Saturday, June 15, 2013

Sadari Keberdosaan Kita!

Ia tahu saya pulang kampung. Sore itu dia datang sambil menggendong seorang anak kecil. Dalam hati, saya berkata, pasti ini anaknya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia meletakkan anak itu di pangkuan saya. Lalu ia duduk di lantai. Ia menangis dan memeluk kaki saya. Dia sadar telah mengecewakan saya. Sambil menangis ia berkata, kalau bapa marah terhadap saya, sudahlah itu nasib saya. Tapi bapa jangan marah anak tak berdosa ini. inilah cucumu, bapa. Saya ini anak durhaka. Tidak dengarkan bapa. Tanpa sadar air mata menetes di pipiku. Dia ini adalah ponakan saya. Belum lama diwisuda. Tahu-tahu kembali berhubungan dengan pacar lama, kawan sekolah di SMP. Pekerjaannya tak menentu. Bertani, tidak. Bertukang pun tidak. Lalu bagaimana dengan rumah tangganya? Saya menginginkan kebahagiaan keluarganya. Tapi mungkin hidup bersama dengan pilihannya inilah yang membahagiakannya. Saya berusaha menghiburnya. Semoga dia berbahagia bersama anak dan suaminya. Dia bukan berhenti menangis, tapi tangisnya malah makin menjadi-jadi. Saya biarkan dia menangis selama beberapa saat sampai akhirnya berhenti. 

Sadar akan kedurhakaan dan dosa itu menjadi adegan mengharukan dalam Luk 7:36-50. Seorang wanita terkenal berdosa kelas berat mendatangi Yesus. Ia sadar sekali akan dosanya. Ia pun tahu Tuhan sangat baik. “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8). Ia pasti mengampuni dosanya yang begitu banyak. Bukankah Ia bersabda: “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju” (Yes 1:18). Sementara dia sendiri? Kesadaran akan kebaikan dan pengampunan Tuhan telah mendorongnya untuk berbuat apa saja yang terbaik. Tidak peduli apa kata orang. Ia menangis di depan banyak orang. Air matanya membasahi kaki Yesus. Tanpa malu ia menyeka kaki Yesus dengan rambutnya. Ia juga tidak hitung untung rugi. Ia menyirami kaki Yesus dengan minyak yang paling harum dan paling mahal. Lalu ia menciumnya berulang-ulang. Ia sadar akan malangnya keadaan berdosa dan besarnya cinta serta kebaikan Tuhan. la terdorong untuk bangkit kembali. Ia menempuh hidup baru dan berbuat kasih tanpa hitung untung rugi. Kalau dia bisa, mengapa kita tidak? 16062013

No comments:

Post a Comment