Wednesday, March 13, 2013

Persatuan yang membawa manfaat

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itu kata peribahasa Melayu. Perumpamaan ini melukiskan kedekatan dan kemiripan anak dengan orangtuanya. 
 
Orang usil berkata, kecuali pohonnya tumbuh di pinggir jurang. Buahnya pasti terpelanting jauh di bawah dasar jurang. Ya, tidak semua anak menyerupai orangtuanya, bukan? Ada orangtua yang baik sekali. Tapi anak-anaknya tidak ada yang jadi manusia. Pasti kita kenal satu dua keluarga di sekitar kita sebagai contoh.
 
 Tiga hari yang lalu, kita mendengar Yesus berceritera tentang anak yang hilang (Yoh 15:11-32). Anak bungsu pelisir ke luar negeri. Ia menikmati hidup dengan para pelacur. Anak sulung lebih tragis lagi. Hilang di dalam rumah sendiri. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia sesungguhnya seorang anak. Mentalnya saja, mental seorang pekerja yang menunggu upah dan hadiah. Tidak heran, kalau ia tidak turut menikmati kebahagiaan pesta dalam keluarga besar ayahnya. Ia tetap tinggal di luar. Pada hal bapanya luar biasa baik. 
 
Dalam Yoh 5:17-30, Yesus bicara blak-blakan. Bukan lagi dengan perumpamaan. Bukan pula tentang buah yang jatuh di sekitar pohonnya. Tetapi tentang persatuan-Nya yang erat mesra dengan Bapa. Apa yang dikerjakan Bapa, dikerjakan Anak dan sebaliknya. Yang menghormati Anak, menghormati Bapa. Singkatnya, Bapa dan Anak adalah satu. Yesus juga inginkan persatuan seperti itu dengan kita. Sama seperti pokok anggur dengan ranting-rantingnya (bdk Yoh 15:1-7). 
 
Dalam Ekaristi, Ia memberikan diri-Nya sendiri. Ia berdoa kepada Bapa agar persatuan itu dianugerahkan kepada semua kita (bdk Yoh 17:20-21). Persatuan yang membawa manfaat luarbiasa bagi kita. Hidup-Nya, daya juang dan daya tahan-Nya sendiri mengalir di dalam diri kita. Apa itu mungkin? Mengapa tidak? Rasul Paulus sudah mengalaminya. Ia bersaksi: “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:20). Lalu mengapa kita bertualang dalam kenikmatan yang membawa nista? Atau meringkuk dan mengeluh sendirian di bawah tindihan derita dan sengsara? Dasar, orang tak tahu untung. 13032013

No comments:

Post a Comment