Tuesday, September 3, 2013

Renungan 1 Agustus

Sebagai frater Tahun Orientasi Pastoral (TOP), pada tahun 1969, saya menjadi bapa asrama untuk Sekolah Teknik dan Sekolah Pertukangan di Larantuka. Pada suatu pagi, baru saja selesai mengajar, saya diberitahu bahwa Pa Dandres mau bertemu. Wah, saya salah apa ini? Itulah yang pertama muncul dalam pikiran saya. Ternyata Pa Dandres minta bantuan. Kalau bisa anaknya diterima juga di asrama. Dari penjelasannya saya mengetahui bahwa inilah jalan terbaik. Anaknya yang juga siswa ST terlalu nakal di rumah. Baru saja ia menghajar adiknya sampai terjatuh dari tempat tidur. Mungkin gegar otak sebab sampai muntah-muntah. Pa Dandres mau menindaknya, tapi mamanya selalu bela. Dari pada ribut di rumah lebih baik anak ini masuk asrama saja. Saya prihatin dengan Pa Dandres. Tokoh yang sangat dihormati di seluruh Kabupaten Flores Timur tapi di rumah sendiri rasanya isteri dan anak tidak respek. Situasi serupa terbersit dalam Mat 13: 53-58. Yesus mudik bersama para murid-Nya. Tapi bukan dalam rangka lebaran. Di kampung asal-Nya ini Ia mengadakan beberapa mujizat. Pada hari Sabat Ia memberikan pelajaran kepada orang sekampung-Nya. Mula-mula mereka kagum atas mujizat dan pengajaran-Nya. Muncul pertanyaan di antara hadirin. “Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa mengadakan mujizat-mujizat itu?” (Mat 13: 54) Pertanyaan merambat hingga ke status dan asal usul Yesus. Sebenarnya biasa-biasa saja. Ia kan tukang kayu dari lingkungan mereka sendiri. Jadi hebat apanya Dia itu? Kenyataan ini membuat mereka enggan menerima pengajaran-Nya dan mujizat-mujizat-Nya. Yesus tidak heran akan kekecewaan dan penolakan mereka. “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya” (Mat 13: 57). Bagaimanakah reaksi para murid? Memang tidak dinyatakan Matius. Tapi bisa dipastikan mereka marah. Sama dengan reaksi Yakobus dan Yohanes ketika orang Samaria menolak Yesus memasuki kampungnya. Keduanya mau minta api turun dari langit untuk membinasakan kampung itu (bdk Luk 9:51-56). Bukankah ini menjadi pelajaran berharga bagi para murid? Tuhan saja ditolak. Apalagi para murid-Nya. Tapi apakah hanya orang Nazaret dan Samaria menolak Yesus? Saya yakin kita, para pengikut-Nya pun tidak ketinggalan menolak Dia dalam hidup kita. Kita kan lebih suka mengikuti keinginan kita walaupun bertentangan dengan ajaran dan kehendak-Nya. Jika tidak, maka tidak ada lagi pelanggaran yang terjadi, bukan? 02082013

No comments:

Post a Comment