Saturday, September 14, 2013

Mencari Domba yang Hilang

Pater Daniel Siga dan kembarnya Bapa Baltasar Kodi (lebih terkenal dipanggil Bal) sulit dibedakan. Bukan hanya wajah, tapi suara, gerak-gerik dan penampilannya persis sama. Pada suatu pagi Bapa Bal baru saja meninggalkan rumahnya. Tidak lama kemudian datanglah Pater Dan Siga. Karena sudah makin banyak rumah di sekitarnya ia lupa-lupa ingat rumah saudaranya itu. Maka ia bertanya kepada tetangga, di mana rumah Bapa Bal. Tetangga heran. Yang lain prihatin dan berkata, kasihan sekali. Baru saja ke luar rumah lalu gila? Masa, cari rumah sendiri. Pater Dan berusaha meyakinkan tetangga. Saya bukan Bapa Bal. Orang tambah kasihan dan berkata, aduh, sudah parah sekali ini. Tidak kenal lagi diri sendiri. Dalam hal ini, tentu saja tetangga keliru. Dikira Bapa Bal mencari rumah sendiri. Keadaannya lain dari pada perumpamaan gembala yang baik dalam Luk 15: 1-7. Bermula dari orang-orang berdosa. Mereka bergaul dengan Yesus. Orang Farisi dan Ahli Taurat berengut. Bagaimana mungkin, Yesus begitu akrab dengan orang berdosa. Kelihatan Ia menikmati pergaulan itu. Seharusnya Ia menjauhi mereka. Begitulah asal usul perumpamaan ini. Gembala yang baik meninggalkan domba-domba yang setia. Ia tidak berkata, peduli amat dengan yang satu itu. Lebih baik menjaga yang banyak dan masih setia ini. Tidak! Ia mencari terus yang tersesat itu sampai dapat. Betapa gembiranya gembala yang baik itu. ia berceritera tak habisnya kepada tetangga supaya mereka ikut berbahagia dengannya. Kita pun mendengar ceritera-Nya supaya bisa mencontohi-Nya. Tidak hanya senang dengan orang yang baik. Kita harus terus berusaha supaya yang hilang ditemukan kembali. Lebih baik lagi kalau kita mencegah agar jangan sampai ada yang hilang bukan? Siapa yang sedang hilang sehingga harus dicari? Mungkin orang yang serumah dengan kita. Anak-anak kita yang takut berterus terang kepada orangtua. Katanya mau kerja tugas atau setudi bersama. Tahu-tahu mau pacaran atau mau bergaul bebas. Mungkin juga suami atau isteri yang sedang hilang. Memang seranjang, tapi siapa tahu sedang rindu akan yang lain di luar sana. Lalu siapa yang harus cari dan menemukan kembali kalau bukan kita sendiri? 15092013

Thursday, September 5, 2013

Berbagi

Pengalaman mahasiswa hampir sama saja. Kiriman uang dari orangtua belum tiba. Sementara makanan sudah habis. Coba-coba pinjam uang dari teman atau dari kenalan. Syukur kalau dapat. Jika tidak maka terpaksa pinjam beras dari teman di kamar sebelah. Tapi kali ini sial, demikian cerita seorang mahasiswa kepada saya. Temannya juga sedang krisis. Beras tinggal satu gelas. Tidak cukup untuk dibagi dua. Hanya bisa masak bubur untuk temannya sendiri. Maka tadi malam dia terpaksa tidur tanpa makan. Situasi krisis pangan terasa juga dalam Mat 14: 13-21. Jauh di tempat terpencil. Hari sudah mulai malam. Orang banyak yang mengikuti Yesus sudah kelelahan dan lapar. Para murid mendekati Yesus. Suruhlah mereka urus diri masing-masing, cari makan di desa-desa sekitar. Jawaban Yesus tidak terduda-duga. “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan” (Mat 14: 16). Persoalannya, dari mana mendapat makanan di tempat terpencil menjelang malam untuk orang sebanyak ini? Yang ada cuma lima buah roti dan dua ekor ikan. Mana cukup untuk semuanya? Untuk para murid saja pun, barang kali tidak cukup. Begitulah sifat kita manusia pada umumnya. Sudah berkecukupan pun belum tentu rela berbagi, apa lagi tidak cukup untuk diri sendiri. Yesus meminta supaya ‘yang sedikit’ itu dibawa kepada-Nya. Sesudah itu dikembalikan kepada murid-murid-Nya. Tapi bukan untuk mereka sendiri. Mereka harus berbagi dengan orang yang menderita. Ternyata mereka semua berkelimpahan. Yang makan lima ribu pria. Belum terhitung wanita dan anak-anak. Luar biasa bukan? Apa yang kita kira ‘tidak cukup’ untuk kita, tapi kalau dibawakan kepada Tuhan, maka Tuhan mengembalikannya berlipat ganda. Bukan hanya untuk kita sendiri tapi harus berbagi dengan sesama. Tapi kalau kita cuma mengeluh “tidak cukup” mana mungkin ada perubahan? Belum coba, bukan? 05082013

Wednesday, September 4, 2013

Bertolak Lebih Ke Dalam!

Rupanya teman itu sudah tidak tahan lagi. Kritik dan saran saya terlalu banyak pada kineranya. Akhirnya ia berkata, e….di kelas itu Romo punya bidang. Tapi di lapangan pastoral ini saya punya bidang. Jangan ajar bebek berenang. Saya langsung knock out.

Keadaannya mirip dengan Luk 5: 1-11. Petrus dan kawan-kawan sudah turun ke darat. Sepanjang malam mereka melaut. Sialan! Tidak tangkap seekor ikan pun. Kecewa? Tentu saja. Ditambah lagi kecapaian. Tapi belum selesai bersihkan jala, Yesus menyuruh Petrus menolakkan perahunya ke laut lagi. Bukan menangkap ikan tapi Ia mau mengajar orang banyak dari atas perahu. Rupanya Yesus juga senang dengan situasi baru. Setelah selesai mengajar, Yesus berkata: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan” (Luk 5: 4). Yesus kan dari Nazaret. Orang gunung. Hari-hari hanya ukur jalan dari kota ke kota. Kalau mengajar orang banyak, memang Dia hebat. Tapi tangkap ikan? Tahu apa Dia? Semuanya ini rupanya hanya dalam hati. Tapi dari apa yang terungkap ke luar bisa ditebak. “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga” (Luk 5: 5). Hasilnya? Di luar dugaan. Luar biasa banyak. Petrus sendiri tidak bisa menarik jalanya. Perlu minta bantuan teman-teman. Petrus menyesal telah berprasangka buruk. Ia harus berterus terang: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa” (Luk 5: . Itulah Petrus. Spontan mengaku bersalah biarpun cuma di hati. Reaksi Yesus? Kecewa atau marah? Sama sekali tidak. Ia malah membebastugaskan Petrus dkk dari menjala ikan menjadi penjala manusia. Suatu kehormatan buat mereka. Petrus dkk serentak meniggalkan pekerjaan pokok dan keluarganya lalu mengikuti Dia. Menarik bukan? Petrus spontan mengaku bersalah. Yesus memberi kepercayaan dan kehormatan besar kepada orang yang baru saja berprasangka buruk terhadap-Nya. Lalu kita? 05092013

Tuesday, September 3, 2013

Ibadat yang Sejati

Tunggu air sudah sampai di batang leher, baru kamu cari Ketua KUB. Hari biasa kamu masabodoh saja. Waktu doa kelompok, katekese umat dan latihan koor, saya tidak pernah lihat kamu punya muka. Tapi kalau perlu surat rekomendasi untuk pembaptisan anak, kamu datang untuk paksa-paksa saya. Demikian kata ketua KUB kepada salah seorang anggota kelompoknya. Habis, saya lihat kamu yang rajin doa dan misajuga sama saja dengan kami yang tidak rajin ini. Jawab bapa itu, tetapi dengan suara kecil sehingga tidak terdengar Ketua KUB. Itu berarti doa dan kegiatan rohani lainnya tidak berdampak apa-apa dalam hidup harian. Ada jarak antara kegiatan rohani dan kegiatan sehari-hari. Lain halnya yang kita temukan dalam Luk 4: 38-44. Setelah melakukan kegiatan di rumah ibadat, Yesus langsung menuju rumah Simon. Jaraknya dekat sekali. Hanya beberapa langkah saja. Apa yang diwartakan di rumah ibadat langsung dilaksanakan di rumah Simon. Di rumah ibadat, tentu saja Yesus menyampaikan firman Allah yang menyelamatkan. Keselamatan itu langsung terjadi atas ibu mertua Simon yang sedang sakit. Ia disembuhkan oleh Yesus. Tidak hanya itu. Biarpun matahari sudah terbenam, Yesus tetap meyembuhkan para penderita yang dibawa kepada-Nya. Setan-setan diusirnya dari orang yang kerasukan. Keselamatan yang diwartakan dalam ibadat langsung dilaksanakan di masyarakat. Tidak ditunda sampai terlupakan atau terabaikan. Beda dengan para pemimpin Yahudi. Mereka mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang di rumah ibadat. Tapi di luar sana, mereka menelan rumah janda-janda (Luk 20: 47). Ibadat tak berdampak dalam peri laku di tengah masyarakat. Begitulah para ahli Taurat dan orang Farisi yang dikritik Yesus. Bagaimana kita? 04092013

STOP PRESS!

Pembaca sekalian,
beberapa renungan saya yang tidak sempat diposting ke sini bisa dibaca langsung dari facebook saya https://www.facebook.com/rmande.kebelen
Terimakasih!

Apa kita Mau mengikuti Dia?

Saudara sepupu saya rada-rada aneh. Sesudah tamat SMP ia tidak mau melanjutkan sekolah. Ia berdalih mau menolong mamanya kerja di kebun. Bapanya meninggal ketika kami di kelas lima Sekolah Rakyat (SR). Tetapi sesudah delapan tahun menjadi petani ia mengikuti kursus persamaan guru. Waktu itu memang sangat kurang tenaga guru untuk mengajar di SR. Setelah selesai kursus ia ditempatkan di salah satu SR. Letaknya agak jauh dari kampung kami. Yang menjadi kepala sekolah waktu itu adalah teman kelasnya di SR. Sepupu saya tidak mau menjadi guru bantu di sekolah itu. Maunya menjadi kepala sekolah. Alasannya, temannya itu dulu biasa nyontek pekerjaannya. Masa, ia menjadi guru bantu pada orang yang lebih bodoh. Lalu ia mengadu nasib ke Sabah. Kerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit. Di tempat baru ini pun ia gagal. Ia tidak mau menjadi buruh tapi mau menjadi mandor. Kakak saya mengatakan kepadanya, ke mana saja engkau pergi, engkau akan gagal. Kalau mau menjadi besar, engkau harus merangkak dengan susah payah dari bawah. Masa, engkau mau langsung duduk di atas. Perjalanan hidup sepupu saya bertolak belakang dengan apa yang tersirat dalam Luk 9: 28b-36. Sementara berdoa di atas gunung, roman muka Yesus berubah memancarkan kemuliaan. Pakaian-Nya pun menjadi putih berkilauan. Ia sedang terlibat dalam pembicaraan serius dengan dua tokoh agung masa lampau, Musa dan Elia. Topik yang dibahas pun tidak main-main, tentang kepergian-Nya ke Yerusalem. Tujuan kepergian-Nya sudah lama sekali direncanakan Allah dan tersurat dalam Taurat Musa dan kitab nabi-nabi. Ia pasti mengalami penolakan oleh para imam, tua-tua dan seluruh bangsa-Nya sendiri. Ia akan ditinggalkan para pengikut-Nya, dianiaya sampai mati di salib. Tapi itu bukanlah akhir melainkan jalan untuk memasuki kemuliaan dalam kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Dengan jalan ini Ia akan membebaskan kita dari kekuasaan iblis dan diangkat untuk melihat kemuliaan-Nya. Allah sendiri menyatakan kepada para murid, Petrus dkk bahwa Yesus yang melaksanakan rencana-Nya ini adalah Anak-Nya. Dengarkanlah Dia. Kita memang sudah sering mendengar tentang jalan sengsara yang ditempuh-Nya untuk masuk dalam kemuliaan. Tapi apakah kita mau mengikuti-Nya? Kebanyakan kita lebih suka memilih jalan pintas seperti sepupu saya. Selalu gagal mencapai kebahagiaan sejati, bukan? Lalu apa? 06082013

Tentang Harta Kekayaan

Saya bersyukur bisa bertemu dengan Fransesco Iguji di biara Fransiskan di Lamsai, Bangkok. Itu terjadi pada tgl 5 Mei yang lalu. Dia berkebangsaan Jepang, lahir dan besar di AS. Seorang
awam yang tidak hanya mengagumi St Fransiskus tapi juga berusaha untuk meneladani hidupnya. Orangnya sangat sederhana dan lugu. Dari ceriteranya, saya mengetahui, bahwa dia sudah menjadi bagian dari ordo Fransiskan. Ia tertarik akan usaha P. Gregorius OFM dan Br. Atanasius OFM untuk rehabilitasi korban narkoba di biara itu. Ia banyak memberi sumbangan ide, tenaga, finansial dan material. Ia selalu bertanya, apa yang masih perlu ia buat. Jelas terlihat bahwa ia sangat menikmati hidup yang demikian. Dari Bangkok ia akan ke Mianmar dan Kamboja untuk tujuan yang sama. Ia sudah sampai pada tahap memikirkan dan mengusahakan kebahagiaan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Jauh bedanya dengan orang yang kelimpahan harta dalam Luk 12:13-21. Berawal dari soal jawab seseorang dengan Yesus tentang pembagian warisan. Yesus tolak menjadi penengah. Penegakan hukum memang penting. Tapi itu adalah urusan para ahli Taurat atau guru dalam masyarakat Israel. Yesus berusaha mengantar orang itu dan juga kita untuk menemukan akar sengketa yang terdalam yakni ketamakan dengan perumpamaan-Nya. Orang yang rakus tak pernah berkecukupan. Semakin banyak harta kekayaan semakin terasa kekurangan. Seperti meneguk air laut, semakin diminum semakin haus. Sementara kepuasan tidak pernah tercapai, bukan? Maka sangat keliru jika kita menyangka bahwa makin banyak harta yang dikumpulkan, makin terjamin keamanan, masa depan, kebahagiaan dan kenyamanan hidup. Mau contoh apa lagi. Para koruptor tidak terjamin dengan banyaknya uang dan harta kekayaan bukan? Mata kita tertutup oleh ketamakan sehingga tidak tahu apa kehendak Tuhan dengan harta kekayaan. Selama kita hanya memikirkan diri sendiri, tidak mungkin kita mengikuti kehendak-Nya yakni menolong orang lain, seperti Fransesco Iguji. Ia sungguh berbahagia dengan berbagi apa saja yang ia punya. Franseco Iguji bisa, mengapa kita tidak? 04082013

2 Agustus

Herodes adalah raja. Ia punya kuasa dan nama besar. Saudaranya seayah, Filipus, bukan raja dan tidak punya nama apa-apa. Tapi ia punya isteri yang cantik, Herodias. Terjadilah perselingkuhan antara kekuasaan dan kecantikan. Herodes menceraikan isterinya dan mengawini isteri Filipus, meskipun saudaranya itu masih hidup. Herodias tanpa beban meninggalkan Filipus dan senang menjadi isteri raja. Baik Herodes maupun Herodias menikmati suasana baru dalam hidup berkeluarga. Tapi perkawinan yang tidak wajar ini ditentang oleh Yohanes. Ia tidak pandang bulu. Malah karena raja adalah tokoh publik yang harus memberi contoh, maka Yohanes menegurnya di depan publik juga. “Tidak halal engkau mengambil Herodias!” (Mat 14:4).Tentu saja Herodes dan Herodias terusik. Siapa saja yang tengah mabuk asmara tidak terima baik, bukan? Herodes mau membunuh Yohanes tapi takut akan reaksi massa. Herodias nekad betul, sampai akhirnya berhasil. Yohanes Pembaptis mati dipenggal, atas perintah Herodes, karena permintaan Herodias yang nekad membalas dendam (Mat 14:1-12). Yohanes sudah lama mati, lebih dari 2000 tahun yang lalu. Tapi suaranya: “Tidak halal engkau mengambil Herodias” tetap bergema higga sekarang, menerobos sampai di tempat gelap yang paling rahasia. Semoga didengarkan oleh mereka yang masih berencana atau yang pernah berselingkuh, agar tidak melaksanakannya, bukan? 03082013

Renungan 1 Agustus

Sebagai frater Tahun Orientasi Pastoral (TOP), pada tahun 1969, saya menjadi bapa asrama untuk Sekolah Teknik dan Sekolah Pertukangan di Larantuka. Pada suatu pagi, baru saja selesai mengajar, saya diberitahu bahwa Pa Dandres mau bertemu. Wah, saya salah apa ini? Itulah yang pertama muncul dalam pikiran saya. Ternyata Pa Dandres minta bantuan. Kalau bisa anaknya diterima juga di asrama. Dari penjelasannya saya mengetahui bahwa inilah jalan terbaik. Anaknya yang juga siswa ST terlalu nakal di rumah. Baru saja ia menghajar adiknya sampai terjatuh dari tempat tidur. Mungkin gegar otak sebab sampai muntah-muntah. Pa Dandres mau menindaknya, tapi mamanya selalu bela. Dari pada ribut di rumah lebih baik anak ini masuk asrama saja. Saya prihatin dengan Pa Dandres. Tokoh yang sangat dihormati di seluruh Kabupaten Flores Timur tapi di rumah sendiri rasanya isteri dan anak tidak respek. Situasi serupa terbersit dalam Mat 13: 53-58. Yesus mudik bersama para murid-Nya. Tapi bukan dalam rangka lebaran. Di kampung asal-Nya ini Ia mengadakan beberapa mujizat. Pada hari Sabat Ia memberikan pelajaran kepada orang sekampung-Nya. Mula-mula mereka kagum atas mujizat dan pengajaran-Nya. Muncul pertanyaan di antara hadirin. “Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa mengadakan mujizat-mujizat itu?” (Mat 13: 54) Pertanyaan merambat hingga ke status dan asal usul Yesus. Sebenarnya biasa-biasa saja. Ia kan tukang kayu dari lingkungan mereka sendiri. Jadi hebat apanya Dia itu? Kenyataan ini membuat mereka enggan menerima pengajaran-Nya dan mujizat-mujizat-Nya. Yesus tidak heran akan kekecewaan dan penolakan mereka. “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya” (Mat 13: 57). Bagaimanakah reaksi para murid? Memang tidak dinyatakan Matius. Tapi bisa dipastikan mereka marah. Sama dengan reaksi Yakobus dan Yohanes ketika orang Samaria menolak Yesus memasuki kampungnya. Keduanya mau minta api turun dari langit untuk membinasakan kampung itu (bdk Luk 9:51-56). Bukankah ini menjadi pelajaran berharga bagi para murid? Tuhan saja ditolak. Apalagi para murid-Nya. Tapi apakah hanya orang Nazaret dan Samaria menolak Yesus? Saya yakin kita, para pengikut-Nya pun tidak ketinggalan menolak Dia dalam hidup kita. Kita kan lebih suka mengikuti keinginan kita walaupun bertentangan dengan ajaran dan kehendak-Nya. Jika tidak, maka tidak ada lagi pelanggaran yang terjadi, bukan? 02082013