Saya
tersentak. Benarkah apa yang saya dengar ini? Pengumuman dari mimbar
gereja. “Penerimaan komuni pertama harus ditunda. Beberapa orangtua
belum melunaskan yuran paroki. Begitu juga dengan baptisan minggu depan.
Semuanya ditunda sampai yuran paroki dilunaskan”. Mulut saya ternganga.
Saya geleng-geleng. Tapi saya imam tamu, biarpun anak paroki. Saya
tidak bisa membatalkan pengumuman itu.
Di sakristi,
sebelum membuka pakaian misa, saya bertanya kepada ketua DPP. “Apa
hubungan antar yuran paroki dengan penerimaan sakramen-sakramen itu”?
Jawabannya sangat sederhana. “Ini keputusan pastor paroki dengan DPP,
Romo”. “Ya, tapi apa dasarnya? Bukankah ini namanya simoni,
memperjualbelikan sakramen”? desak saya. Ia tetap ngotot: “Sudah
merupakan peraturan, Romo”. Aduh…kasihan sekali.
Peraturan manusia bisa
menutup pintu keselamatan. Injil Yoh 5:1-16 sangat kental menyiratkan
nuansa ini. Orang-orang Yahudi yang saleh mempertahankan peraturan hari
Sabat. Orang sakit sudah menderita selama 38 tahun. Duduk saja di
pinggir kolam menantikan kesembuhan. Tidak ada yang melirik. Apalagi
tergerak untuk menolong. Yesus tidak tega melihat kenyataan ini. Si
sakit disembuhkan-Nya. Orang saleh mempersoalkannya. Melanggar peraturan
hari Sabat. Karena itu Yesus pernah menandaskan: “Hari Sabat diadakan
untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk 2:27). Itu kata
“Anak manusia, yang juga adalah Tuhan atas hari Sabat" (Mrk 2:28).
Karena itu peraturan Gereja, keputusan DPP dan peraturan apa saja,
seharusnya tidak boleh mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan, karena
manipulasi dan interpretasi yang keliru, demi kepentingan tertentu,
bukan? 12032013
No comments:
Post a Comment