Friday, May 24, 2013

Biarkan Anak-anak datang padaKu

Zzzzzzzziut lepas. He, Deni jangan pegang itu. Nanti pecah. Pergi main di depan. Perintah ibu kepada Deni, anaknya. Deni berlari ke pendopo depan. Dasar anak kecil. Tidak bisa tenang. Dia tidak peduli. Bapa sedang berbicara dengan tamu. Tanpa basa-basi dia bertanya. Ini om siapa, bapa? Sebelum bapa menjawab, dia bertanya lagi. Om datang buat apa? He, pergi main di belakang. Bapa omong dengan tamu. Begitulah nasib anak kecil. Diusir dari belakang ke depan dan dari depan ke belakang rumah. Lalu dia harus ke mana? 

Tidak hanya di rumah. Di tempat ibadat pun demikian, bukan? Orangtua membawa anaknya ke gereja. Lalu anak lepas kontrol. Lari kiri kanan sambil teriak. Sangat mengganggu ketenangan suasana ibadat. Timbul bermacam reaksi. Ada yang cuma melirik ke arah orangtuanya. Ada yang mendeham. Sampai-sampai imam yang pimpin perayaan pun tidak tahan. Langsung saja tegur dari altar atau mimbar. Singkatnya ada sikap menolak. 

Begitu juga di masa Yesus, bukan? Lihat saja reaksi para murid dalam Mrk 10:13-16. Orang tua membawa anak-anaknya kepada Yesus. Tetapi murid-murid marah kepada mereka, Tidak ada bedanya dengan kita yang mau menjaga ketenangan di sekitar altar, bukan? Tapi bagaimana reaksi Yesus? Memuji mereka sebab menjaga ketenangan di sekitar-Nya? Yesus balik memarahi para murid: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku. Jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Mrk 10:14). 

Tidak hanya itu. Yesus masih memberi peringatan keras. “Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya” (Mrk 10:15). Pada hal, semua kita mau ke sana, bukan? Lalu bagaimana? Lihat saja apa yang dibuat Yesus. Ia memeluk anak-anak itu. Rupanya inilah kekurangan besar kita zaman ini. Kita tidak merangkul anak-anak. Ada anak yang sudah ditolak sebelum lahir, lalu digugurkan. Banyak juga yang kurang mendapat perhatian. Di rumah orangtua sibuk. Diharapkan agar para guru mendidik anaknya di sekolah. Pada hal para guru takut dituduh orangtua melanggar HAM. Tidak heran para guru masabodoh. Mereka hanya memfokuskan perhatian pada mutu ilmu pengetahuan. Lalu bagaimana di lingkungan paroki? Katekese anak dan pembinaan lain pun belum menjadi perhatian penuh banyak paroki, bukan? Pada hal anak-anak adalah harapan orangtua, asset masa depan Gereja, nusa dan bangsa, bukan? Kalau begitu, apa yang harus kita buat? 25052013

No comments:

Post a Comment