinya hilang. Ia tidak berkutik. Setelah Yesus bangkit, ia menjadi Petrus ‘baru’. Aslinya muncul kembali. Bahkan lebih hebat lagi. Para rasul lain tidak percaya. Para wanita baru pulang dari makam. Kubur kosong. Yesus sudah bangkit. Petrus cepat-cepat lari dan cek di tempat. Benar seperti dikatakan para wanita. Ia sendiri keheranan. “Apa kiranya yang telah terjadi” (Luk 24:13). Setelah Yesus menampakkan diri kepadanya, ia lebih berani lagi. Ia tampil gagah berani memberikan kesaksian di muka umum. Yesus yang dibunuh dan disalibkan telah dibangkitkan Allah. Allah telah membuat-Nya menjadi Tuhan dan Kristus. Ia juga berani memberi kesaksian yang sama di hadapan mahkamah agama. Tidak ada tanda sedikit pun Petrus ‘lama’. 

Lalu kita? Sudah rayakan Paskah, kebangkitan Tuhan. Kalau kita masih tetap kembali ke kebiasaan lama kita, entah itu mabuk, judi, korupsi, atau masuk kantor lalu ngobrol atau cari Koran, malas tahu tentang nasib orang kecil dan lain-lain, kita sesungguhnya masih seperti yang dulu. Perayaan Paskah cuma upacara peringatan peristiwa yang sudah lama lalu. Apa dampaknya untuk hidup ke depan? 03042013

SALAM PASKAH!

Selamat Pesta Paskah. Maaf, terlambat sekali sebab saya baru pulang merayakan Pekan Suci di wilayah tanpa sinyal. Biar terlambat, tapi semangat Paskah tidak akan terlambat, sebab terus membara ...

Pengkhinatan Yudas

Tahun 1987-1990 saya menjadi pastor LP Penfui. Tiga kali seminggu saya mengadakan kegiatan di LP. Hari Rabu pembinaan rohani, hari Jumat persiapan perayaan Ekaristi dan hari Minggu perayaan Ekaristi. Umat Katolik dari seluruh NTT ada di LP. Pada umumnya mereka dihukum lebih dari lima tahun. Salah seorang dari mereka mendapat hukuman seumur hidup. Bagaimana mungkin saya tidak emosi, Romo. Begitu ia memulai ceriteranya. Sudah lama saya dengar gosip. Tapi saya lebih percaya isteri saya. Sikapnya tidak menimbulkan kecurigaan apa pun. Dia setia melayani saya dengan memuaskan. Ternyata semuanya itu sandiwara. Saya tangkap basah keduanya di tempat tidur kami. Darah saya mendidih. Otak waras tidak kerja lagi. Saya langsung tebas dengan kelewang. Mahasiswa yang saya tampung selama KKN itu mati di tempat. Isteri meratap mohon ampun. Tapi darah sudah mendidih sampai di ubun-ubun. Saya tebas juga isteri saya. Lalu saya serahkan diri kepada polisi. Mahasiswa itu hari-hari baik sekali. Ia memanggil saya bapa. Isteri saya, mama. Ternyata kurang ajar sekali. Orang bilang, makan di piring, berak di piring. Dan isteri saya? Tiap malam ia mencium saya sebelum tidur. Kalau saya ingat ciumannya itu, Romo, saya muak dan benci sekali. Saya dikhianati oleh isteri sendiri. Mahasiswa yang saya anggap sebagai anak sendiri pun mengkhianati saya. Sakit sekali, Romo. Lebih baik saya hidup seorang diri. 

Pengkhianatan yang dialami bapa di LP itu mirirp dengan pengalaman Yesus dalam Mat 26:14-25. Tetapi tidak sama. Bapa itu dikhianati di tempat suci keluarga. Yesus dikhianati di tempat suci dalam perjamuan tubuh dan darah-Nya, Ekaristi. Bapa itu tidak memberi peringatan. Ia menunggu sampai menangkap basah. Yesus memberikan peringatan dini, supaya Yudas menyadari ngerinya pengkhianatannya. Tetapi tidak digubris. Bapa itu menghabiskan nyawa pengkhianatnya. Perbuatan sekejam itu bertentangan dengan tujuan kedatangan Yesus. “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10). Yesus sungguh menyesali perbuatan nekad Yudas: “Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan” (Mat 26:24). Kata-kata ini bukan hanya ditujukan kepada Yudas. Lalu kepada siapa lagi? Kepada siapa saja yang berkhianat. Masing-masing kita bertanya sendiri: “Bukan aku, ya Tuhan?” (Mat 26:22) Semoga Ia tidak berkata seperti kepada Yudas: “Engkau telah mengatakannya” (Mat 26:25). 27032013