Wednesday, March 20, 2013

Beragama yang Kekanak-kanakan

Saya teringat akan tempo dulu. Saya baru kelas I Seminari Menengah San Dominggo, Hokeng. Itu di tahun 1956. Sering terjadi perkelahian antara teman. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya tidak ada soal. Hanya menyebut nama bapa. Misalnya, he Bernadu e… Yang bapanya Bernadu langsung ribut. Dikira sudah menghina bapanya. Apalagi kalau disertai salah satu kebiasaan buruk, misalnya pemabuk. O…bisa-bisa adu jotos. Hal ini berlangsung sampai kelas II. Di kelas III mulai berkurang. Di kelas IV-VII, malah jadi lelucon. Rasanya, kekanak-kanakan. Tetapi berbahaya, jika kekanak-kanakan merambat ke ranah agama. 

Lihat saja apa yang terjadi dalam Yoh 8:51-59. Yesus mengatakan: “Barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya” (Yoh 8:51). Orang Yahudi mempersoalkannya. Abraham dan para nabi saja telah mati. Siapakah Dia ini? Pembicaraan Yesus tentang hubungan-Nya dengan Bapa-Nya. Bapa-Nya adalah Allah mereka. Yesus mengenal Dia. Tapi mereka tidak mengenal-Nya. Abraham telah melihat hari-Nya dan ia bersukacita. Bagi mereka, itu pelecehan. Apalagi Yesus mengatakan, sebelum Abraham ada, Ia telah ada. Penghinaan yang luarbiasa terhadap bapa mereka Abraham. Maka hukuman-Nya tidak lain. Rajam dengan batu sampai mati. Tetapi kematian Yesus bukan ditentukan oleh orang Yahudi, bukan? Maka “Yesus menghilang dan meninggalkan Bait Allah” (Y0h 8;50). Begitulah fanatisme agama dan iman yang kekanak-kanakan. Apakah kita lebih dewasa dalam beriman daripada orang Yahudi? 

Saya kira kebanyakan kita pun sama. Ingat saja peristiwa “pelecehan” hostia kudus, belasan atau duapuluhan tahun lalu. Orangnya memang bukan beragama Katolik. Ia turut menyambut komuni kudus. Akibatnya, dihajar habis-habisan oleh massa umat atas nama penodaan agama. Banyak korban babak belur. Di katedral Ende dan katedral Atambua bahkan sampai mati. Menyesalkah mereka yang telah beramai-ramai menghajar korban atas nama agama? Sama sekali tidak. Mereka bahkan berbangga menjadi pahlawan pembela Kristus. Betulkah Kristus mau dibela? Coba kita dengarkan apa kata-Nya kepada Petrus di Taman Getzemani: “Sarungkanlah pedangmu itu. Bukankah Aku harus minum cawan, yang diberikan Bapa kepada-Ku”? (Yoh 18:11). Pada hal Petrus mau membela-Nya, bukan? Dan apa kata-Nya kepada wanita Sion yang meratapi-Nya?: “Janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu”! (Luk 23:28). Apakah kita yang menyambut-Nya dalam komuni kudus, tanpa persiapan pernah ‘menangisi’ diri kita? Bagaimana dengan kita yang berdiri ngobrol di luar gereja, lalu ikut menyambut komuni kudus? Apakah kita tangisi nasib anak-anak kita, yang menyaksikan teladan kita? 21032013

No comments:

Post a Comment